HELICOPTER EELA (2018)

Tidak ada komentar
Helicopter Eela adalah satu lagi sajian women’s empowerment memuaskan asal Bollywood. Alurnya bicara seputar wanita, yang tak semestinya membiarkan ketiadaan pria pendamping hidup menghancurkan mimpinya, juga bagaimana menjadi seorang ibu bukan berarti ikut mengubur mimpi tersebut. Ibu yang hebat tidak harus terobsesi, terlalu protektif kepada anak, hingga membuang sisi lain kehidupannya. Alih-alih demikian, kedua belah pihak (ibu-anak) mesti saling mendukung dan melengkapi.

Judulnya berasal dari istilah “Helicopter Parenting”, sebutan bagi orang tua yang memberi perhatian berlebih kepada anaknya. Demikianlah Eela Raiturkar (Kajol) yang saat pertama kita temui, baru saja memutuskan menyelesaikan kuliah setelah 22 tahun. Menariknya, dia masuk ke kampus bahkan kelas yang sama dengan puteranya, Vivaan (Riddhi Sen). Tapi sebelum kita menyelami lebih dalam hubungan mereka, filmnya mundur ke belakang hingga tahun 1994, ketika Eela muda tengah berjuang mengawali karir di dunia tarik suara dengan bantuan sang kekasih, Arun (Tota Roy Chowdhury).

Bermodalkan suara emas, bersama Arun, Eela pun membentuk duo penyanyi/penulis lagu yang solid. Ketika kesempatan akhirnya tiba, Eela tak menyia-nyiakannya, dan dalam waktu relatif singkat, ia merintis kesuksesan. Single perdananya sukses, bakatnya diakui para pembesar industri musik, bahkan diundang ke acara peluncuran MTV India. Di usianya yang mencapai 44 tahun, Kajol tetap sesuai, mulus menangani Eela versi muda yang penuh antusiasme. Menyenangkan melihat kesuksesannya, namun mengingat ini sebatas flashback, kita tahu di satu titik karir serta hidupnya bakal terjun bebas.

Eela menikahi Arun, melahirkan Vivaan, dan walau karirnya tak begitu mulus akibat permasalahan industri, semua nampak baik-baik saja. Kemudian filmnya banting setir, memberi kita alasan mengejutkan tentang pemantik perubahan hidup Eela, yang menuturkan bahwa mimpi diciptakan oleh masa muda kita yang penuh semangat, harapan, dan cinta.....sebelum realita mengambil alih. Satu keputusan ekstrim dari Arun mempengaruhi Eela, menciptakan “Helicopter Eela”.

Vivaan dewasa merasa privasinya diinvasi oleh sang ibu yang senantiasa memasuki untuk  menggeledah tiap sudut kamarnya, memaksanya selalu pulang cepat, tapi satu hal yang amat mengganggunya adalah keharusan membawa kotak bekal. Benda itu sejatinya simbol perhatian ibu terhadap anaknya semasa kecil, di mana cinta kasih dicurahkan ke tiap makanan yang terbungkus rapi dalam kotak. Tapi bagaimana jika dalam pemberiannya sang ibu tidak dapat mengontrol diri?

Paruh tengahnya mengalami penurunan dan gampang dilupakan karena naskah buatan Mitesh Shah (Tumbbad) dan Anand Gandhi (Ship of Theseus) gagal memaksimalkan situasi unik sewaktu ibu dan anak berkuliah di satu kampus guna menghasilkan kejenakaan. Bobot emosi pun tak seberapa kuat akibat repetisi konflik. Eela dan Vivaan akan bertengkar, berbaikan lewat resolusi yang terlalu mudah (atau bahkan tanpa resolusi alias semua mendadak kembali seperti sedia kala), kemudian bertengkar lagi karena alasan serupa.

Paling tidak, di fase ini, sutradara Pradeep Sarkar (Lafangey Parindey, Mardaani) mampu merangkai satu adegan menyentuh sewaktu Vivaan melihat Eela duduk sendirian di kampus, tanpa teman atau kegiatan untuk dilakukan (Eela berjanji takkan mengikuti puteranya). Adegan tersebut bagai pengingat akan kesepian ibu sewaktu kita meninggalkannya demi hal lain. Pun momen itu penting, berperan selaku titik balik ketika Helicopter Eela mengambil jalan sarat makna sebagai resolusi saat Vivaan juga berniat membantu sang ibu menemukan lagi kehidupannya secara utuh.

Memiliki titular character penyanyi berbakat, sudah pasti Helicopter Eela diisi lagu-lagu catchy, khususnya lagu dari masa lalu Eela dengan lirik dan aransemen yang terdengar “murni” sebelum balutan elektronik mengambil alih (Yaadon Ki Almari adalah favorit saya). Sayang, beberapa kali, Pradeep Sarkar membiarkan sekuen musikalnya berlangsung terlalu lama sehingga melemahkan dinamikanya.

Konklusinya dibarengi berbagai kemustahilan, saat Helicopter Eela memilih mengorbankan logika demi pencapaian artistik pula emosi. Pilihan itu sah-sah saja selama berhasil, dan sang sutradra memastikan “pengorbanan” tersebut tak sia-sia. Musikal penutupnya yang dibarengi lagu Khoya Ujaala tampil meriah setelah diawali momen intim emosional yang dieksekusi dengan baik oleh Pradeep, juga kebolehan Kajol mengolah emosi. Bukti bahwa meski 23 tahun telah berlalu pasca piala Filmfare perdananya lewat Dilwale Dulhania Le Jayenge, ia masih salah satu aktris terbaik di negerinya.

Tidak ada komentar :

Comment Page: