SAKRAL (2018)

6 komentar
Sakral merupakan kolaborasi kelima (keempat sepanjang 2018) MD Pictures dan Dee Company sekaligus yang terbaik. Kata “terbaik” di sini artinya “paling tidak menyiksa”, karena sejak Gasing Tengkorak tahun lalu, kebersamaan dua rumah produksi ini telah menghasilkan judul-judul yang berpotensi merusak kembali kepercayaan penonton terhadap perfiman Indonesia. Menyebut Sarkal “lebih baik” dibanding filmografi Baginda KK Dheeraj pasca berganti identitas menjadi Dheeraj Kalwani pun layaknya menyatakan terkena flu lebih baik dibanding penyakit lain. Tetap saja menyiksa.

Setidaknya para pembuat film ini belajar dari kesalahan sebelumnya dengan tidak membuat horor yang hanya tersusun atas fragmen-fragmen jump scare yang disusun kasar. Digawangi oleh sutradara Tema Patrosza (Tumbal: The Ritual), Sakral bersedia menahan diri untuk memunculkan hantunya, meminta penonton menunggu agar mampu lebih dulu memaparkan cerita, walau bukan cerita yang solid, menghasilkan penantian melelahkan pula tanpa penebusan yang sepadan di akhir. Tapi sekali lagi, setidaknya mereka belajar. Walau makan waktu lima film dan belum signifikan, Dheeraj Kalwani akhirnya mengalami kemajuan.

Kisahnya dibuka saat sepasang suami istri, Melina (Olla Ramlan) dan Daniel (Teuku Zacky) tengah menanti kelahiran puteri kembar mereka yang akan diberi nama Flora dan Fiona (kenapa bukan “Fauna”???). Malang, hanya Flora yang bertahan hidup. Tapi Flora tumbuh sebagai gadis cilik pendiam, enggan berinteraksi dengan kedua orang tuanya, dan hanya memandangi kotak musik sepanjang hari. Di sisi lain, Melina yang masih dihantui duka justru mulai dihantui juga oleh peristiwa-peristwa misterius. Singkatnya, naskah karya Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Ruqyah: The Exorcism, Gasing Tengkorak) ingin membicarakan bagaimana kekuatan cinta milik suami-istri mampu mengalahkan apa pun termasuk duka (dan iblis). Bukan suatu kejutan rasanya kalau kisahnya gagal menjadi observasi mendalam.

Melina terus melihat hal-hal mengerikan seperti penampakan hantu yang kadang berwajah putih pucat kadang hitam pekat bagai versi murahan dari gelandangan setan di Mulholland Drive-nya David Lynch. Daniel meragukan kewarasan sang istri, yang bakal menggiring kita menuju adegan konyol ketika seorang psikolog sekaligus teman Daniel dengan mudah mendiagnosa Melina menderita skizofrenia. Akting jajaran pemain sama sekali tidak membantu. Sewaktu Teuku Zacky kerepotan mengucapkan dialog (yang aslinya memang dangkal) supaya tak terdengar datar, Olla Ramlan sekedar berteriak, bertingkah sehisteris mungkin. Jangan paksa saya membahas akting si pemeran setan dengan caranya memberi penekanan di tiap akhir kata yang luar biasa menggelikan.

Progresi alurnya cukup rapi karena bersedia menanti hingga momen yang tepat guna memunculkan penampakan hantu, menghabiskan satu jam pertama melangkah pelan sebelum tancap gas di 30 menit akhir. Kisahnya—meski tak pernah tampil meyakinkan—mengalir alih-alih asal melompat dari satu titik ke titik berikutnya sembari diselingi jump scare berkuantitas lebih tinggi ketimbang ceritanya. Akhirnya Baskoro Adi tahu bahwa dalam film horor, dibutuhkan cerita untuk menjembatani teror-terornya. Walau sayangnya, ia masih luput memahami jika logika turut dibutuhkan dalam cerita, sebab setelah satu hari berlalu, saya masih kesulitan mencerna logika konklusi ajaibnya.

Jump scare-nya sendiri medioker, jenis yang akan mengejutkan penonton bukan karena disusun begitu baik, melainkan gempuran tata suara luar biasa keras yang sampai membuat studio bergetar hebat. Padahal saya sempat menaruh sedikit (sangat sedikit) harapan saat mendapati penampakan perdana sang hantu tidak dibarengi musik berisik. Di tangan sutradara yang tepat, Sakral berpotensi menghasilkan klimaks seru, namun Tema belum cukup handal dan/atau berpengalaman dalam menyusun puncak kekacauan menegangkan. Ada niat menciptakan klimaks brutal, tapi tak peduli berapa galon pun darah tumpah, seberapa banyak bagian tubuh terpotong gergaji mesin, tanpa sudut kamera tepat (yang makin vital ketika kadar gore ditekan demi menghindari gunting sensor), sekuen demi sekuen sadis hanya akan numpang lewat. Ngomong-ngomong, kenapa di bawah sink tersimpan katana? Apakah Daniel dan Melina diam-diam pasangan ninja Konoha?

6 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Mas mau nanya.. out of the topic.. knp kalo film indonesia itu downlodannya lama dibanding film luar?? Dan gak ada bluray-nya??

Rasyidharry mengatakan...

Karena biaya produksi bluray mahal, harga produk mahal, dan belum sebanyak itu penonton bluray di sini. Jangankan bluray, DVD aja semakin jarang. Karena mayoritas distributor & produsen home video udah bangkrut. Kenapa bangkrut? Karena begitu rilis home video langsung dibajak. Makanya, JANGAN DOWNLOAD FILM INDONESIA SECARA ILEGAL. Kalau kelewat di bioskop, udah langsung serbu layanan streaming legal aja. Banyak film kita sekarang lansung rilis di sana setelah turun dari bioskop. :)

Bubblewrap Cimahi mengatakan...

Betul. Saya kalau nonton film horor Indonesia tinggal unduh di hooq. Tiga hari lalu baru aja nonton film pocong kamar sebelah, sampai sekarang efeknya masih terasa, masih mikirin logika cerita, masih mikirin itu mahasiswi yang kost pamit mau kuliah tapi adegan selanjutnya berbikini di kolam renang, malam hari hujan lebat dan petir sabung menyambung tapi busana yang dipakai cuma tank top atau lingerie doang

Chan hadinata mengatakan...

1. Diusahain smuanya nonton di bioskop.. trutama film indonesia nah yg sulitnya kalo sdh kelewat.. suka lama trus susah nyarinya.. jgnkan yg legal downlodannya aja susah contoh bus night ama love for sale.. kmarin gak sempet nonton di bioskop
2. Trus kalo gak salah The Raid ama Pengabdi setan bisa ada bluraynya mas

Rasyidharry mengatakan...

@Bubblewrap Haha itu sih emang termasuk film zaman era kegelapan Indonesia.

@Chan Well, kalau ketinggalan di bioskop & nggak ada jalan legal buat nonton satu-satunya solusi cuma sabar. Soalnya banyak file download ilegal itu asalnya dari orang dalam, copy pas diputer di bioskop. Film-film Gareth & Joko emang dapat rilisan bluray karena dapat distribusi internasional, jadi rilisan bluray itu targetnya penonton luar negeri. Kalau yang cuma main di sini atau negara-negara tetangga ya sayang, karena selain modul bikin bluray gede, komisi yang didapet produser nggak seberapa per kepingnya.

Chan hadinata mengatakan...

Sipp.. terima kasih pencerahannya mas