GINTAMA 2: RULES ARE MADE TO BE BROKEN (2018)
Rasyidharry
November 01, 2018
Action
,
Comedy
,
Eishi Segawa
,
Haruna Miura
,
Japanese Movie
,
Kankuro Nakamura
,
Kanna Hashimoto
,
Kurang
,
Masaki Suda
,
REVIEW
,
Ryo Katsuji
,
Science-Fiction
,
Shun Oguri
,
Yuichi Fukuda
,
Yuya Yagira
2 komentar
Gintama 2: Rules Are Made to Be Broken merupakan usaha menciptakan
konsistensi yang justru menghasilkan repetisi berbuah stagnansi. Masih
disutradarai serta ditulis naskahnya oleh Yuichi Fukuda, sekuel yang sempat 2
minggu merajai Box Office Jepang ini punya segala pola film pertama, yang juga
ciri khas sumber adaptasinya, manga Gin
Tama karya Hideaki Sorachi. Bahkan caranya membuka cerita pun sama, yakni
memakai lelucon meta di mana lambang
Warner Bros. Pictures muncul berulang kali. Saya tak merasa perlu menjelaskan
detail formulanya. Cukup baca review film
pertama di sini, sebab keduanya sama persis.
Tapi apakah filmnya menyenangkan?
Sebenarnya ya, lumayan. Khususnya di aspek komedi yang tidak punya sense of timing. Fukuda melempar
absurditas komikal hampir di tiap situasi yang memungkinkan, dengan seluruhnya
dihantarkan pada volume tertinggi. Tidak ada komedi sederhana. Semua besar,
konyol, berisik, dan tentunya bodoh. Efektivitasnya patut dipertanyakan, namun
tiap kali melibatkan pertemuan Gintoki (Shun Oguri), Shinpachi (Masaki Suda),
dan Kagura (Kanna Hashimoto) dengan Tokugawa Shige Shige alias Dai Shogun (Ryo
Katsuji) yang kebetulan selalu menjadikan tempat ketiganya bekerja paruh waktu
sebagai lahan “blusukan”, tawa berhasil dihasilkan.
Pada momen-momen tersebut, kalau
anda termasuk golongan awam seperti saya alias belum mencicipi materi asalnya,
entah manga atau anime, anda bakal menemukan beberapa humor tampil dengan
kreativitas tinggi yang mengejutkan. Beberapa reference jokes masih tersempil, tapi kadarnya bersahabat, takkan
membuat penonton umum kebingungan. Setidaknya anda pasti mengenal My Neighbor Totoro, juga Shoplifters karya Hirokazu Kore-eda jika
termasuk penggemar film.
Serupa pendahulunya, butuh waktu
hingga filmnya memasuki kisah utama, setelah mengisi 30 menit pertama dengan
banyolan sketsa demi sketsa. Ironisnya, begitu konflik besar mulai
dipresentasikan, filmnya terjun bebas. Rupanya kreativitas Fukuda dalam
merangkai alur tak setinggi kala berkomedi. Kisahnya bertutur mengenai
kembalinya Ito (Haruma Miura), anggota Shinsengumi handal yang berencana mengambil
tahta kepemimpinan dari Kondo (Kankuro Nakamura). Rencananya melibatkan penanaman
implan dalam tubuh Hijikata (Yuya Yagira), si wakil ketua, membuatnya
bertingkah bak otaku. Elemen satu ini
aneh, tapi sisanya tak lebih dari cerita perebutan kekuasaan klise yang
melibatkan konspirasi dan pengkhianatan.
Disandingkan dengan film pertama,
alurnya tampak inferior dengan kegagalan memanfaatkan dunia unik miliknya, yang
memasuki film kedua, semakin terlihat biasa. Benar bahwa alien berjalan di
sudut-sudut Edo, pula masyarakatnya menonton televisi, tapi segala
pernak-pernik tersebut urung memberi pengaruh kepada konfliknya. Penulisan
Fukuda terhadap elemen yang lebih serius pun datar bagai kekurangan energi.
Kita mendengar tokoh-tokohnya bicara soal konspirasi politik dengan cara serta
pilihan kata membosankan. Pun selipan unsur dramatik jelang akhir gagal
menggaet emosi akibat terkesan hadir tiba-tiba. Tiba-tiba kita diajak mengharu
biru setelah satu jam lebih dihajar kekonyolan-kekonyolan.
Fukuda selaku penulis naskah memang
lemah, untungnya selaku sutradara, ia mampu unjuk kebolehan, termasuk
kepiawaiannya merangkai sekuen aksi, yang meski tak seberapa intens, sanggup
tampak keren dan dibarengi pula oleh musik tak kalah keren buatan Eishi Segawa.
Pergerakan kameranya dinamis sebagaimana mestinya versi live action dari manga dibuat
guna menangkap aksi baku hantam hiperbolis karakternya. Sekuen aksi klimaksnya
berpindah mulus dari satu pertempuran ke pertempuran lain yang terjadi
beriringan di beragam lokasi. Dan akhirnya, Gintoki sang protagonis mendapat kesempatan
unjuk gigi setelah menghabiskan mayoritas durasi sebagai figur komedik yang tak
mempengaruhi cerita utama.
Ya, film ini terhindar dari status borefest, dan kemungkinan bakal
memuaskan para penggemar walau belum layak disebut “bagus”, khususnya karena
hanya mengulangi formula film pertama dengan hasil lebih lemah. Mengusung
sub-judul Rules Are Made to Be Broken,
Gintama 2 justru tak cukup berani
mendobrak aturan naratif.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Apakah ada indikasi film ketiga bang disini..?
Materi ceritanya masih banyak banget & sejauh ini lumayan sukses di box office, jadi ya, kemungkinan ada.
Posting Komentar