APOSTLE (2018)
Rasyidharry
Oktober 16, 2018
Aria Prayogi
,
Dan Stevens
,
Elen Rhys
,
Fajar Yuskemal
,
Gareth Evans
,
horror
,
Lumayan
,
Matt Flannery
,
Michael Sheen
,
REVIEW
7 komentar
Gareth Evans menantang dirinya
sendiri melalui Apostle. Setelah
tancap gas dengan 3 film termasuk dwilogi The
Raid yang mengubah skena film aksi dunia, Evans membuat period horror yang di dalamnya mengalir
DNA serupa The Wicker Man (versi
1973, bukan remake konyol Nicolas
Cage). Apostle sama-sama menampilkan
protagonis pria dengan masalah psikis yang pergi ke sebuah pulau tempat
kelompok cult misterius tinggal, guna
menyelamatkan seorang wanita. Dan serupa horor klasik karya Robin Hardy
tersebut, Evans memilih gaya slow burn.
Pria di balik tontonan pemacu
adrenalin membuat horor slow burn
adalah sesuatu yang tak pernah saya duga. Menulis naskahnya sendiri, Evans
mengisahkan soal Thomas Richardson (Dan Stevens), yang berhenti menjadi
misionaris pasca tragedi yang nyaris membunuhnya. Nyawa Thomas selamat, namun
keyakinannya kepada Tuhan yang akhirnya terbunuh. Sempat hilang dan disangka
tewas, kini Thomas mesti mencari adiknya, Jennifer (Elen Rhys) yang diculik
sekelompok cult demi uang tebusan.
Thomas harus menemukan Jennifer sebelum cult
yang dipimpin Malcolm (Michael Sheen) itu membongkar identitasnya.
Sejam pertamanya bergerak lambat,
dengan hanya sekelumit penampakan misterius serta satu sekuen aksi pendek
berdarah mengisi di sela-sela. Sisanya, Evans mengajak penonton mengobservasi
beberapa sudut pandang—atau tepatnya kritik—di kepalanya perihal sisi gelap
agama. Ada mantan misionaris yang membenci Tuhan, juga Nabi palsu yang
merepresentasikan keserakahan umat manusia, yang tak pernah ragu merusak
semesta demi kepentingan personal, bahkan “mengeksploitasi Tuhan”.
Dan Stevens (The Guest, Beauty and the Beast) memberi performa intens, yang
meski takkan membawanya menyabet piala penghargaan, tampak sempurna di tengah
bangunan dunia sarat kegilaan milik Evans, meski studi terhadap karakter Thomas
yang coba Evans jabarkan tampil terlalu dangkal. Ada pula usaha merangkai misteri
terkait kebenaran soal misteri di pulau tersebut yang penyampaiannya kurang
mengikat. Pertama, karena rangkaian alurnya tak cukup tricky untuk menggiring penonton terus mengajukan pertanyan. Kedua,
sebagaimana telah kita saksikan di The
Raid 2: Berandal (2014), Evans bukanlah penulis yang baik, khususnya
diakibatkan tendensi bercerita terlalu banyak, membentangkan konflik selebar
mungkin tanpa fokus jelas.
Ketimbang menggali satu-dua konflik
lebih jauh, Evans terus membeberkan subplot demi subplot tak perlu, di mana
masing-masing tampil tanpa kedalaman, bahkan saling melemahkan karena kurangnya
kesempatan eksplorasi, tatkala Evans mengutamakan kuantitas di atas kualitas
(durasinya membengkak sampai 130 menit). Beruntung, sewaktu “Gareth Evans si
penulis” terbata-bata, “Gareth Evans si sutradara” masih berjaya. Kepekan
visualnya sanggup menciptakan atmosfer mengerikan sekaligus disturbing tanpa perlu bergantung pada jump scare.
Keberhasilan tersebut juga jasa
sinematografer langganan Evans, Matt Flannery (Merantau, dwilogi The Raid),
yang bukan cuma menangkap keindahan panorama Wales, pula teror menggganggu di
desa tersembunyinya. Tambahkan musik unik garapan duo Fajar Yuskemal (The Raid, Headshot, Killers) dan Aria
Prayogi (The Raid, Headshot, Wiro
Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212), Apostle mungkin terlampau panjang dan sesekali melelahkan, namun
tidak pernah membosankan.
Kemudian kita tiba di satu jam
terakhir saat sang sutradara melepaskan segala kegilaan kaya gore yang akan membuat penontonnya
antara menutup mata menahan ngilu atau bersorak kegirangan. Seperti biasa camerawork Flannery efektif menyuntikkan
intensitas melalui pergerakan dinamis maupun getaran manic yang memunculkan sense of urgency yang rasanya takkan
mampu diikuti penata kamera lain. Apostle
bukan sadisme indah layaknya The Raid.
Ini adalah sajian “tebas-dan-tusuk” dengan kebrutalan mentah. Eksperimen Evans
mungkin belum sepenuhnya berjalan mulus, tapi mungkin hanya dia yang cukup
berani memadukan dua wajah horor yang berlawanan semacam ini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Baru semalam nonton nya,bagus sih tapi terasa tanggung.. Adegan horor nya gak terlalu,adegan action nya juga cuma sedikit tapi saya menyukai perjuangan karakternya dalam mencari adik nya. Menyentuh juga di beberapa titik meski endingnya masih membuat saya bingung.
Spoiler dikit endingnya..
Itu richardson jd "tuhan" yg baru lg kah??
Trus itu yg mukanya kyk dibalut tali.. apaan sih sbnarnya??
Gak bgitu paham analoginay
Saya sangat puas dengan karyanya yg Gareth Evans yg satu ini, setelah The Raid 2 cukup lama dia istirahat dan penantian ini akhirnya terbayar lunas, saya telah lama menunggu film ini sejak diumumkan, ingin sekali lagi meliat bagaimana kegilaan seorang Evans saat membuat sebuah film.
Di Safe Heaven yg salah satu segmen di VHS 2 bersama satu manusia gila lagi Timo Tjahyanto, dia benar" tahu caranya membuat kebrutalan di tengah kepanikan, dia bersama kegilaan disetiap ide shootnya yg unik, sekuen aksinya memang bukan memadukan koreo kompleks macam The Raid, tapi aksinya tetap jadi salah satu adegan aksi terbaik dalam tahun ini menurut saya dan jumpscare lumayan efektif biar cuma sedkit. 2 jempol lagi patut disematkan pada scoring langganan Evans, Fajar Yuskemal dan Aria Prayogi, dgn musik yg tepat guna dan sangat menggambarkan imej film ini.
Tidak sabar bagaimana film Evans selanjutnya, berharap kegilaannya tidak ditekan dan diatur oleh studio sebagaimana yg saya takutkan saat ada kabar akan garap Deathstroke.
Bang Rasyid kapan mengeview si gila yg satu lg Timo Tjahyanto lewat The Night Comes for Us :)
Sapuiler :
Sepertinya yg brmasalah adalah pulau tersebut yg ingin mncari inang untuk bisa minum darah. Karna si nenek sudah terlalu lama menjadi inang makanya pulau mencari gantinya dan dia menemukan inang yg tepat saat Thomas datang ke pulau itu, buktinya persona si nenek mengikuti kemapun Thomas pergi.
Ada tokoh pendeta,yang mengeksplorasi keraguan-keraguan akan ketuhanan,nuansanya adakah kemiripn seperti yang diangkat Paul Schrader di First Reformed kah kang Rasyid
@Chan Ya, itu semacam reborn of faith. Sekarang dia jadi Tuhan yang berkesemaptan rebuild. Kalau soal The Grinder memang nggak dijelasin. Anggap aja "another cool & crazy character made by Evans". Kan emang suka gitu dia.
@Dading Malah setelah lihat film ini, Evans perlu "diatur" sih, khusus di naskah tapi. Atau paling nggak, ada partner nulis yang lebih oke, biar bisa nahan ambisi dia bikin cerita yang melebar ke mana-mana.
Itu bukan terlalu lama, tapi karena dirusak manusia. Representasi mother nature.
@hergia Not really. Satu, karena ini misionaris, bukan pendeta. Dua, First Reformed emang studi karakter, di sini nggak terlalu. Pendekatannya juga jelas beda jauh.
Apakah yang dimaksud remake konyol cage itu adalah Mandy? Karena aga mirip mnurut saja, bedanya mandy pendekatan lebih ke art house gabisa dibilang konyol juga, ratimg di RT juga tinggi kok, dan sinematografi nya tjakep psychedelic gitu
@Lucass No no, remake The Wicker Man (2006)
Posting Komentar