JEJAK CINTA (2018)

5 komentar
Sebelum meninggal, mendiang Julia Perez sempat terlibat proyek berjudul Doa untuk Cinta yang ia bintangi bersama Gandhi Fernando, disutradarai Tarmizi Abka (Kalam-Kalam Langit), dan berlokasi di Singkawang. Sayang, sebelum menyelesaikan proses pengambilan gambar, kondisi kesehatan Jupe mulai memburuk. Sempat berhembus kabar mengenai usaha melanjutkan produksi dengan perubahan cerita, namun tak kunjung terealisasi. Sampai Jejak Cinta—yang juga disutradarai Tarmizi Abka serta berlatar Singkawang—dirilis utuk mengenang almarhumah.

Entah bagaimana korelasi kedua proyek tersebut, tapi apabila diniati sebagai persembahan baik bagi Julia Perez maupun penderita kanker secara umum, Jejak Cinta bukan persembahan yang mengesankan. Pertama dari kalimat salah satu karakternya yang berbunyi, “Biasa, penyakit perempuan sekarang, kanker payudara”. Meski bukan pakar medis, saya yakin kanker payudara tidak ada hubungannya dengan “dulu” atau “sekarang”, pun dapat menyerang laki-laki. Lain halnya dengan kanker serviks yang tumbuh di leher rahim sebagaimana diderita Julia Perez.

Berikutnya terkait Maryana (Prisia Nasution), puteri Julia Perez (hanya muncul lewat foto) yang khawatir penyakit yang merenggut nyawa sang ibu juga menurun kepadanya. Kekhawatiran itu terbukti. Kanker serviks juga dimiliki Maryana. Tenang, ini bukan spoiler, sebab fakta itu (plus ending) telah diungkap oleh sinopsis resmi filmnya. Tapi jangankan menggambarkan perjuangan penderita kanker atau memberi edukasi, kondisi medis Maryana sama sekali tak mempengaruhi alur, yang takkan berubah meski kanker serviks digantikan penyakit lain. Seolah penyakit itu ada supaya filmnya dapat menyebut dirinya “A tribute to Julia Perez”.

Babak awal Jejak Cinta sebenarnya bisa dinikmati, saat mengikuti formula soal gadis kota yang belajar mencintai kampung lalu menemukan cinta. Selaku bahan riset untuk desain pakaian yang akan ia kirim ke Berlin Fashion Week, Maryana pulang ke kampung halamannya di Singkawang guna meninjau batik-batik di sana. Di tengah perjalanan ia bertemu Hasan (Baim Wong), yang juga baru tiba untuk menjadi guru baru di sebuah SD. Pertemuan mereka penuh keklisean sarat kebetulan, tapi baik Prisia maupun Baim punya cukup pesona guna memberi warna di tengah barisan dialog membosankan dari naskah tulisan Faozan Rizal (juga menulis Kalam-Kalam Langit), yang tak pernah terdengar manis apalagi menghasilkan pemahaman lebih dalam mengenai karakternya.

Begitu membosankan, perhatian saya teralihkan ke subtitle yang luar biasa ngawur. Jejak Cinta sukses menorehkan prestasi sebagai film dengan terjemahan resmi terburuk yang pernah saya baca, bahkan lebih kacau dari terjemahan berbasis Google Translate yang sering tersedia di Subscene. Laki-laki dipanggil “her, perempuan dipanggil “him”, “tunggu sebentar” menjadi “WHITE a minute”, dan paling memancing tawa ketika “dahsyat-dahsyat” diterjemahkan menjadi “awesome-awesome”. Mungkin jika penerjemahnya ditanya, “Can you speak English?”, ia akan menjawab “Little-little sih I can”.

Kekonyolannya tidak berhenti di urusan subtitle. Seiring waktu, dari romantika sederhana, masalah demi masalah pelik mulai hadir, menambah kompleksitas, di mana semakin rumit konflikya, semakin kacau dan menggelikan filmnya. Karakterisasi merupakan salah satu penyebab. Maryana awalnya adalah wanita kekinian yang enggan buru-buru menikah, mengutamakan karir, hanya untuk tiba-tiba ngebet menikahi Hasan yang belum lama dia kenal. Keputusan itu diambil saat filmnya baru menampilkan 2 momen kebersamaan singkat plus sebuah montase. Oh, jangan pula terlampau memikirkan profesi Maryana selaku desainer terkenal. Kita urung diperlihatkan satu pun hasil desainnya yang dilombakan di Berlin Fashion Week, suatu acara kelas dunia yang di sini dikemas bak peragaan busana kelas mall.

Sedangkan Hasan coba digambarkan sebagai pria baik sejak kemunculan pertamanya, ketika bersedia mengembalikan dompet dan sketchbook milik Maryana. Kebaikan Hasan makin menjadi sewaktu mantan kekasihya, Sarah (Della Wulan Astreani) muncul dalam kondisi batin yang hancur pasca sang ayah, Hendrawan (Mathias Muchus) dijebloskan ke penjara akibat tuduhan korupsi. Meyakini Hendrawan “bersih”, Hasan bersedia membantu termasuk mencarikan jasa pengacara.

Kawan-kawan, janganlah kita menjadi pria seperti Hasan. Kebaikannya memang seolah tanpa pandang bulu, bersedia menolong saat kebanyakan dari kita menganggap mantan merupakan tragedi masa lalu. Namun bila sampai membohongi istri, tak mampu menafkahinya karena keluar dari pekerjaan demi membantu sang mantan, sering meninggalkan istri sendirian meski ia telah rela menetap di kampung, melepaskan hingar bingar ibukota sebagai desainer ternama, artinya kamu suami tak tahu diri yang buta akan prioritas. Lebih gila (juga menggelikan) lagi ketika di atas pelaminan, pengacara yang Hasan sewa mendatangi Hasan, kemudian keduanya berbisik-bisik soal progres kasus Hendrawan. DI ATAS PELAMINAN, DI TENGAH PERNIKAHAN, TEPAT DI SEBELAH MEMPELAI WANITA! Sebagai film yang mengusung tajuk “Jejak Cinta”, jejak-jejak cinta kasih justru sukar ditemukan di sini.

5 komentar :

Comment Page:
KieHaeri mengatakan...

Sudah seperti dugaan filmnya akan bagaimana. Yasudah ntar malem pilih "Udah Putusin Aja!" Yang jika dilihat di trailer cukup menghibur. Semoga bisa mengobati kekecewaan pasca The Nun....hehe

Panca mengatakan...

Reviewnya twist.. dibaca dari atas seperti mau kasih 2 bintang.. makin kebawah makin tergambarkan bobroknya ni film. :D

Panca mengatakan...

oiya Udah Putusin Aja! sudah tayang ya.. sempat tertunda dari awal tahun (gatau kenapa ditundanya) sampe diyakini sama pemainnya bakal ngalahin dilan waktu itu. Cukup bikin penasaran sih..

Rasyidharry mengatakan...

@Ungki Makasih lah kalo itu, nggak berani nontonnya 😂

@Panca Trust me filmnya juga gitu. Awalnya "oh, not bad", makin ke belakang "Oh My God!"

Chan hadinata mengatakan...

Mas rasyid.. gak review brata series yg du hooq??