ALPHA (2018)

10 komentar
Sejak kapan manusia dan anjing bersahabat? Jika pertanyaan itu diajukan kepada Albert Hughes (From Hell, The Book of Eli), yang menyutradarai Alpha berdasarkan cerita buatannya yang diadaptasi ke dalam naskah oleh Daniele Sebastian Wiedenhaupt, jawabannya adalah “sejak 20.000 tahun lalu”, ketika dunia menginjak masa Last Glacial Maximum alias periode akhir zaman es. Tentu Alpha bukan dimaksudkan menjadi kisah sejarah akurat, tetapi Hughes cerdik bermain-main dengan latar belakang fiktif yang ia tanam mengenai hubungan manusia dengan anjing, atau di film ini, seekor Anjing Serigala Cekoslowakia.

Kodi Smit-McPhee mengaktifkan mode “Leonardo-DiCaprio-di-The-Revenant” saat karakter yang ia perankan, Keda, terpisah dari sukunya kala berburu bison. Ini perburuan perdananya, dan Tau (Jóhannes Haukur Jóhannesson), sang ayah sekaligus kepala suku, bersemangat melihat Keda mulai menapaki jejaknya menjadi sesosok “alpha”. Namun Keda nampak cemas. Mungkin sebagaimana ibunya (Natassia Malthe) rasa, Keda belum siap. “Dia memimpin menggunakan hatinya, bukan dengan tombaknya”, sebut sang ibu.

Benar saja, Keda buruk perihal melempar tombak. Alhasil seekor bison menyeruduk, menjatuhkannya ke ujung tebing. Tau beserta sukunya pergi, tanpa tahu bahwa Keda masih bernyawa. Sendirian, sang remaja dituntut menghadapi rentetan bahaya yang memaksanya melatih keberanian dan kekuatan guna bertahan hidup. Terseret air bah, kekurangan makan dan minum, terjebak badai es,  semua dialami, tapi kejaran sekelompok serigala lah yang mengubah jalurnya. Melukai seekor serigala ketika menyelamatkan diri, Keda berujung merawat si serigala, mengobati lukanya, memberi makan, menamainya Alpha. Alpha pun mengikuti Keda, sesuatu yang awalnya tak ia kehendaki. Berbagai cara dilakukan untuk mengusir Alpha, termasuk melempar sebatang kayu, yang justru dia kembalikan pada Keda. Ya, ini asal muasal permainan “lempar tangkap” versi Hughes.  

Smit-McPhee meyakinkan sebagai seseorang yang terluka, susah payah berjalan, namun transformasi bertahapnya dari pemuda lemah nan ragu menjadi sosok yang lebih kuat pula dewasa adalah alasan mengapa pujian layak disematkan bagi sang aktor. Pun itu bukan elemen terbaik Alpha. Sihir sesungguhnya tampak dari cara Hughes memperlakukan Alpha. Memakai anjing serigala terlatih, Hughes mampu membuat Alpha interaktif. Hanya diam menatap, duduk, melolong, tapi saya seolah dapat memahami maksud di balik segala perbuatan itu berkat kepiawaian Hughes bercerita lewat visual plus penyuntingan cermat Sandra Granovsky sehingga Alpha memiliki emosi alami, yang berjasa menguatkan ikatannya dengan Keda.

Hanya satu dari dua tokoh utama berbicara dan berakting sungguhan, nyatanya Alpha malah lebih dinamis sekaligus emosional ketimbang banyak film mengenai persahabatan antara dua karakter manusia. “Magis” mungkin kata yang tepat mewakili persahabatan Keda-Alpha, sama magisnya dengan departemen visualnya. Nyaris semua shot, entah diisi pemandangan alam prasejarah, bintang di angkasa, atau pergulatan hewan melawan manusia, dikemas indah. Kadang saya merasa bagai sedang menyaksikan dokumenter di mana pembuatnya kembali ke masa lalu memakai mesin waktu untuk merekam footage-nya. Sinematografi Martin Gschlacht layak dipuji, tapi kreativitas Hughes turut berjasa. Tengok saja pemakaian split screen di adegan “danau es”.

Di luar imajinasi Hughes akan permulaan hubungan manusia-anjing serupa momen “lempar tangkap” tadi, narasi Alpha sejatinya formulaik. Daniele Sebastian Wiedenhaupt mengikuti pola film survival di mana protagonisnya terluka, tersesat, tersiksa, kelaparan, yang pelan-pelan mulai menunjukkan tanda repetisi meski durasinya cuma 96 menit. Klimaksnya bisa dibilang nihil, dan mendadak kita langsung dilempar menuju konklusi, tapi kelemahan itu ditebus oleh momen penutup indah yang menyiratkan bahwa persahabatan Keda dan Alpha bakal dilanjutkan oleh keturunan-keturunan mereka hingga 20.000 tahun ke depan, dan seterusnya.

10 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

yg ditunggu2 reviewnya dari sabtu akhirnya... brarti recommend bgt dong bg filmnya? hehe

Anonim mengatakan...

Peppermint gmn bang?

Yolana mengatakan...

Selalu gak berani nonton film persahabatan manusia-binatang begini, karena biasanya sad ending. Kalo gak tuannya yg mati, ya binatang nya 😟. Trus tinggallah daku nangis2 bercucuran air mata gak bisa tidur....

Nas mengatakan...

Kira-kira Oscar-worthy gak gan?

Rasyidharry mengatakan...

@Yolana Tenang, ini menyentuh tapi uplifting kok :)

@nasrullah Worthy ya jelas worthy, tapi paling cuma dapet nominasi Sinematografi, sama mungkin special effects.

Badminton Battlezone mengatakan...

Menggunakan anjing serigala terlatih?kirain saya itu full cgi bang,soalnya pikir kl ga cgi mana isa anjingnya bisa akting gt hahaha.

Menurut ane bagus,tp kurang nendang. Ga ada klimaksnya. Kirain sabertooth bakal jadi boss terakhir,tp ternyata cuman gitu aja. Tapi film ini tetep okee..apalagi dikasi liat pemandangan 20.000BC aja,mata kita udah dimanjain

Rasyidharry mengatakan...

Beberapa, khususnya pas action jelas CGI. Tapi di luar itu asli, makanya hebat banget itu bisa bikin kesan seolah mereka "bicara".

DUNIA PUNYA CERITA mengatakan...

Bang rasyid review dong filmnya ingmar bregman filmnya bagus2

Rasyidharry mengatakan...

Sudah nggak review film-film lama & non-bioskop lagi sekarang

Anonim mengatakan...

Monstrum sih bang??? Lebih keren dari the predator ma wiro sableng lho bang. Menurut ane sih, cek aja sendiri kaya nya masih tayang bang...