ALPHA (2018)
Rasyidharry
September 24, 2018
Adventure
,
Albert Hughes
,
Bagus
,
Daniele Sebastian Wiedenhaupt
,
Jóhannes Haukur Jóhannesson
,
Kodi Smit-McPhee
,
Natassia Malthe
,
REVIEW
10 komentar
Sejak kapan manusia dan anjing
bersahabat? Jika pertanyaan itu diajukan kepada Albert Hughes (From Hell, The Book of Eli), yang
menyutradarai Alpha berdasarkan
cerita buatannya yang diadaptasi ke dalam naskah oleh Daniele Sebastian
Wiedenhaupt, jawabannya adalah “sejak 20.000 tahun lalu”, ketika dunia menginjak
masa Last Glacial Maximum alias
periode akhir zaman es. Tentu Alpha
bukan dimaksudkan menjadi kisah sejarah akurat, tetapi Hughes cerdik
bermain-main dengan latar belakang fiktif yang ia tanam mengenai hubungan
manusia dengan anjing, atau di film ini, seekor Anjing Serigala Cekoslowakia.
Kodi Smit-McPhee mengaktifkan mode “Leonardo-DiCaprio-di-The-Revenant” saat karakter yang ia
perankan, Keda, terpisah dari sukunya kala berburu bison. Ini perburuan
perdananya, dan Tau (Jóhannes Haukur Jóhannesson), sang ayah sekaligus kepala
suku, bersemangat melihat Keda mulai menapaki jejaknya menjadi sesosok “alpha”. Namun Keda nampak cemas. Mungkin
sebagaimana ibunya (Natassia Malthe) rasa, Keda belum siap. “Dia memimpin
menggunakan hatinya, bukan dengan tombaknya”, sebut sang ibu.
Benar saja, Keda buruk perihal
melempar tombak. Alhasil seekor bison menyeruduk, menjatuhkannya ke ujung tebing.
Tau beserta sukunya pergi, tanpa tahu bahwa Keda masih bernyawa. Sendirian,
sang remaja dituntut menghadapi rentetan bahaya yang memaksanya melatih
keberanian dan kekuatan guna bertahan hidup. Terseret air bah, kekurangan makan
dan minum, terjebak badai es, semua dialami,
tapi kejaran sekelompok serigala lah yang mengubah jalurnya. Melukai seekor
serigala ketika menyelamatkan diri, Keda berujung merawat si serigala,
mengobati lukanya, memberi makan, menamainya Alpha. Alpha pun mengikuti Keda,
sesuatu yang awalnya tak ia kehendaki. Berbagai cara dilakukan untuk mengusir
Alpha, termasuk melempar sebatang kayu, yang justru dia kembalikan pada Keda. Ya,
ini asal muasal permainan “lempar tangkap” versi Hughes.
Smit-McPhee meyakinkan sebagai
seseorang yang terluka, susah payah berjalan, namun transformasi bertahapnya
dari pemuda lemah nan ragu menjadi sosok yang lebih kuat pula dewasa adalah
alasan mengapa pujian layak disematkan bagi sang aktor. Pun itu bukan elemen
terbaik Alpha. Sihir sesungguhnya
tampak dari cara Hughes memperlakukan Alpha. Memakai anjing serigala terlatih,
Hughes mampu membuat Alpha interaktif. Hanya diam menatap, duduk, melolong,
tapi saya seolah dapat memahami maksud di balik segala perbuatan itu berkat
kepiawaian Hughes bercerita lewat visual plus penyuntingan cermat Sandra
Granovsky sehingga Alpha memiliki emosi alami, yang berjasa menguatkan
ikatannya dengan Keda.
Hanya satu dari dua tokoh utama
berbicara dan berakting sungguhan, nyatanya Alpha
malah lebih dinamis sekaligus emosional ketimbang banyak film mengenai
persahabatan antara dua karakter manusia. “Magis” mungkin kata yang tepat
mewakili persahabatan Keda-Alpha, sama magisnya dengan departemen visualnya.
Nyaris semua shot, entah diisi
pemandangan alam prasejarah, bintang di angkasa, atau pergulatan hewan melawan
manusia, dikemas indah. Kadang saya merasa bagai sedang menyaksikan dokumenter
di mana pembuatnya kembali ke masa lalu memakai mesin waktu untuk merekam footage-nya. Sinematografi Martin
Gschlacht layak dipuji, tapi kreativitas Hughes turut berjasa. Tengok saja
pemakaian split screen di adegan “danau
es”.
Di luar imajinasi Hughes akan
permulaan hubungan manusia-anjing serupa momen “lempar tangkap” tadi, narasi Alpha sejatinya formulaik. Daniele
Sebastian Wiedenhaupt mengikuti pola film survival
di mana protagonisnya terluka, tersesat, tersiksa, kelaparan, yang pelan-pelan
mulai menunjukkan tanda repetisi meski durasinya cuma 96 menit. Klimaksnya bisa
dibilang nihil, dan mendadak kita langsung dilempar menuju konklusi, tapi
kelemahan itu ditebus oleh momen penutup indah yang menyiratkan bahwa
persahabatan Keda dan Alpha bakal dilanjutkan oleh keturunan-keturunan mereka
hingga 20.000 tahun ke depan, dan seterusnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:yg ditunggu2 reviewnya dari sabtu akhirnya... brarti recommend bgt dong bg filmnya? hehe
Peppermint gmn bang?
Selalu gak berani nonton film persahabatan manusia-binatang begini, karena biasanya sad ending. Kalo gak tuannya yg mati, ya binatang nya 😟. Trus tinggallah daku nangis2 bercucuran air mata gak bisa tidur....
Kira-kira Oscar-worthy gak gan?
@Yolana Tenang, ini menyentuh tapi uplifting kok :)
@nasrullah Worthy ya jelas worthy, tapi paling cuma dapet nominasi Sinematografi, sama mungkin special effects.
Menggunakan anjing serigala terlatih?kirain saya itu full cgi bang,soalnya pikir kl ga cgi mana isa anjingnya bisa akting gt hahaha.
Menurut ane bagus,tp kurang nendang. Ga ada klimaksnya. Kirain sabertooth bakal jadi boss terakhir,tp ternyata cuman gitu aja. Tapi film ini tetep okee..apalagi dikasi liat pemandangan 20.000BC aja,mata kita udah dimanjain
Beberapa, khususnya pas action jelas CGI. Tapi di luar itu asli, makanya hebat banget itu bisa bikin kesan seolah mereka "bicara".
Bang rasyid review dong filmnya ingmar bregman filmnya bagus2
Sudah nggak review film-film lama & non-bioskop lagi sekarang
Monstrum sih bang??? Lebih keren dari the predator ma wiro sableng lho bang. Menurut ane sih, cek aja sendiri kaya nya masih tayang bang...
Posting Komentar