TUJUH BIDADARI (2018)
Rasyidharry
November 02, 2018
Dara Warganegara
,
horror
,
Indonesian Film
,
King Javed
,
Konfir Kabo
,
Muhammad Yusuf
,
Resika Tikoalu
,
REVIEW
,
Sangat Jelek
,
William D McLennan
1 komentar
Film jelek kadang bisa tampil
menyenangkan, entah sebagai guilty
pleasure atau tontonan so-bad-it’s-good.
Lain cerita dengan film membosankan, yang takkan menarik ditonton—untuk kemudian
dievaluasi—ulang. Tapi itu masih belum ada apa-apanya dibandingkan film jelek
sekaligus membosankan. Tujuh Bidadari
adalah salah satunya, dan membuat saya bertanya-tanya, “Ada apa dengan Muhammad
Yusuf?”.
Sejak 2013 sampai 2015, Yusuf rutin
meluncurkan horor tiap tahun, yang seluruhnya, meski jauh dari sempurna, punya
kualitas memuaskan. Kemasukan Setan
(2013), Angker (2014), dan Misterius (2015) membuktikan
kapasitasnya memanfaatkan kesederhanaan guna menciptakan teror. Bukan tumpukan jump scare, melainkan kengerian hakiki. Lalu
The Curse (2017) mengubah segalanya,
dan kini Yusuf resmi melahirkan dua horor jelek yang membosankan secara
beruntun (belum termasuk drama-romantis Bluebell
yang tayang April lalu).
Saya sudah mendapat firasat buruk
kala filmnya dibuka oleh title card
berupa keterangan bahwa Tujuh Bidadari
melakukan pengambilan gambar langsung di Aradale Lunatic Asylum yang terletak di
Ararat, Australia. Seolah kualitas sebuah film otomatis bertambah jika dibuat
di lokasi aslinya. Judulnya sendiri merujuk pada nama band tempat ketujuh tokoh
utama film ini tergabung (bukan, bukan 7 Icons), yang sedang melangsungkan proses
pembuatan video klip di Australia. Sebuah tantangan besar bagi naskahnya untuk
membuat penonton ingat, apalagi peduli terhadap karakter sebanyak itu.
Bagaimana cara filmnya menyiasati
itu? Tujuh Bidadari meminta tiap
karater menyebut nama beserta posisi mereka di band satu per satu, dan itu dilakukan
dua kali (wawancara dan rekaman vlog), alih-alih memberi mereka penokohan
solid. Anehnya, bukan itu saja hal yang diulangi secara tidak perlu. Di
Australia, Tujuh Bidadari (selanjutnya disebut “7B”) bertemu penyanyi lokal
bernama Mark (William D McLennan), yang mengajak mereka mengunjungi Aradale.
Mark menyebut bahwa 10 ribu orang tewas di sana. 7B pun terkejut. Keesokan
hari, dalam perjalanan menuju Aradale, Mark mengatakan hal serupa, dan 7B
kembali terkejut.
Masih ada contoh-contoh lain,
seperti cerita Mark bahwa sang kakek dahulu merupakan karyawan Aradale. Saya
tak tahu apa yang terjadi di belakang layar. Tapi saya berasumsi, ini akibat
kurangnya koordinasi dan/atau pemahaman menyeluruh dalam proses menulis
dan/atau menulis ulang, yang dilakukan keempat penulis naskahnya: Muhammad
Yusuf, Konfir Kabo (produser eksekutif The
Curse), King Javed (Angker),
Resika Tikoalu (produser The Curse
juga Tujuh Bidadari). Entahlah.
Setelah berkeliling sejenak di
rumah sakit, Mark meninggalkan 7B di sebuah ruangan dengan alasan mengambil
minum. Tapi, karena beragam alasan, masing-masing anggota 7B mulai meninggalkan
ruangan, dan akhirnya tewas satu demi satu. Tersimpan ide menarik di sini,
berupa penggabungan slasher yang
menekankan atmosfer ketimbang gore,
dengan horor supranatural. Masalahnya, tempo lambat yang diterapkan Yusuf nihil
intensitas maupun kengerian. Sebagaimana The
Curse, sang sutradara hanya melambatkan penuturan, dan itu berbeda dengan
membangun atmosfer, yang mana perlu memperhatikan camerawork, mise-en-scène,
musik, dan lain-lain.
Pun kita tahu jika sosok yang menghabisi
7B tidaklah menyeramkan, dan sekalinya sosok itu melancarkan serangan, aksinya
terjadi off-screen, di mana kita leih
sering cuma melihat cipratan darah atau mendengar efek suara tusukan. Artinya,
baik penantian atau payoff-nya tak memberi
apa pun kecuali rasa bosan. Sulit pula mempedulikan ketujuh gadis itu tatkala para
aktris urung memberi performa meyakinkan, antara kurang bernyawa, atau
sebaliknya, cringey dan berlebihan. Hanya
Dara Warganegara sebagai Stella yang menarik disimak, itu pun karena ia
kebagian porsi kesurupan.
Sesekali, Tujuh Bidadari bersedia memperlihatkan sadisme cukup eksplisit,
yang sanggup sedikit memudarkan kebosanan, walau lubang-lubang aspek teknis
dapat ditemukan di sana-sini. Misalnya satu mayat yang tewas dipenggal, namun
kita masih bisa melihat jelas leher dan kepala yang terpasang utuh di tubuh.
Tapi saya tidak mengkritisi kurang beraninya Tujuh Bidadari mengumbar kebrutalan. Itu pilihan yang Yusuf beserta
timnya ambil, dan sayangnya, pilihan itu gagal dimaksimalkan.
Masalah lain dipicu begitu
berantakannya naskah dalam menangani elemen supranatural. Mengapa harus 7B yang
diincar? Mengapa Stella sangat mirip Shu Yin si penyihir? Mengapa Shu Yin
memerlukan pertolongan manusia biasa jika ia sendiri dapat dengan gampang
menghabisi nyawa korban menggunakan ilmu gaibnya? Ketika rangkaian pertanyaan
masih berseliweran, Tujuh Bidadari mendadak
berakhir setelah memaksakan diri menyampaikan latar belakang soal tragedi 100
tahun lalu. Seolah para penulis kebingungan menentukan kapan, di mana, dan
bagaimana mereka mesti menempatkan eksposisi tersebut, lalu memutuskan
menaruhnya sembarang tempat. Setidaknya saya suka riasan sederhana untuk hantu
Shu Yin yang didominasi warna putih dengan sedikit corak merah di wajah.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Ya ampun, kukira bakalan bagus ini film, liat posternya aja udah males sebenernya 😂😂
Posting Komentar