SAKRAL (2018)
Rasyidharry
September 21, 2018
Baskoro Adi Wuryanto
,
Dheeraj Kalwani
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Olla Ramlan
,
REVIEW
,
Tema Patrosza
,
Teuku Zacky
6 komentar
Sakral merupakan kolaborasi kelima (keempat sepanjang 2018) MD
Pictures dan Dee Company sekaligus yang terbaik. Kata “terbaik” di sini artinya
“paling tidak menyiksa”, karena sejak Gasing
Tengkorak tahun lalu, kebersamaan dua rumah produksi ini telah menghasilkan
judul-judul yang berpotensi merusak kembali kepercayaan penonton terhadap
perfiman Indonesia. Menyebut Sarkal “lebih
baik” dibanding filmografi Baginda KK Dheeraj pasca berganti identitas menjadi
Dheeraj Kalwani pun layaknya menyatakan terkena flu lebih baik dibanding
penyakit lain. Tetap saja menyiksa.
Setidaknya para pembuat film ini
belajar dari kesalahan sebelumnya dengan tidak membuat horor yang hanya
tersusun atas fragmen-fragmen jump scare
yang disusun kasar. Digawangi oleh sutradara Tema Patrosza (Tumbal: The Ritual), Sakral bersedia menahan diri untuk
memunculkan hantunya, meminta penonton menunggu agar mampu lebih dulu
memaparkan cerita, walau bukan cerita yang solid, menghasilkan penantian
melelahkan pula tanpa penebusan yang sepadan di akhir. Tapi sekali lagi,
setidaknya mereka belajar. Walau makan waktu lima film dan belum signifikan,
Dheeraj Kalwani akhirnya mengalami kemajuan.
Kisahnya dibuka saat sepasang suami
istri, Melina (Olla Ramlan) dan Daniel (Teuku Zacky) tengah menanti kelahiran puteri
kembar mereka yang akan diberi nama Flora dan Fiona (kenapa bukan “Fauna”???).
Malang, hanya Flora yang bertahan hidup. Tapi Flora tumbuh sebagai gadis cilik
pendiam, enggan berinteraksi dengan kedua orang tuanya, dan hanya memandangi
kotak musik sepanjang hari. Di sisi lain, Melina yang masih dihantui duka
justru mulai dihantui juga oleh peristiwa-peristwa misterius. Singkatnya,
naskah karya Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung,
Ruqyah: The Exorcism, Gasing Tengkorak) ingin membicarakan bagaimana kekuatan
cinta milik suami-istri mampu mengalahkan apa pun termasuk duka (dan iblis).
Bukan suatu kejutan rasanya kalau kisahnya gagal menjadi observasi mendalam.
Melina terus melihat hal-hal
mengerikan seperti penampakan hantu yang kadang berwajah putih pucat kadang
hitam pekat bagai versi murahan dari gelandangan setan di Mulholland Drive-nya David Lynch. Daniel meragukan kewarasan sang
istri, yang bakal menggiring kita menuju adegan konyol ketika seorang psikolog
sekaligus teman Daniel dengan mudah mendiagnosa Melina menderita skizofrenia. Akting
jajaran pemain sama sekali tidak membantu. Sewaktu Teuku Zacky kerepotan
mengucapkan dialog (yang aslinya memang dangkal) supaya tak terdengar datar,
Olla Ramlan sekedar berteriak, bertingkah sehisteris mungkin. Jangan paksa saya
membahas akting si pemeran setan dengan caranya memberi penekanan di tiap akhir
kata yang luar biasa menggelikan.
Progresi alurnya cukup rapi karena
bersedia menanti hingga momen yang tepat guna memunculkan penampakan hantu,
menghabiskan satu jam pertama melangkah pelan sebelum tancap gas di 30 menit
akhir. Kisahnya—meski tak pernah tampil meyakinkan—mengalir alih-alih asal
melompat dari satu titik ke titik berikutnya sembari diselingi jump scare berkuantitas lebih tinggi
ketimbang ceritanya. Akhirnya Baskoro Adi tahu bahwa dalam film horor, dibutuhkan
cerita untuk menjembatani teror-terornya. Walau sayangnya, ia masih luput
memahami jika logika turut dibutuhkan dalam cerita, sebab setelah satu hari
berlalu, saya masih kesulitan mencerna logika konklusi ajaibnya.
Jump scare-nya sendiri medioker, jenis yang akan mengejutkan
penonton bukan karena disusun begitu baik, melainkan gempuran tata suara luar
biasa keras yang sampai membuat studio bergetar hebat. Padahal saya sempat
menaruh sedikit (sangat sedikit) harapan saat mendapati penampakan perdana sang
hantu tidak dibarengi musik berisik. Di tangan sutradara yang tepat, Sakral berpotensi menghasilkan klimaks
seru, namun Tema belum cukup handal dan/atau berpengalaman dalam menyusun
puncak kekacauan menegangkan. Ada niat menciptakan klimaks brutal, tapi tak
peduli berapa galon pun darah tumpah, seberapa banyak bagian tubuh terpotong
gergaji mesin, tanpa sudut kamera tepat (yang makin vital ketika kadar gore ditekan demi menghindari gunting
sensor), sekuen demi sekuen sadis hanya akan numpang lewat. Ngomong-ngomong,
kenapa di bawah sink tersimpan katana? Apakah Daniel dan Melina diam-diam
pasangan ninja Konoha?
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Mas mau nanya.. out of the topic.. knp kalo film indonesia itu downlodannya lama dibanding film luar?? Dan gak ada bluray-nya??
Karena biaya produksi bluray mahal, harga produk mahal, dan belum sebanyak itu penonton bluray di sini. Jangankan bluray, DVD aja semakin jarang. Karena mayoritas distributor & produsen home video udah bangkrut. Kenapa bangkrut? Karena begitu rilis home video langsung dibajak. Makanya, JANGAN DOWNLOAD FILM INDONESIA SECARA ILEGAL. Kalau kelewat di bioskop, udah langsung serbu layanan streaming legal aja. Banyak film kita sekarang lansung rilis di sana setelah turun dari bioskop. :)
Betul. Saya kalau nonton film horor Indonesia tinggal unduh di hooq. Tiga hari lalu baru aja nonton film pocong kamar sebelah, sampai sekarang efeknya masih terasa, masih mikirin logika cerita, masih mikirin itu mahasiswi yang kost pamit mau kuliah tapi adegan selanjutnya berbikini di kolam renang, malam hari hujan lebat dan petir sabung menyambung tapi busana yang dipakai cuma tank top atau lingerie doang
1. Diusahain smuanya nonton di bioskop.. trutama film indonesia nah yg sulitnya kalo sdh kelewat.. suka lama trus susah nyarinya.. jgnkan yg legal downlodannya aja susah contoh bus night ama love for sale.. kmarin gak sempet nonton di bioskop
2. Trus kalo gak salah The Raid ama Pengabdi setan bisa ada bluraynya mas
@Bubblewrap Haha itu sih emang termasuk film zaman era kegelapan Indonesia.
@Chan Well, kalau ketinggalan di bioskop & nggak ada jalan legal buat nonton satu-satunya solusi cuma sabar. Soalnya banyak file download ilegal itu asalnya dari orang dalam, copy pas diputer di bioskop. Film-film Gareth & Joko emang dapat rilisan bluray karena dapat distribusi internasional, jadi rilisan bluray itu targetnya penonton luar negeri. Kalau yang cuma main di sini atau negara-negara tetangga ya sayang, karena selain modul bikin bluray gede, komisi yang didapet produser nggak seberapa per kepingnya.
Sipp.. terima kasih pencerahannya mas
Posting Komentar