GILA LU NDRO! (2018)

3 komentar
Sebagaimana mestinya komedi satir, Gila Lu Ndro! menyindir realita dengan humor. Diharapkan, penonton tertawa sembari merenungkan peristiwa yang tengah disaksikan. Namun film keempat sutradara Herwin Novianto (Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, Tanah Surga...Katanya, Jagad X Code) ini di satu titik lupa akan niatnya menyampaikan sesuatu karena terlampau sibuk berusaha sekonyol mungkin, sebaliknya, di titik lain getol berceramah sehingga lalai melucu. Mau yang mana pun, bobot pesannya berujung terlemahkan.

Guna memahami poin utama film ini, kita perlu mengikuti cerita yang dituturkan Indro (Tora Sudiro) kepada sang istri, Nita—nama istri Indro Warkop di dunia nyata—yang diperankan Mieke Amalia, yang cukup beruntung mendapat jatah kalimat-kalimat terlucu dalam naskah garapan Upi (Tusuk Jelangkung, My Stupid Boss, Sweet 20) bersama “anak didiknya”, Aline Djayakusuma. Deretan kalimat tersebut kebanyakan berfungsi mengutarakan keheranan sekaligus kekesalannya terhadap cerita absurd sang suami yang mengaku bertemu Al (Indro Warkop) alias Alien, Raja dari planet Alienus.

Sebagai Raja, Al merasa perlu menemukan jalan menyelesaikan konflik tak berkesudahan antara warga Alienus. Untuk itulah ia mencari “Sumber Damai”, yang konon dimiliki Bumi. Dibantu Indro, Al pun melakukan perjalanan mengitari Bumi (baca: Jakarta), menemui ragam peristiwa yang filmnya pakai sebagai alat menyindir isu-isu sosial di sekitar. Mulai dari yang mereka lihat langsung seperti penyebaran hoax, penerimaan suap oleh polisi, pembeli yang menawar harga semaunya, obrolan singkat soal kegemaran wakil rakyat tidur pulas tatkala sidang, sampai baliho berupa ajakan berdoa (alih-alih mengusahakan jalan keluar) apabila terkena banjir.

Jadi apa yang Gila Lu Ndro! tawarkan demi menyelesaikan segala masalah di atas? Al sebagai Raja merupakan metafora pemimpin bangsa ini, dan filmnya secara gamblang nan lantang menyebut bahwa turun ke jalan menemui rakyat langsung alias blusukan merupakan jalan keluar. Kata “blusukan” bahkan Indro ucapkan, meniadakan ruang bagi kesubtilan. Daripada “merasakan”, rasanya seperti disuapi oleh Indro, yang penokohannya bisa dirangkum dalam 2 kata, “penengah konflik”. Tidak lebih, tetapi bisa kurang. Sebab di beberapa situasi, ia bahkan tak menengahi permasalahan, sebatas berdiri, mengamati, atau malah kabur.

Bagaimana dengan kita? Para manusia biasa, bukan pemimpin bangsa atau alien dengan sumber daya tanpa batas. Sejujurnya sulit dipahami akibat masing-masing problematika tak mempunyai korelasi pasti, seolah tanpa gambaran besar untuk disampaikan. Terkesan, tiap masalah dipilih bukan atas dasar kebutuhan narasi, melainkan dari pertimbangan, “mana yang paling konyol”. Bahkan ada subplot saat Al mendapatkan peran di sebuah film buatan Alex Abbad setelah seluruh pemain menolak hadir di lokasi. Apa kaitannya dengan pencarian kedamaian?

Untunglah, walau membayangi pesannya, komedi film ini mampu memproduksi tawa. Masih terjadi inkonsistensi, meleset di sana-sini khususnya ketika Herwin Novianto tampak kurang cakap mengatur timing, namun berhasil juga tepat sasaran di banyak sisi berkat sederet ide kreatif Aline dan Upi, yang tetap mengedepankan kelucuan ketimbang berusaha seaneh mungkin (like you-know-who). Saya suka setiap kali Nita memotong cerita Indro, yang dibungkus lewat berbagai cara unik.

Berlawanan dengan sang istri, Tora kurang lepas membanyol karena di saat bersamaan dibebani peran selaku penyampai pesan moral. Sebaliknya, Indro melakoni peran layar lebar terlucunya pasca era Warkop DKI, dengan humor cross-dressing di akhir merupakan momen terbaik. Keseluruhan Gila Lu Ndro! memang lucu. Penonton yang mengisi penuh studio tempat saya menonton jelas terpuaskan. Apabila cuma bertujuan memancin tawa, maka film ini sukses. Tapi Gila Lu Ndro! ingin menjadi lebih.....dan gagal. Coba tanyakan pada penonton yang tergelak sepanjang film mengenai intisari filmnya, besar kemungkinan mereka tidak mampu mengutarakan jawaban pasti.

3 komentar :

Comment Page:
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

jika hanya ingin tertawa film ini cocok ya untuk nemenin akhir pekan?

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

baru kelar nonton
beberapa scene emang ngehe juga
beberapa garing
tapi film nya bener beber kosong ya
mau satir tp gagal
jd kalau mau cuman ketawa ketawa ya lumayan lah

Rasyidharry mengatakan...

Yep, ketawa ya pasti ketawa. Tapi balik ke intensi sebagai satir, penonton pulang nyaris nggak bawa apa-apa.