THE PREDATOR (2018)

4 komentar
Di film ini sesosok Predator (the normal one, not the giant Ultimate Predator) mendarat di Bumi berlandaskan suatu tujuan. Tujuan yang terasa berlawanan dengan serangkaian pembantaian yang ia lakukan. Itulah plot hole terbesar filmnya, sebab meski Predator adalah monster berharga diri tinggi, liar, ganas, mereka juga makhluk cerdas. Walau jika sang Predator berpikiran jernih, mampu menahan nafsu membunuh, filmnya akan berakhir bahkan sebelum menginjak second act. Saya menjabarkan lubang tersebut di awal supaya anda bisa bersiap, sehingga tak perlu terlampau memikirkannya dan bisa duduk santai menikmati “slash slash bang bang” persembahan Shane Black (Iron Man 3, The Nice Guys).

Tidak mudah membuat sekuel di seri Predator. Setiap film punya protagonis berbeda tanpa korelasi satu sama lain, menjadikan proses pengembangan karakter mustahil dilakukan. Satu-satunya pilihan hanya memperlebar mitologi para mesin pembunuh berambut dreadlock, dan memang itu yang Black lakukan. Pasca mendarat (darurat) kemudian terlibat konforntasi dengan Quinn McKenna (Boyd Holbrook), penembak jitu Army Rangers yang kebetulan tengah menjalankan misi dan berujung mencuri beberapa teknologi alien, sang Predator dibawa ke fasilitas rahasia untuk diteliti, salah satunya oleh ahli Biologi bernama Casey Bracket (Olivia Munn).

Casey menyadari anomali dalam DNA Predator, yang Black dan Fred Dekker (RoboCop 3) pakai di naskah hasil tulisan mereka guna menjelaskan alasan Predator gemar mendatangi Bumi, sekaligus menegaskan tidak dianggapnya eksistensi dua judul Alien vs. Predator. Anda akan tahu “kenapa” ketika tujuan kedatangan Predator selama ini diungkap. Pembangunan mitologi lain dilakukan lewat pengenalan Ultimate Predator, pemburu para pemburu, yang berburu bersama anjing-anjing raksasa (Predogtor? Predadog?) yang juga berambut dreadlocks. Menurut Casey, rambut tersebut berfungsi sebagai penghantar sinyal. Ultimate Predator lebih besar, lebih kuat, tapi caranya beraki bak monster bodoh ketimbang mesin pembunuh taktis layaknya Predator orisinal. Jadi bila ada pertanyaan apakah ia menyeramkan, jawabannya “Tidak”.

Namun Shane Black berbekal kekhasan penulisannya jelas tak berniat membuat The Predator sebagai horor kelam nan serius. Diperlihatkan kala kita bertemu sekelompok veteran perang bermasalah yang terdiri atas pengidap Tourette, ADHD, PTSD, dan lain-lain. Quinn, yang coba dibungkam sebagai saksi pendaratan Predator, termasuk salah satunya. Bergantian mereka melontarkan lelucon, khususnya Coyle (Keegan-Michael Key) dengan “mulut busuknya”. Tanpa penokohan mendalam, tidak pula memorable, setidaknya kehadiran mereka menghasilkan momen-momen menyenangkan. Trevante Rhodes paling menonjol, piawai menangani kalimat demi kalimat, membuat karakter Nebraska bagai kawan yang bisa diajak bicara hati-ke-hati di malam hari sembari menenggak sebotol bir dengan nyaman.

Keputusan Black memacu kencang The Predator sayangnya kerap menghalangi beberapa humor—yang dibawakan dengan apik oleh jajaran pemain—mencapai potensi puncak akibat comedic timing-nya sering berantakan, buru-buru melaju sebelum penonton mampu memproses banyolannya secara menyeluruh. Tapi ketika berhasil, tawa yang dihasilkan tidak tanggung-tanggung, apalagi Black menolak malu-malu mengumbar kekonyolan, termasuk melalui komedi slapstick.

Serupa film aksi popcorn masa lalu, khususnya era 80an, The Predator digeber kencang, diiringi baku tembak serta kejar-kejaran pesawat yang semuanya gaduh, tanpa pernah berniat menginjak rem. Sebuah keputusan tepat melihat tipisnya alur yang cuma diisi segelintir eksposisi mitologi, yang apabila dijajarkan, takkan berjalan sampai 15 menit. Singkatnya, seperti film aksi oldskul ketika seorang jagoan masuk hutan dan menghabisi sepasukan lawan seorang diri. Tapi seperti film aksi oldskul pula, Black menyimpan amunisi sebagai ganti ketiadaan jalinan cerita solid, yaitu gore. Predator mengunyah kepala manusia, menyayat perut hingga segala isinya berhamburan, mencabik-cabik wajah mereka, menyemburkan darah ke segala penjuru ruangan. Kebrutalan The Predator akan memuaskan para pencari sadisme over-the-top, termasuk berkat kepiawaian Black merangkai deretan momen kematian kreatif. Mungkin sulit mengingat detail penokohan tiap orang, tapi tidak dengan cara mereka meregang nyawa.

Boyd Holbrook adalah leading man yang solid, meyakinkan mengangkat senjata pula menebar senyum kharismatik. Begitu pun Olivia Munn yang dapat berdiri tegak dalam franchise yang selama ini identik, atau tepatnya diawali dengan parade machismo Arnold Schwarzenegger dan kawan-kawan 31 tahun lalu. Turut tampil adalah Jacob Tremblay, memerankan putera Quinn, Rory McKenna, pengidap autisme sekaligus seorang bocah jenius yang sanggup mengakali peralatan canggih milik Predator. Tremblay sebagaimana biasa tampil apik, dan rasanya bakal memainkan peran besar di kelanjutan seri ini (jika dibuat), mengingat benih yang ditanam pada konklusi The Predator merujuk pada sekuel yang lebih futuristik.

4 komentar :

Comment Page:
KOKO mengatakan...

Benar sekali. Di saat saya ingin mencerna beberapa humornya.. Sutradaranya dengan cepat berpindah jalur ke gerak cepat.. jadi terkadang agak ngah ngoh ...belum selesai yang ini , udah masuk yang onoh..

Reza mengatakan...

Tapi jujur deh bang visual effectnya menurut gue kyk agak gak niat, beda sama predatornya nimrod amtal, atau bahkan beda sama Iron Man 3 yg doi garap.

Gue udah nebak sebelum filmnya rilis dengan masuknya keegan michael key kalo film ini bakal ada unsur humornya, terus sama Shane Black yg emang doyan nyelipin komedi di 3 film yg dia direct.

Pertanyaan gue, menurutlu bang kemungkinan ini bakal digarap sequel besar atau kecil ya?

Rasyidharry mengatakan...

@Koko Yes, paling kerasa pas Olivia Munn jatuh dari bus. Kasar dan buru-buru.

@Reza Ya kurang fair dibandingin sama Iron Man 3 yang bujetnya hampir 3x lipat. Kalau sama Predators (2010), karena di situ kebutuhan efek nggak banyak jadi bisa dialokasikan lebih maksimal. Dan kebanyakan adegan malem yang burem, ada cela nggak terlalu kelihatan. Di sini malem tapi jelas.

Dari finansial sih besar. Proyeksi opening weekend-nya besar. Tinggal gimana nanti rencana setelah haknya pindah ke Disney. Ditambah Black baru bermasalah karena pakai temennya yang pelaku pelecehan seksual.

stanleu mengatakan...

Malah lebih suka sama predatir 2010 nya brody, kerasa lebih fresh karena setting nya trus suspense gore nya juga lebih dapet dripada yang ini