RAMPAGE (2018)
Rasyidharry
April 12, 2018
Action
,
Brad Peyton
,
Dwayne Johnson
,
Jeffrey Dean Morgan
,
Lumayan
,
Naomie Harris
,
REVIEW
,
Science-Fiction
18 komentar
Tim efek spesial dalam film- film macam King Kong (1933), Godzilla (1954),
hingga Jurassic Park (1993), bertugas
menghidupkan monster raksasa. Sedangkan untuk merespon makhluk rekaaan itu
dengan kekaguman, ketakutan, atau terkadang kekaguman di balik ketakutan,
adalah tugas aktor. Tapi untuk bersanding sejajar dengan mereka, cuma Dwayne “The
Rock” Johnson yang bisa melakukannya secara meyakinkan. Kalau ada seseorang yang
sanggup menyelamatkan dunia dari kehancuran, berani terlibat pertarungan
terbuka dengan (lebih dari satu) hewan raksasa, Johnson adalah orang tersebut. Sebagai
bintang laga, dia bukan cuma bermodal otot, pula karisma agar setiap makhluk
menyukainya.
Saya memakai kata “makhluk”, karena dalam Rampage, Johnson memerankan Davis Okoye,
ahli primata yang mampu menjinakkan, bahkan bersahabat dengan gorila albino
bernama George. Keduanya berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, dan tak
hanya saling memahami maksud, juga isi hati satu sama lain. Poin yang membawa kita
menuju momen paling berperasaan sepanjang filmnya. Ya, meski hanya sejenak, Rampage memiliki hati tatkala George
memahami nasib malang Pavoo, seekor gorila baru yang kehilangan keluarganya
akibat pemburu gelap. Ada ketakutan di sorot mata Pavoo melihat sosok gorila
albino berukuran jauh lebih besar darinya, sementara di saat bersamaan George
menampakkan empati karena persamaan nasib.
Memberikan jiwa kepada tokoh hewan menjadikan Rampage spesial. Sewaktu sampel
eksperimen rahasia jatuh dari langit dan menyebabkan George tumbuh luar biasa
cepat dan berubah lebih ganas, saya diyakinkan bahwa amukannya cuma ekspresi
ketakutan serta kebingungan yang disalahpahami. Seperti Davis, saya tak ingin
George jadi sasaran tembak, meski sentimen serupa urung hadir untuk dua hewan
lain, Ralph si serigala bersayap, dan buaya raksasa yang bagai gabungan Lizzie
dan Crock dari sumber adaptasinya. Pertanyaannya, bagaimana cara menggembangkan
plot tipis video game yang murni cuma
menyajikan kehancuran kota?
Skenario garapan empat penulis sekaligus (Ryan Engle, Carlton
Cuse, Ryan J. Condal, Adam Sztykiel), yang mengubah asal muasal raksasa dari
manusia yang bermutasi, memang terasa kekurangan akal. Repetisi pun dipilih.
Sepasukan agen rahasia atau militer atau prajurit bayaran muncul guna
menghentikan kekacauan, merasa jemawa, meremehkan kemampuan para monster, yang
akhirnya mengakibatkan kegagalan mereka. Pola ini diulang beberapa kali, dengan
satu-satunya sumbangsih positif berupa penampilan keren Jeffrey Dean Morgan
sebagai Harvey Russell, agen pemerintah yang bergaya bak koboi modern, lengkap
dengan aksen Southern dan pistol emas
di pinggang.
Rampage, sebagaimana video game-nya, menjanjikan amukan monster yang menghasilkan kehancuran
massal, dan Brad Peyton dalam kolaborasi ketiganya bersama Dwayne Johnson pasca
Journey 2: The Mysterious Island dan San Andreas memenuhi janji tersebut. Rampage baru habis-habisan begitu
memasuki klimaks (sesuatu yang mestinya telah kita perkirakan), tapi bukan
klimaks sambil lalu yang berakhir prematur. Peyton menembakkan seluruh amunisi,
menghancurkan semua yang bisa dihancurkan, sembari memamerkan kepiawaian menyusun
intensitas melalui kejelian bermain timing.
Rating PG-13 pun tak menghalangi Peyton menjaga kesesuaian film dengan esensi video game-nya yang brutal, penuh adegan
monster memangsa manusia. Tunggu sampai anda menyaksikan cara Kate (Naomie
Harris), ilmuwan pemrakarsa eksperimen Rampage
yang bekerja sama dengan Davis, “menyembuhkan” George.
Menyajikan kehancuran total menjelang akhir, kualtias CGI-nya
sendiri tak terlalu mumpuni, khususnya jika melihat kurang meleburnya Johnson
dengan para monster ketika berada di satu frame.
Namun CGI dalam Rampage memang bukan
bertujuan menghasilkan pemandangan realistis. Tugas itu diemban Jurassic Park dan film-film lain yang mengutamakan
“sense of wonder”. Begitu juga soal
plot, yang saya yakin bakal banyak dikritisi memakai sebutan bodoh, dangkal,
dan sebagainya. Mengharapkan kedalaman atau kecerdasan dalam alur film macam Rampage, yang sejak awal sudah
menegaskan tujuannya, bagai berharap memperoleh gizi tinggi dari makanan cepat
saji. Kalau begitu siapa yang bodoh?
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
18 komentar :
Comment Page:Sebenarnya bosan juga menonton di melihat film macam ini yg kuat sisi aksi dan visual tanpa naskah yg mendalam Tapi mau bagaimana lagi film seperti ini tetap asyik di tonton sebagai film hiburan walau kadang juga plot generik nya terlalu mainstream.
Saya kok agak bosen ya nonton pacific rim kmaren di klimaks nya pun sama, soalnya kek terjadi gitu aja gaada stake nya samsek, kao Rampage gimana mas sedikit lebih baik kah buat bikin feel klimaks nya jadi ga trasa kosong, dan keknya agak bosen juga ya ngliat Johnson main di film monster pake baju yg coklat kek indiana jones gitu dari film journey, jumanji kmaren, sama rampage yg terbaru
@Aliando Asal aksi bagus (dan emang tujuannya itu), saya sih nggak peduli soal naskah. Kalau lagi pengen nonton yang kokoh di naskah, tinggal cari yang emang dibuat untuk itu :)
@Lucass Lebih suka klimaks Rampage sih, lebih hancur-hancuran, lebih brutal juga. Soal The Rock yang gitu-gitu doang emang bener sih. Tapi nggak bosen juga, soalnya dari ratusan film di bioskop selama setahun paling cuma 2 yang ada dia.
Saya setuju banget mas Raysid membold bagian ketika george memiliki empati dengan pavoo. Titik itulah saya simpati dengan karakter george dan berkata dalam hati "awasss aja kl sutradara bikin george mati di film ini" hahhaa.
Saya juga suka Jeffrey dean morgan disini tingkah laku,gaya omongnya yang negan banget hahaha. Kita tahu di TWD dia sosok yang sadis yang ga ragu2 hancurin glenn dan abraham,tp di film ini ternyata....ah sudahlah liat sendiri aja,tar spoiler:)
Kalo menurut admin film kayak gini yg punya sisi visual aksi yg bagus dan naskah yg bagus juga contoh nya apa ya?
@Badminton Oh tenang, kalau aneh-aneh si George tinggal kasih jari tengah aja ke Brad Peyton
@Aliando 'Jumanji: Welcome to the Jungle' naskahnya oke tuh. Tentunya jangan pakai definisi "oke" kayak film-film award-winning atau festival ya.
Setelah San Andreas RAMPAGE, saya mendeklarasikan Brad Peyton emang niat bgt menghancurkan dunia ini. Ayo kita bersama lawan Brad Peyton wkwk
film Halo Makassar gimana bang?
Karena tujuan film ini menurut gw pure untuk menghibur dan itu berhasil! Satu bioskop menikmati dan terbawa dengan keadaan di filmnya.. di babak akhir emang baru terasa filmnya 'lebih hidup' (adegan buaya muncul ke permukaan itu keren sih, jadi lebih terasa mengerikan dgn ukurannya yang super besar)
Btw, The Rock emang cocok memerankan ini.. bromance yang dibangun sama George tampak meyakinkan, gak semua aktor bisa buat chemistry seperti itu dengan hewan hahaha
Beberapa film memang dibuat utk bersenang2 kok
Sekali2 menanggalkan parameter film festival bolehlah. Persis kata mas Rasyid "Jangan mengharapkan gizi dari fast food"
@Ardhy Mungkin Sabtu nonton kalau nggak makin berkurang bioskopnya.
@Billy Oh jelas, The Rock ini ngomong biasa aja udah charming dan ramah. Suruh ngobrol sama makhluk CGI ya gampang :D
action nya seru, humornya dapet, dan penonton berhasil dibuat simpati ke george
lawakan george di ending ngehe banget yak
sampe keluar kata kasar loh ane di bioskop
setan bener dah yg masukin joke itu diakhir
wkwkwk
Kadang kecerdasan sedikit di hilangkan agar sesutu film terlihat seru... Ketika di tonton
nonton film ini ya jangan berharap sesuatu dialog pintar atau naskah baik
karena film nya pun dibuat niat utamanya bukan itu
niat utamanya ngancurin kota
Yap, karena dari awal tujuan & yang dijual jelas "cuma" itu.
tapi lelucon george emang lucu parah
yang di ending apalagi
langsung berkata kasar di bioskop
gue dah expect pasti george bakal nyindir hubungan davis, tapi gue ga nyangka bahasa isyaratnya begitu
Sejatinya film ini adalah tentang helikopter. Dikit dikit heli, dikit dikit heli. haha
hmmm iya jg, tp alternative selain heli apa? guguk?
Posting Komentar