GILA LU NDRO! (2018)
Rasyidharry
September 14, 2018
Alex Abbad
,
Aline Djayakusuma
,
Comedy
,
Herwin Novianto
,
Indonesian Film
,
Indro Warkop
,
Kurang
,
Mieke Amalia
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Tora Sudiro
,
Upi
3 komentar
Sebagaimana mestinya komedi satir, Gila Lu Ndro! menyindir realita dengan
humor. Diharapkan, penonton tertawa sembari merenungkan peristiwa yang tengah
disaksikan. Namun film keempat sutradara Herwin Novianto (Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, Tanah Surga...Katanya, Jagad X Code)
ini di satu titik lupa akan niatnya menyampaikan sesuatu karena terlampau sibuk
berusaha sekonyol mungkin, sebaliknya, di titik lain getol berceramah sehingga
lalai melucu. Mau yang mana pun, bobot pesannya berujung terlemahkan.
Guna memahami poin utama film ini,
kita perlu mengikuti cerita yang dituturkan Indro (Tora Sudiro) kepada sang
istri, Nita—nama istri Indro Warkop di dunia nyata—yang diperankan Mieke
Amalia, yang cukup beruntung mendapat jatah kalimat-kalimat terlucu dalam
naskah garapan Upi (Tusuk Jelangkung, My
Stupid Boss, Sweet 20) bersama “anak didiknya”, Aline Djayakusuma. Deretan
kalimat tersebut kebanyakan berfungsi mengutarakan keheranan sekaligus
kekesalannya terhadap cerita absurd sang suami yang mengaku bertemu Al (Indro
Warkop) alias Alien, Raja dari planet Alienus.
Sebagai Raja, Al merasa perlu menemukan
jalan menyelesaikan konflik tak berkesudahan antara warga Alienus. Untuk itulah
ia mencari “Sumber Damai”, yang konon dimiliki Bumi. Dibantu Indro, Al pun
melakukan perjalanan mengitari Bumi (baca: Jakarta), menemui ragam peristiwa
yang filmnya pakai sebagai alat menyindir isu-isu sosial di sekitar. Mulai dari
yang mereka lihat langsung seperti penyebaran hoax, penerimaan suap oleh polisi, pembeli yang menawar harga
semaunya, obrolan singkat soal kegemaran wakil rakyat tidur pulas tatkala
sidang, sampai baliho berupa ajakan berdoa (alih-alih mengusahakan jalan
keluar) apabila terkena banjir.
Jadi apa yang Gila Lu Ndro! tawarkan demi menyelesaikan segala masalah di atas?
Al sebagai Raja merupakan metafora pemimpin bangsa ini, dan filmnya secara
gamblang nan lantang menyebut bahwa turun ke jalan menemui rakyat langsung
alias blusukan merupakan jalan
keluar. Kata “blusukan” bahkan Indro
ucapkan, meniadakan ruang bagi kesubtilan. Daripada “merasakan”, rasanya
seperti disuapi oleh Indro, yang penokohannya bisa dirangkum dalam 2 kata, “penengah
konflik”. Tidak lebih, tetapi bisa kurang. Sebab di beberapa situasi, ia bahkan
tak menengahi permasalahan, sebatas berdiri, mengamati, atau malah kabur.
Bagaimana dengan kita? Para manusia
biasa, bukan pemimpin bangsa atau alien dengan sumber daya tanpa batas.
Sejujurnya sulit dipahami akibat masing-masing problematika tak mempunyai
korelasi pasti, seolah tanpa gambaran besar untuk disampaikan. Terkesan, tiap
masalah dipilih bukan atas dasar kebutuhan narasi, melainkan dari pertimbangan,
“mana yang paling konyol”. Bahkan ada subplot saat Al mendapatkan peran di
sebuah film buatan Alex Abbad setelah seluruh pemain menolak hadir di lokasi.
Apa kaitannya dengan pencarian kedamaian?
Untunglah, walau membayangi
pesannya, komedi film ini mampu memproduksi tawa. Masih terjadi inkonsistensi,
meleset di sana-sini khususnya ketika Herwin Novianto tampak kurang cakap
mengatur timing, namun berhasil juga tepat
sasaran di banyak sisi berkat sederet ide kreatif Aline dan Upi, yang tetap
mengedepankan kelucuan ketimbang berusaha seaneh mungkin (like you-know-who). Saya suka setiap kali Nita memotong cerita
Indro, yang dibungkus lewat berbagai cara unik.
Berlawanan dengan sang istri, Tora
kurang lepas membanyol karena di saat bersamaan dibebani peran selaku penyampai
pesan moral. Sebaliknya, Indro melakoni peran layar lebar terlucunya pasca era
Warkop DKI, dengan humor cross-dressing
di akhir merupakan momen terbaik. Keseluruhan Gila Lu Ndro! memang lucu. Penonton yang mengisi penuh studio
tempat saya menonton jelas terpuaskan. Apabila cuma bertujuan memancin tawa,
maka film ini sukses. Tapi Gila Lu Ndro!
ingin menjadi lebih.....dan gagal. Coba tanyakan pada penonton yang tergelak
sepanjang film mengenai intisari filmnya, besar kemungkinan mereka tidak mampu
mengutarakan jawaban pasti.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:jika hanya ingin tertawa film ini cocok ya untuk nemenin akhir pekan?
baru kelar nonton
beberapa scene emang ngehe juga
beberapa garing
tapi film nya bener beber kosong ya
mau satir tp gagal
jd kalau mau cuman ketawa ketawa ya lumayan lah
Yep, ketawa ya pasti ketawa. Tapi balik ke intensi sebagai satir, penonton pulang nyaris nggak bawa apa-apa.
Posting Komentar