BOHEMIAN RHAPSODY (2018)
Rasyidharry
Oktober 31, 2018
Anthony McCarten
,
Ben Hardy
,
Biography
,
Bryan Singer
,
Dexter Fletcher
,
Gwilym Lee
,
Joseph Mazzello
,
Lucy Boynton
,
Lumayan
,
Newton Thomas Sigel
,
Rami Malek
,
REVIEW
17 komentar
Bohemian Rhapsody tampil bak medley,
di mana deretan greatest hits
dimainkan sebagian demi mengakomodasi sebanyak mungkin lagu dimainkan dalam
keterbatasan waktu. Metode tersebut niscaya mampu menghibur, namun takkan terasa
lengkap dan penonton bakal berharap lebih dengan ketidakpuasan tertinggal di
hati. Karir gemilang Queen, musikalitas mereka, dan tentunya perjalanan hidup sang
vokalis, Freddie Mercury, terbukti terlampau besar nan kompleks untuk dituturkan
melalui gaya formulaik film biopic.
Di departemen penulisan naskah, Anthony
McCarten (The Theory of Everything,
Darkest Hour) memahami kata kuncinya, yaitu “keluarga”. Semua hubungan
interpersonal film ini bermuara ke sana, dari sulitnya Freddie (Rami Malek)
mendapatkan restu sang ayah (Ace Bhatti) yang menganggapnya telah melenceng
jauh dari kultur Parsi, romansanya dengan Mary Austin (Lucy Boynton), juga
dinamika Queen, yang digambarkan bukan sebatas band, tetapi keluarga. Walau
akhirnya, meski kita tak meragukan chemistry
antara personel perihal pembuatan musik, penggambaran hubungan mereka urung
nampak berbeda dibanding banyak band di luar sana. Artinya, “keluarga” hanya
kalimat di atas kertas yang berulang kali diucapkan.
Jelang akhir, terselip pembicaraan
mengenai adanya perdebatan soal lagu ciptaan siapa yang disertakan dalam album,
lagu siapa yang dipilih jadi single
andalan, lagu mana yang menjadi b-side,
dan lain-lain, yang kerap terjadi tiap Queen memasuki studio rekaman. Tapi selain
saling ejek soal lagu I’m in Love with My
Car buatan Roger Taylor (Ben Hardy) sang penggebuk drum, kita tidak pernah
menyaksikan konflik di atas secara langsung. Padahal cekcok semacam ini mampu
memperkaya substansi film tentang musisi.
Proses musikalnya toh tetap
menghibur. Kita diajak menyaksikan Queen bereksperimen dengan beragam sumber
bunyi, mengkreasi komposisi unik Bohemian
Rhapsody, membuat We Will Rock You yang
terdengar sederhana bila disandingkan dengan lagu titular-nya, diciptakan berdasarkan keinginan memberi penonton lagu
yang dapat mereka mainkan, namun sejatinya, tetap layak disebut eksperimen (mayoritas
cuma tersusun atas hentakan kaki dan tepuk tangan). Di balik kekurangannya, Bohemian Rhapsody sanggup menggambarkan
kejeniusan serta kegilaan eksplorasi Queen untuk urusan karya.
Merangkum lebih dari 2 dekade penuh
lika-liku, Bohemian Rhapsody memilih
gaya presentasi jumpy, bergerak dari
waktu ke waktu, lagu ke lagu, konser ke konser, menjadikan filmnya
terputus-putus alih-alih naratif utuh yang melaju mulus. Pada titik ini filmnya
seolah tersesat, tak tahu ingin menyampaikan apa, lalu memilih pasrah terbawa
arus, sebelum mencapai third act,
yang mana merupakan fase terbaik Bohemian
Rhapsody.
Sekitar 30 menit terakhirnya berhasil mengikat segala cabang plot menggunakan benang merah berupa “keluarga”,
menghadirkan beberapa momen personal perihal Freddie dan orang-orang terkasihnya
selaku penutup emosional. Khususnya hubungan Freddie-Mary, di mana cinta
Freddie terhadap inspirasi di balik lagu Love
of My Life itu adalah salah satu cinta tanpa syarat paling murni dan indah
yang pernah saya saksikan, walau tambahan satu-dua obrolan intim pada masa awal
hubungan mereka bakal lebih menguatkan pondasi kisah keduanya.
Sementara 15 menit pamungkasnya
adalah puncak, di mana Bryan Singer (The
Usual Suspects, X-Men, Superman Returns) melakukan reka ulang terhadap
penampilan Queen di konser amal Live Aid (1985), yang banyak dianggap sebagai
salah satu aksi panggung terbaik sepanjang masa. Sekuen ini diambil pada hari
pertama produksi, sehingga Singer masih duduk di kursi sutradara sebelum
dipecat lalu digantikan Dexter Fletcher (Eddie
the Eagle) pada sepertiga akhir proses. Singer bisa saja memasang sistem
autopilot dan penonton tetap akan terhibur berkat susunan lagu-lagu seperti Bohemian Rhapsody, Radio Gaga, We Will Rock
You, hingga We Are the Champions.
Tapi dia menolak bermalas-malasan.
Dibantu sinematografer
langganannya, Newton Thomas Sigel, kamera Singer bergerak dinamis menangkap
energi Freddie yang bergerak menyusuri panggung layaknya pemimpin massa dan
euforia 72 ribu penonton di stadion Wembley. Tapi satu hal spesial dalam sekuen
ini adalah, keberhasilannya secara subtil menjelaskan bagaimana Freddie bisa
memberi performa luar biasa, walau telah lama ia dan personel Queen lain tak
berada di satu panggung, pula kesehatannya makin memburuk akibat AIDS.
Jawabannya sama: keluarga. Konser itu pun makin bermakna. Live Aid jadi momen
ketika Freddie mencurahkan segala cintanya, dan keputusan Singer sesekali
mengalihkan fokus ke ekspresi orang-orang terdekat sang vokasi di sela-sela
konser terbukti menambah bobot emosi.
Tapi tanpa akting Rami Malek,
niscaya reka ulang Live Aid tidak akan sebaik itu. Secara tampilan fisik, ia
mungkin kalah mirip dibanding Gwilym Lee sebagai Brian May atau Joseph Mazzello
sebagai John Deacon, namun aktingnya menutupi itu. Di bawah panggung, Malek
menjadikan Freddie manusia rapuh yang kesepian dan merindukan cinta, juga
musisi jenius yang tubuhnya bergetar tiap menyadari bahwa dirinya sedang
menciptakan mahakarya. Tapi ia bukan sosok suci. Malek turut menangkap sisi
gelap Freddie sebagai megabintang yang dikuasai ego akibat kesendirian. Di atas
panggung, ia adalah pemimpin flamboyan penuh energi. Malek sempurna menampilkan
tiap detail kekhasan gerak-gerik Freddie. Malek bukan sekedar meniru. Seolah
Freddie sungguh merasuki sang aktor. Mungkin Malek tidak bernyanyi live, tetapi gestur dan ekspresinya
(plus tata suara cermat) memudahkan
kita mempercayai jika ia mampu bernyanyi serupa Freddie Mercury.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
17 komentar :
Comment Page:soooooo possible Oscar nod for Malek?
Katanya rami malek masuk oscar nominasi best actor dr film ini??
Agak setuju sih dengan paragraf 5, tapi kaget juga "cuma" dpt 3,5/5... Secara saya penggemar berat queen ngerasa mimpi basah aja nnton ini premiere.. But Thanks buat review nya.
@zulfikar satu-satunya penghalang ya filmnya yang nggak bagus-bagus amat.
@chan Lah, masih lama lah pengumuman nominasi 😅
@susan Hampir kasih 3 bahkan 2.5 kalau bukan karena setengah jam terakhir. 90 menit di tengah ngaco banget strukturnya.
Ga 5 nih?
Film nya terlalu dominan lgbt gak sih?
Mau ngajak pacar tapi dia homophobic 😂😂
Mau nonton besok di dolby cinema.
Biar sambil nyanyi. Kan suara bioskopnya gede. Jadi bisa ikutan nyanyi. Walaupun suara fals 😃
Ada adegan sexual berunsur lagibete gak?
Kan ratingnya 17+ tuh?
Apa dicut scenenya ?
Kok lebih berkesan 'berharap' daripada 'Bertanya' ya.....?
kenapa bryan singer dipecat yanh bang?
Hehe
Sebagai penggemar Queen, film ini malah jadi kekecewaan besar buat saya. Kalo saya suruh kasih rating mungkin pol bintang 3. Cukup menghibur dengan banyak lagu diputer, reka ulang konser, tapi dengan ekspektasi biopic, bukan itu yg pingin saya lihat. Chemistrynya wadaw, dramanya meh.
Perasaan nonton ini mirip sama perasaan pas nonton Last Days nya Gus Van Sant. Tapi kalo Last days itu murni ekspektasi saya yang salah sih. Hehehe...
Kalo dibanding dengan film band Def Leppard dulu enak mana penceritaan nya?
@Rachmad Ya pasti, nggak eksplisit tapi jelas unsur LGBT nggak bisa & nggak boleh dipisahkan dari cerita Freddie.
@Ryan Karena sempet ngilang di tengah syuting, bikin masalah sama cast & crew, ditambah kasus pelecehan seksual ke anak bawah umur.
@aryo Sepertinya emang gitu, buat mayoritas die hard fans Queen, apa yang diceritain film ini ya nggak ada apa-apanya sama kisah keseluruhan mereka.
@aan Def Leppard film yang mana ya? Television movie itu?
Well ini film fredie sih sebenernya, gak sepenuhnya queen
@Rahmad Ya memang diniati begitu kok, tagline-nya aja "The only thing more extraordinary than their music is his story".
Bohemian Rhapsody memang terasa mengecewakan bagi para die hard, tapi memuaskan jika digunakan sbg media bahkan propaganda bagi anak2 mereka (generasi muda) tentang dahsyatnya atmosfir musik era 60 - 80an.
https://posmusica.wordpress.com/2018/11/04/freddie-mercury-michael-jackson/
Bahas Rami Malek gak nyinggung-nyinggung Mr. Robot?
@wins Karena Malek lebih dari sekedar "A guy in Mr. Robot".
Posting Komentar