KOKI-KOKI CILIK (2018)
Rasyidharry
Juli 08, 2018
Alifa Lubis
,
Cesa David Luckmansyah
,
Comedy
,
Drama
,
Fanny Fabriana
,
Farras Fatik
,
Ifa Isfansyah
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
Morgan Oey
,
REVIEW
,
Yadi Sugandi
8 komentar
Mengawali debut lewat Garuda
Di Dadaku (2009) pun pernah mengarahkan Ambilkan
Bulan (2012), sutradara Ifa Isfansyah kembali menangani film anak, atau
lebih tepatnya film dengan karakter anak, mengingat kontennya bukan saja dapat
dinikmati penonton usia dini, orang dewasa pun bisa memetik pelajaran berharga
di balik usaha tokoh utamanya menjadi koki cilik terbaik. Bagi Ifa sendiri, Koki-Koki Cilik membuktikan kapasitasnya
menggarap film semua umur belum luntur, bahkan lebih baik ketimbang karya-karya
di luar zona aman miliknya seperti Pendekar
Tongkat Emas (2014) apalagi Pesantren
Impian (2016).
Film ini punya judul awal Cooking
Camp yang merujuk pada acara yang ingin diikuti si protagonis, Bima (Farras
Fatik), di mana anak-anak berkemah sambil belajar sekaligus berlomba masak.
Berasal dari keluarga sederhana yang mesti memaksa ia dan sang ibu (Fanny
Fabriana) memecah celengan plus menerima sumbangan warga demi membayar biaya
masuk, Bima pun dipandang remeh. Jangankan menggulingkan dominasi Audrey (Chloe
Xaviera) selaku juara tiga tahun beruntun, mengucapkan “chef” dengan benar saja dia tak mampu. Tapi berbekal buku resep
buatan mendiang ayahnya, Bima optimis mampu bertahan dan menang.
Mengambil latar di perkemahan anak, pastilah elemen
persahabatan turut hadir. Teman-teman Bima, meski tak semua punya kepribadian
menarik dan saya yakin mayoritas penonton takkan mampu mengingat seluruh nama mereka,
cukup piawai perihal mengajak kita bersenang-senang. Apalagi saat Melly yang
diperankan Alifa Lubis, sang pemenang Little
Miss Indonesia 2013, mengeluarkan polah antik yang melibatkan celotehan
serba dramatis bak remaja hingga gerakan yoga. Tapi fokus tak sampai terbelah,
tetap mengerucut pada perjuangan Bima.
Naskah karya Vera Varidia (Surat Cinta untuk Kartini, Me vs Mami) urung mengutak-atik formula from-zero-to-hero, sehingga pertemuan
Bima dengan karakter father figure
yang bakal membimbingnya mencapai status “hero”
bisa ditebak kehadirannya sedari awal. Sosok itu adalah Rama (Morgan Oey),
petugas kebersihan Cooking Camp yang
diam-diam merupakan mantan chef
ternama. Polanya jelas: Bima minta diajari memasak, Rama menolak, Bima kukuh,
Rama luluh, kemudian dalam montase latihan singkat, Bima diperlihatkan belajar
satu-dua hal seputar memasak. Bukan cuma itu, Rama turut mengingatkan Bima akan
pesan mendiang ayahnya dahulu, “Yakin akan kekuatan lidah kamu”, atau dalam
konteks lebih umum, “percaya pada kemampuanmu”.
Bima coba meningkatkan rasa masakannya, dan hubungannya
dengan Rama pun merupakan sumber rasa Koki-Koki
Cilik. Farras dalam film keempat sekaligus peran utama perdananya pandai
memainkan emosi, sedangkan Morgan mulus menangani Rama yang tengah berkonflik
batin. Rama senantiasa ketus, membuat senyum simpul pertamanya, kala Bima
melakukan “transfer energi” menghadirkan kehangatan. Kalau bukan karena
ketepatan timing Morgan
menyunggingkan sekilas senyum, dampak serupa takkan terasa.
Apabila penonton anak bisa belajar dari perjuangan Bima, para
orang tua yang menemani mereka wajib memperhatikan kisah Rama. Awalnya, Rama
bersedia mengajari Bima demi menuntaskan dendam personalnya. Menurut Rama,
semua peserta adalah saingan. Sebaliknya, Bima menganggap mereka teman. Dia
ingin juara namun enggan terbutakan persaingan panas. Ketika orang dewasa dikuasai
ambisi, hasrat kompetitif, dan praduga, para anak sebatas ingin
bersenang-senang sembari mencintai sesuatu dan/atau seseorang. “Jadi orang
jangan terlalu lugu” merupakan pernyataan yang belakangan makin kerap
terdengar, dan Koki-Koki Cilik seolah
menantang perspektif terseut sewaktu Bima dan Rama sering berbenturan akibat
perbedaan cara memandang lomba di Cooking
Camp.
Sebagai food movie,
adegan penyajian makanan enak dilihat pula menggugah selera. Tampak betul Ifa
memahami bahwa momen memasak tak perlu sudut pengambilan gambar penuh gaya.
Cukup close up sehingga makanan
terlihat jelas. Karena kini, sewaktu proses memasak dimulai, semua adalah tentang
masakannya, bukan lagi sang koki. Ifa, dibantu penataan kamera Yadi Sugandi (Sang Penari, Kuntilanak), memastikan
penonton bisa merasakan tekstur kenyal daging maupun gurihnya kuah kare. Pun
rangkaian momennya dinamis berkat tempo cekatan dari Ifa plus
penyuntingan lincah Cesa David Luckmansyah (Sang
Penari, Guru Ngaji).
Sayang, selaku “film kompetisi” di mana perlombaan berjalan
beriringan dengan proses belajar tokohnya, film ini berlubang. Koki-Koki Cilik bak gemar memencet
tombol fast forward. Contohnya saat
Bima, si ahli masakan Indonesia yang tak tahu sushi, berhasil
mengkreasi masakan Jepang sebagai simbol kesuksesan melampaui batasan diri.
Bisa menjadi peristiwa bermakna andai sebelum merengkuh sukses, kita dibawa sejenak menyaksikan
Bima meresapi apa yang telah dipelajari, menerapkannya, kemudian baru memetik
hasilnya. Alih-alih demikian, Koki-Koki
Cilik bergegas mencapai garis akhir saat ramen buatan Bima disajikan. Masalah
itu pula penyebab tensi kompetisinya kurang. Kita tak diberi kesempatan “gigit
jari” menantikan koki-koki cilik ini berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan
tugas yang dibebankan.
Tugas pertama bagi koki-koki cilik yakni membuat hidangan
berbahan dasar buah. Saya bersorak dalam hati ketika Bima berjaya berkat
rujaknya. Itulah titik di mana Koki-Koki
Cilik mengingatkan penontonnya kepada hal penting dalam hidup. Ini bukan
bagaimana terlihat elegan dan tidak kampungan. Itu dangkal. Bima
hanya jujur dan melakukan apa yang dia cinta (masak), yang ia tekuni karena
seseorang yang dia cinta (bapak). Do what
you love and love what you do. Klise, sederhana, namun benar adanya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:Seneng kemaren satu studio full banyak anak-anak walaupun bukan theater utama tapi pada ikutan ketawa dan sedih.. Tapi sayangnya berisik jadinya..😀
kalau disuruh milih untuk ditonton, pilih mana kak, ku lari ke pantai atau koki koki cilik?
@dim Nggak masalah asal mereka berisik karena ekspresi enjoy & happy 😁
@Unknown personally Kulari ke Pantai, tapi kalo bawa bocah, kemungkinan Koki-Koki Cilik.
kalo nonton film kadang ada berisik yg mendukung atmosfer nonton film jd lebih merinding
*contoh
nonton horor berisik karena teriak bareng
nyanyi bareng pas nonton film chrisye(sumpah ini merinding sebioskop pada nyanyi bareng)
sama ketawa bareng juga seru
bukan berisik ketika film lg hening tiba2 ada anak yg nangis,(yakali dulu ada yg bawa bocah nonton annabele)
bohemian bakal masuk indo gak ya? berharap ada adegan naynyi yg bikin sebioskop nyanyi juga😂😂😂
@Teguh Bener tuh. Selalu cari atmosfer. Makanya film MCU selalu Imax, ngincer fasnya yang hobi tepuk tangan 😁
Bohemian masuk, rencana tanggal 31 Oktober
paling seru nonton dengan orang orang yg paham dan sadar apa yg akan dia dapat dengan menonton film ini
contoh kemaren nonton hereditary penonton pinggir saya terus aja nyeletuk, film apaan sih ini, ngantuk
hahaha
tapi kemaren hereditary nonton di GI dan pdan parah banget sih, ada sekitar 5 orang penonton yg datang telat dan gak bisa duduk, ternyata ada yg salah duduk dan adan akhirnya mesti geser geserlah bangku depan gue, di di intruksiin ama petugas bioskop
asli bikin gagal fokus
Posting Komentar