THE PERFECT HUSBAND (2018)
Rasyidharry
April 13, 2018
Amanda Rawles
,
Comedy
,
Dimas Anggara
,
Jelek
,
Maxime Bouttier
,
REVIEW
,
Romance
,
Rudi Aryanto
,
Slamet Rahardjo
10 komentar
Sepertinya sineas kita masih sulit membedakan antara “lelaki
pantang menyerah” dengan “lelaki penguntit”. Setelah Dilan (Dilan 1990) dan Nick (Arini), The Perfect Husband, selaku adaptasi novel berjudul sama karya
Indah Riyana, mengenalkan kita pada Arsen (Dimas Anggara) seorang pilot yang
ngotot mengantar-jemput Ayla (Amanda Rawles), calon istri dari proses
perjodohannya, meski sang gadis yang berusia jauh lebih muda (siswi SMA)
menolak keras. Arsen pun mengikuti Ayla ke mana saja ia pergi, bahkan berani
menggendong secara paksa di depan teman-temannya, di lingkungan sekolah pula.
Dan tatkala Ayla mengaku tak lagi perawan, Arsen mengungkapkan kekecewaan
sambil berkata bahwa semestinya Ayla lebih menghargai dirinya sendiri.
Saya tidak setuju anggapan film harus mendidik atau mengusung
pesan. Namun pada masa di mana gerakan-gerakan positif soal “kemerdekaan diri” maupun
“mencerdaskan bangsa” tengah vokal didengungkan, The Perfect Husband bagai proses mundur beberapa langkah. Betapa
tidak? Filmnya seolah mendukung perjodohan paksa yang berujung pernikahan dini
selepas SMA. Menghadapi persoalan itu, pikiran Ayla tentu kacau. Terlebih ia
telah memiliki seorang kekasih, vokalis band rock bernama Ando (Maxime
Bouttier), yang tampil di acara bernama “Indienight”,
mengenakan dandanan rock ‘n roll yang tidak lagi dipakai rockstar mana pun, tapi menyanyikan lagu pop-punk berlirik galau. Bagaimana
Ayla bisa mencintainya adalah pertanyaan besar. Mungkin anak SMA memang sebodoh
itu.
Ucapkan selamat tinggal kepada potensi dinamika serta tensi
cinta segitiga, sebab Ando dan Arsen jelas timpang saat disandingkan. Selain
penokohan Ando yang terlampau menggelikan untuk menjadi pesaing serius, pesona
Dimas Anggara dengan mudah menghempaskan Maxime Bouttier dan tato spidolnya. Di
sisi lain, Amanda Rawles menghasilkan kesegaran memerankan gadis remaja yang
bertingkah sekaligus bicara seenaknya. Pun berkat Amanda pula bumbu humornya
mampu bekerja cukup baik, khususnya di paruh awal yang sempat memberi ilusi bahwa
The Perfect Husband bakal jadi film
terbaik produksi Screenplay yang lebih “manusiawi”, urung mengandalkan dialog
puitis.
Apalagi ada Slamet Rahardjo sebagai Tio, ayah Ayla, yang
seperti biasa mulus menangani tiap momen, kecuali ketika menyebut nama sang
puteri. Dua kali ia luput menyebut “Alya”. Mungkin Rudy Aryanto (Surat Cinta untuk Starla) selaku
sutradara segan mengoreksi si aktor senior. Mengapa Tio kukuh menjodohkan Ayla
yang belum lulus SMA tentu mengundang tanya. Bisa ditebak ada hal yang Tio dan
para penulis naskahnya sembunyikan demi menyulut konflik. Karena, andai Tio
mengutarakan alasan perjodohan sedari awal, yang mana merupakan pilihan logis, film
ini bakal selesai dalam 15 menit.
Pun sewaktu akhirnya diungkap, rahasia itu tak lebih dari elemen
paling klise yang mampu dipikirkan seorang penulis kisah melodrama, yang kebetulan juga ciri khas judul-judul
produksi Screenplay. Film Screenplay di bawah arahan Asep Kusdinar memang berlebihan mendramatisasi, tetapi setidaknya keputusan itu menghadirkan ketepatan porsi
melodrama. Di tangan Rudi Aryanto, momen yang seharusnya menyajikan puncak
emosi justru berujung canggung nan kaku. Rudi cukup sukses di Surat Cinta untuk Starla karena dibantu
nomor-nomor balada ciptaan Virgoun. Tanpanya, sang sutradara bak hilang akal
dan kekurangan amunisi.
Kembali sejenak menuju fakta yang Tio sembuynikan, rahasia
tersebut gagal memberi justifikasi terhadap problematika perjodohan dan nikah
muda. Ada begitu banyak alternatif cara menuturkan pesan mengenai bakti anak
pada orang tua. Menurut The Perfect
Husband, menikah setelah lulus SMA merupakan jalan keluar pemberi
kebahagiaan sekaligus bukti bakti terhadap orang tua yang telah memberi
segalanya untuk anak. Ya, segalanya kecuali kebebasan menjalani hidup sesuai
kemauan sendiri. Dengan pola pikir demikian, jangan heran jika negeri ini
dipenuhi orang bodoh. The Perfect
Husband menanggalkan gaya Screenplay yang makin repetitif hanya untuk
menemukan kelemahan baru yang lebih fatal.
Untuk ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:Mas Rasyid sekarang dimana ini?
Aku minta kontakmu syid, tak line gak masuk kayane.
Apa hampir setipe dengan Insya Allah Sah? Ada yang bilang sumber adaptasinya kuat unsur religinya mas?
Perlu dikomporin biar rame kolom komentar-nya mas?
Wkwkwkwkwk
Penulis naskahnya Tisa TS ya, bang? Mungkin dia butuh partner scriptwriter yang tepat
jadi film itu harus mendidik atau enggak mas bro? hahahha
rata-rata film jelek itu karna naskahnya atau directnya ya mas bro?
ini emang beda sama versi novelnya sih,malah menurutku lebih bagus versi novel nya... hehehe
@Dimas belum baca novelnya, yang jelas film ini (untungnya) nggak pake bumbu religi
@Banumustafa dia selalu sama Sukhdev Singh. Malah di sini ketambahan Benni Setiawan (Insya Allah Sah, Toba Dreams) dan jadi makin parah.
@Taufik Jelas nggak harus. Tapi kudu peka. Ini kasusnya sama kayak film Amrik tapi angkat tema anti-kulit hitam.
Nggak mesti. Naskah bagus bisa tolong directing jelek, dan sebaliknya.
@Kartika pastinya di novel nggak ada pesawat dipasangin umbul-umbul di ending kan? 😂
Oke.. berarti ga nonton ga dosa kan ya haha.. Mengingat ulasan novelnya di goodread juga ga recomended. Cuma modal dibaca jutaan kali di wattpadd
Kira2 mendingan mana sm 212 the power of love mas??
Hahaha😂
Alhamdulillah kalo jelek. Coret dari list nonton kalo gitu walaupun pengen liat amanda rawlessnya sih.
Posting Komentar