THE PERFECT HUSBAND (2018)

10 komentar
Sepertinya sineas kita masih sulit membedakan antara “lelaki pantang menyerah” dengan “lelaki penguntit”. Setelah Dilan (Dilan 1990) dan Nick (Arini), The Perfect Husband, selaku adaptasi novel berjudul sama karya Indah Riyana, mengenalkan kita pada Arsen (Dimas Anggara) seorang pilot yang ngotot mengantar-jemput Ayla (Amanda Rawles), calon istri dari proses perjodohannya, meski sang gadis yang berusia jauh lebih muda (siswi SMA) menolak keras. Arsen pun mengikuti Ayla ke mana saja ia pergi, bahkan berani menggendong secara paksa di depan teman-temannya, di lingkungan sekolah pula. Dan tatkala Ayla mengaku tak lagi perawan, Arsen mengungkapkan kekecewaan sambil berkata bahwa semestinya Ayla lebih menghargai dirinya sendiri.

Saya tidak setuju anggapan film harus mendidik atau mengusung pesan. Namun pada masa di mana gerakan-gerakan positif soal “kemerdekaan diri” maupun “mencerdaskan bangsa” tengah vokal didengungkan, The Perfect Husband bagai proses mundur beberapa langkah. Betapa tidak? Filmnya seolah mendukung perjodohan paksa yang berujung pernikahan dini selepas SMA. Menghadapi persoalan itu, pikiran Ayla tentu kacau. Terlebih ia telah memiliki seorang kekasih, vokalis band rock bernama Ando (Maxime Bouttier), yang tampil di acara bernama “Indienight”, mengenakan dandanan rock ‘n roll yang tidak lagi dipakai rockstar mana pun, tapi menyanyikan lagu pop-punk berlirik galau. Bagaimana Ayla bisa mencintainya adalah pertanyaan besar. Mungkin anak SMA memang sebodoh itu.
Ucapkan selamat tinggal kepada potensi dinamika serta tensi cinta segitiga, sebab Ando dan Arsen jelas timpang saat disandingkan. Selain penokohan Ando yang terlampau menggelikan untuk menjadi pesaing serius, pesona Dimas Anggara dengan mudah menghempaskan Maxime Bouttier dan tato spidolnya. Di sisi lain, Amanda Rawles menghasilkan kesegaran memerankan gadis remaja yang bertingkah sekaligus bicara seenaknya. Pun berkat Amanda pula bumbu humornya mampu bekerja cukup baik, khususnya di paruh awal yang sempat memberi ilusi bahwa The Perfect Husband bakal jadi film terbaik produksi Screenplay yang lebih “manusiawi”, urung mengandalkan dialog puitis.

Apalagi ada Slamet Rahardjo sebagai Tio, ayah Ayla, yang seperti biasa mulus menangani tiap momen, kecuali ketika menyebut nama sang puteri. Dua kali ia luput menyebut “Alya”. Mungkin Rudy Aryanto (Surat Cinta untuk Starla) selaku sutradara segan mengoreksi si aktor senior. Mengapa Tio kukuh menjodohkan Ayla yang belum lulus SMA tentu mengundang tanya. Bisa ditebak ada hal yang Tio dan para penulis naskahnya sembunyikan demi menyulut konflik. Karena, andai Tio mengutarakan alasan perjodohan sedari awal, yang mana merupakan pilihan logis, film ini bakal selesai dalam 15 menit.
Pun sewaktu akhirnya diungkap, rahasia itu tak lebih dari elemen paling klise yang mampu dipikirkan seorang penulis kisah melodrama, yang kebetulan juga ciri khas judul-judul produksi Screenplay. Film Screenplay di bawah arahan Asep Kusdinar memang berlebihan mendramatisasi, tetapi setidaknya keputusan itu menghadirkan ketepatan porsi melodrama. Di tangan Rudi Aryanto, momen yang seharusnya menyajikan puncak emosi justru berujung canggung nan kaku. Rudi cukup sukses di Surat Cinta untuk Starla karena dibantu nomor-nomor balada ciptaan Virgoun. Tanpanya, sang sutradara bak hilang akal dan kekurangan amunisi.

Kembali sejenak menuju fakta yang Tio sembuynikan, rahasia tersebut gagal memberi justifikasi terhadap problematika perjodohan dan nikah muda. Ada begitu banyak alternatif cara menuturkan pesan mengenai bakti anak pada orang tua. Menurut The Perfect Husband, menikah setelah lulus SMA merupakan jalan keluar pemberi kebahagiaan sekaligus bukti bakti terhadap orang tua yang telah memberi segalanya untuk anak. Ya, segalanya kecuali kebebasan menjalani hidup sesuai kemauan sendiri. Dengan pola pikir demikian, jangan heran jika negeri ini dipenuhi orang bodoh. The Perfect Husband menanggalkan gaya Screenplay yang makin repetitif hanya untuk menemukan kelemahan baru yang lebih fatal.


Untuk ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:

10 komentar :

Comment Page:
Ridwan mengatakan...

Mas Rasyid sekarang dimana ini?
Aku minta kontakmu syid, tak line gak masuk kayane.

dim mukti mengatakan...

Apa hampir setipe dengan Insya Allah Sah? Ada yang bilang sumber adaptasinya kuat unsur religinya mas?

Anonim mengatakan...

Perlu dikomporin biar rame kolom komentar-nya mas?

Wkwkwkwkwk

Banumustafa24 mengatakan...

Penulis naskahnya Tisa TS ya, bang? Mungkin dia butuh partner scriptwriter yang tepat

Gerhana mengatakan...

jadi film itu harus mendidik atau enggak mas bro? hahahha

rata-rata film jelek itu karna naskahnya atau directnya ya mas bro?

Unknown mengatakan...

ini emang beda sama versi novelnya sih,malah menurutku lebih bagus versi novel nya... hehehe

Rasyidharry mengatakan...

@Dimas belum baca novelnya, yang jelas film ini (untungnya) nggak pake bumbu religi

@Banumustafa dia selalu sama Sukhdev Singh. Malah di sini ketambahan Benni Setiawan (Insya Allah Sah, Toba Dreams) dan jadi makin parah.

@Taufik Jelas nggak harus. Tapi kudu peka. Ini kasusnya sama kayak film Amrik tapi angkat tema anti-kulit hitam.

Nggak mesti. Naskah bagus bisa tolong directing jelek, dan sebaliknya.

@Kartika pastinya di novel nggak ada pesawat dipasangin umbul-umbul di ending kan? 😂

dim mukti mengatakan...

Oke.. berarti ga nonton ga dosa kan ya haha.. Mengingat ulasan novelnya di goodread juga ga recomended. Cuma modal dibaca jutaan kali di wattpadd

Chan hadinata mengatakan...

Kira2 mendingan mana sm 212 the power of love mas??
Hahaha😂

Panca mengatakan...

Alhamdulillah kalo jelek. Coret dari list nonton kalo gitu walaupun pengen liat amanda rawlessnya sih.