HELICOPTER EELA (2018)
Rasyidharry
Oktober 17, 2018
Anand Gandhi
,
Comedy
,
Drama
,
Hindi Movie
,
Kajol
,
Lumayan
,
Mitesh Shah
,
Pradeep Sarkar
,
REVIEW
,
Riddhi Sen
,
Tota Roy Chowdhury
Tidak ada komentar
Helicopter Eela adalah satu lagi sajian women’s empowerment memuaskan asal Bollywood. Alurnya bicara
seputar wanita, yang tak semestinya membiarkan ketiadaan pria pendamping hidup
menghancurkan mimpinya, juga bagaimana menjadi seorang ibu bukan berarti ikut
mengubur mimpi tersebut. Ibu yang hebat tidak harus terobsesi, terlalu
protektif kepada anak, hingga membuang sisi lain kehidupannya. Alih-alih
demikian, kedua belah pihak (ibu-anak) mesti saling mendukung dan melengkapi.
Judulnya berasal dari istilah “Helicopter Parenting”, sebutan bagi
orang tua yang memberi perhatian berlebih kepada anaknya. Demikianlah Eela
Raiturkar (Kajol) yang saat pertama kita temui, baru saja memutuskan menyelesaikan
kuliah setelah 22 tahun. Menariknya, dia masuk ke kampus bahkan kelas yang sama
dengan puteranya, Vivaan (Riddhi Sen). Tapi sebelum kita menyelami lebih dalam
hubungan mereka, filmnya mundur ke belakang hingga tahun 1994, ketika Eela muda
tengah berjuang mengawali karir di dunia tarik suara dengan bantuan sang
kekasih, Arun (Tota Roy Chowdhury).
Bermodalkan suara emas, bersama
Arun, Eela pun membentuk duo penyanyi/penulis lagu yang solid. Ketika kesempatan
akhirnya tiba, Eela tak menyia-nyiakannya, dan dalam waktu relatif singkat, ia
merintis kesuksesan. Single perdananya sukses, bakatnya diakui para pembesar
industri musik, bahkan diundang ke acara peluncuran MTV India. Di usianya yang
mencapai 44 tahun, Kajol tetap sesuai, mulus menangani Eela versi muda yang
penuh antusiasme. Menyenangkan melihat kesuksesannya, namun mengingat ini
sebatas flashback, kita tahu di satu
titik karir serta hidupnya bakal terjun bebas.
Eela menikahi Arun, melahirkan
Vivaan, dan walau karirnya tak begitu mulus akibat permasalahan industri, semua
nampak baik-baik saja. Kemudian filmnya banting setir, memberi kita alasan
mengejutkan tentang pemantik perubahan hidup Eela, yang menuturkan bahwa mimpi
diciptakan oleh masa muda kita yang penuh semangat, harapan, dan
cinta.....sebelum realita mengambil alih. Satu keputusan ekstrim dari Arun
mempengaruhi Eela, menciptakan “Helicopter
Eela”.
Vivaan dewasa merasa privasinya
diinvasi oleh sang ibu yang senantiasa memasuki untuk menggeledah tiap sudut kamarnya, memaksanya
selalu pulang cepat, tapi satu hal yang amat mengganggunya adalah keharusan
membawa kotak bekal. Benda itu sejatinya simbol perhatian ibu terhadap anaknya
semasa kecil, di mana cinta kasih dicurahkan ke tiap makanan yang terbungkus
rapi dalam kotak. Tapi bagaimana jika dalam pemberiannya sang ibu tidak dapat
mengontrol diri?
Paruh tengahnya mengalami penurunan
dan gampang dilupakan karena naskah buatan Mitesh Shah (Tumbbad) dan Anand Gandhi (Ship
of Theseus) gagal memaksimalkan situasi unik sewaktu ibu dan anak berkuliah
di satu kampus guna menghasilkan kejenakaan. Bobot emosi pun tak seberapa kuat akibat
repetisi konflik. Eela dan Vivaan akan bertengkar, berbaikan lewat resolusi
yang terlalu mudah (atau bahkan tanpa resolusi alias semua mendadak kembali
seperti sedia kala), kemudian bertengkar lagi karena alasan serupa.
Paling tidak, di fase ini, sutradara
Pradeep Sarkar (Lafangey Parindey,
Mardaani) mampu merangkai satu adegan menyentuh sewaktu Vivaan melihat Eela
duduk sendirian di kampus, tanpa teman atau kegiatan untuk dilakukan (Eela
berjanji takkan mengikuti puteranya). Adegan tersebut bagai pengingat akan
kesepian ibu sewaktu kita meninggalkannya demi hal lain. Pun momen itu penting,
berperan selaku titik balik ketika Helicopter
Eela mengambil jalan sarat makna sebagai resolusi saat Vivaan juga berniat
membantu sang ibu menemukan lagi kehidupannya secara utuh.
Memiliki titular character penyanyi berbakat, sudah pasti Helicopter Eela diisi lagu-lagu catchy, khususnya lagu dari masa lalu
Eela dengan lirik dan aransemen yang terdengar “murni” sebelum balutan
elektronik mengambil alih (Yaadon Ki
Almari adalah favorit saya). Sayang, beberapa kali, Pradeep Sarkar
membiarkan sekuen musikalnya berlangsung terlalu lama sehingga melemahkan dinamikanya.
Konklusinya dibarengi berbagai
kemustahilan, saat Helicopter Eela memilih mengorbankan logika demi pencapaian artistik
pula emosi. Pilihan itu sah-sah saja selama berhasil, dan sang sutradra
memastikan “pengorbanan” tersebut tak sia-sia. Musikal penutupnya yang dibarengi
lagu Khoya Ujaala tampil meriah setelah
diawali momen intim emosional yang dieksekusi dengan baik oleh Pradeep, juga
kebolehan Kajol mengolah emosi. Bukti bahwa meski 23 tahun telah berlalu pasca
piala Filmfare perdananya lewat Dilwale
Dulhania Le Jayenge, ia masih salah satu aktris terbaik di negerinya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar