JEJAK CINTA (2018)
Rasyidharry
September 07, 2018
Baim Wong
,
Della Wulan Astreani
,
Drama
,
Faozan Rizal
,
Julia Perez
,
Mathias Muchus
,
Prisia Nasution
,
REVIEW
,
Romance
,
Sangat Jelek
,
Tarmizi Abka
5 komentar
Sebelum meninggal, mendiang Julia
Perez sempat terlibat proyek berjudul Doa
untuk Cinta yang ia bintangi bersama Gandhi Fernando, disutradarai Tarmizi
Abka (Kalam-Kalam Langit), dan
berlokasi di Singkawang. Sayang, sebelum menyelesaikan proses pengambilan
gambar, kondisi kesehatan Jupe mulai memburuk. Sempat berhembus kabar mengenai
usaha melanjutkan produksi dengan perubahan cerita, namun tak kunjung
terealisasi. Sampai Jejak Cinta—yang
juga disutradarai Tarmizi Abka serta berlatar Singkawang—dirilis utuk mengenang
almarhumah.
Entah bagaimana korelasi kedua
proyek tersebut, tapi apabila diniati sebagai persembahan baik bagi Julia Perez
maupun penderita kanker secara umum, Jejak
Cinta bukan persembahan yang mengesankan. Pertama dari kalimat salah satu
karakternya yang berbunyi, “Biasa, penyakit perempuan sekarang, kanker payudara”.
Meski bukan pakar medis, saya yakin kanker payudara tidak ada hubungannya
dengan “dulu” atau “sekarang”, pun dapat menyerang laki-laki. Lain halnya
dengan kanker serviks yang tumbuh di leher rahim sebagaimana diderita Julia
Perez.
Berikutnya terkait Maryana (Prisia
Nasution), puteri Julia Perez (hanya muncul lewat foto) yang khawatir penyakit
yang merenggut nyawa sang ibu juga menurun kepadanya. Kekhawatiran itu
terbukti. Kanker serviks juga dimiliki Maryana. Tenang, ini bukan spoiler, sebab fakta itu (plus ending) telah diungkap oleh sinopsis
resmi filmnya. Tapi jangankan menggambarkan perjuangan penderita kanker atau memberi
edukasi, kondisi medis Maryana sama sekali tak mempengaruhi alur, yang takkan
berubah meski kanker serviks digantikan penyakit lain. Seolah penyakit itu ada
supaya filmnya dapat menyebut dirinya “A
tribute to Julia Perez”.
Babak awal Jejak Cinta sebenarnya bisa dinikmati, saat mengikuti formula soal
gadis kota yang belajar mencintai kampung lalu menemukan cinta. Selaku bahan
riset untuk desain pakaian yang akan ia kirim ke Berlin Fashion Week, Maryana
pulang ke kampung halamannya di Singkawang guna meninjau batik-batik di sana. Di
tengah perjalanan ia bertemu Hasan (Baim Wong), yang juga baru tiba untuk
menjadi guru baru di sebuah SD. Pertemuan mereka penuh keklisean sarat
kebetulan, tapi baik Prisia maupun Baim punya cukup pesona guna memberi warna
di tengah barisan dialog membosankan dari naskah tulisan Faozan Rizal (juga
menulis Kalam-Kalam Langit), yang tak
pernah terdengar manis apalagi menghasilkan pemahaman lebih dalam mengenai
karakternya.
Begitu membosankan, perhatian saya
teralihkan ke subtitle yang luar
biasa ngawur. Jejak Cinta sukses
menorehkan prestasi sebagai film dengan terjemahan resmi terburuk yang pernah
saya baca, bahkan lebih kacau dari terjemahan berbasis Google Translate yang
sering tersedia di Subscene. Laki-laki dipanggil “her, perempuan dipanggil “him”,
“tunggu sebentar” menjadi “WHITE a minute”,
dan paling memancing tawa ketika “dahsyat-dahsyat” diterjemahkan menjadi “awesome-awesome”. Mungkin jika
penerjemahnya ditanya, “Can you speak
English?”, ia akan menjawab “Little-little
sih I can”.
Kekonyolannya tidak berhenti di
urusan subtitle. Seiring waktu, dari
romantika sederhana, masalah demi masalah pelik mulai hadir, menambah
kompleksitas, di mana semakin rumit konflikya, semakin kacau dan menggelikan
filmnya. Karakterisasi merupakan salah satu penyebab. Maryana awalnya adalah
wanita kekinian yang enggan buru-buru menikah, mengutamakan karir, hanya untuk
tiba-tiba ngebet menikahi Hasan yang belum lama dia kenal. Keputusan itu
diambil saat filmnya baru menampilkan 2 momen kebersamaan singkat plus sebuah montase.
Oh, jangan pula terlampau memikirkan profesi Maryana selaku desainer terkenal.
Kita urung diperlihatkan satu pun hasil desainnya yang dilombakan di Berlin
Fashion Week, suatu acara kelas dunia yang di sini dikemas bak peragaan busana
kelas mall.
Sedangkan Hasan coba digambarkan
sebagai pria baik sejak kemunculan pertamanya, ketika bersedia mengembalikan
dompet dan sketchbook milik Maryana. Kebaikan
Hasan makin menjadi sewaktu mantan kekasihya, Sarah (Della Wulan Astreani)
muncul dalam kondisi batin yang hancur pasca sang ayah, Hendrawan (Mathias
Muchus) dijebloskan ke penjara akibat tuduhan korupsi. Meyakini Hendrawan “bersih”,
Hasan bersedia membantu termasuk mencarikan jasa pengacara.
Kawan-kawan, janganlah kita menjadi
pria seperti Hasan. Kebaikannya memang seolah tanpa pandang bulu, bersedia
menolong saat kebanyakan dari kita menganggap mantan merupakan tragedi masa lalu.
Namun bila sampai membohongi istri, tak mampu menafkahinya karena keluar dari
pekerjaan demi membantu sang mantan, sering meninggalkan istri sendirian meski
ia telah rela menetap di kampung, melepaskan hingar bingar ibukota sebagai
desainer ternama, artinya kamu suami tak tahu diri yang buta akan prioritas.
Lebih gila (juga menggelikan) lagi ketika di atas pelaminan, pengacara yang
Hasan sewa mendatangi Hasan, kemudian keduanya berbisik-bisik soal progres
kasus Hendrawan. DI ATAS PELAMINAN, DI TENGAH PERNIKAHAN, TEPAT DI SEBELAH
MEMPELAI WANITA! Sebagai film yang mengusung tajuk “Jejak Cinta”, jejak-jejak
cinta kasih justru sukar ditemukan di sini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Sudah seperti dugaan filmnya akan bagaimana. Yasudah ntar malem pilih "Udah Putusin Aja!" Yang jika dilihat di trailer cukup menghibur. Semoga bisa mengobati kekecewaan pasca The Nun....hehe
Reviewnya twist.. dibaca dari atas seperti mau kasih 2 bintang.. makin kebawah makin tergambarkan bobroknya ni film. :D
oiya Udah Putusin Aja! sudah tayang ya.. sempat tertunda dari awal tahun (gatau kenapa ditundanya) sampe diyakini sama pemainnya bakal ngalahin dilan waktu itu. Cukup bikin penasaran sih..
@Ungki Makasih lah kalo itu, nggak berani nontonnya 😂
@Panca Trust me filmnya juga gitu. Awalnya "oh, not bad", makin ke belakang "Oh My God!"
Mas rasyid.. gak review brata series yg du hooq??
Posting Komentar