ROBIN HOOD (2018)
Rasyidharry
November 21, 2018
Action
,
Ben Chandler
,
Ben Mendelsohn
,
Cukup
,
David James Kelly
,
Eve Hewson
,
Jamie Foxx
,
Joseph Trapanese
,
Otto Bathurst
,
REVIEW
,
Taron Egerton
6 komentar
Para purist akan menyebut Robin
Hood—sebagaimana King Arthur: Legend
of the Sword (2017)—produk hina penuh dosa akibat keengganannya setia pada gaya
tradisional. Padahal filmnya sendiri sudah meminta, “Lupakan sejarah dan kisah
pengantar tidur yang kalian kenal”. Jadi apa perlunya kita meminta sesuatu yang
jelas-jelas tidak coba filmnya raih? Robin
Hood merupakan modernisasi yang meski tidak luar biasa maupun cerdas, namun
menyenangkan pula efektif. Terima saja kenyataan itu.
Sang bangsawan muda, Robin of
Loxley (Taron Egerton), menerima perintah wajib militer dari Sheriff of
Nottingham (Ben Mendelsohn), di mana ia mesti terjun ke Perang Salib,
memaksanya meninggalkan kehidupan mewah serta cintanya, Marian (Eve Hewson).
Otto Bathurst, dalam debut penyutradaraan layar lebarnya, mengemas Perang Salib
layaknya Perang Irak dengan parade “boom
bang”. Para prajurit mengangkat busur panah seperti senapan, dan pihak
lawan menghujani mereka dengan crossbow
seolah benda itu adalah senapan mesin. Dan saya mengaguminya.
Robin, yang sejatinya pemuda
berhati mulia, terganggu menyaksikan rekan-rekannya membantai tawanan perang secara
keji. Dia pun memberontak hingga dikirim kembali ke Nottingham. Salah satu
tawanan, Yahya alias John (Jamie Foxx), setelah melihat sang putera dipenggal
di depan matanya, merencanakan kudeta. John memutuskan diam-diam mengikuti
Robin kembali ke Nottingham. Bagaimana John bisa bersembunyi selama tiga bulan
di bawah geladak? Bagaimana ia makan dan minum?
Tidak perlu mempertanyakan itu,
sebab ketika otak anda sibuk memikirkan setumpuk lubang alurnya, film ini, yang
bergerak dalam tempo cepat, telah mencapai destinasi: Nottingham, yang sekarang
telah jauh berubah. Di bawah perintah Sheriff, semua penduduk dipindahkan ke
tambang untuk bekerja paksa, termasuk Marian yang kini menjalin kasih dengan
Will (Jamie Dornan), sebab nama Robin tertera dalam daftar buatan Sheriff of
Nottingham perihal prajurit yang gugur dua tahun lalu (Robin pergi selama empat
tahun).
Bukan saja urusan kerja, pemaksaan
Sheriff of Nottingham juga terjadi perihal pembayaran pajak yang terlampau
tinggi. Konon pajak itu dipakai mendanai Perang Salib. Didorong hasrat balas dendam dan patah hati,
Robin, dengan bantuan John yang mengajarinya teknik memanah tingkat lanjut,
berubah menjadi “The Hood” yang terkenal lewat aksinya mencuri dari para
bangsawan guna dibagikan kepada rakyat miskin. Sedangkan sebagai bangsawan
Robin of Loxley, dia coba memenangkan hati Sheriff, untuk mengungkap siapa
dalang di balik kediktatoran kejam ini.
Tentu alur dalam naskah buatan Ben
Chandler dan David James Kelly tipis sekaligus penuh lubang. Salah satunya
lagi-lagi melibatkan perjalanan jalur air menuju Nottingham. Bagaimana bisa
para Crusaders (termasuk “kawan lama”
Robin di medan perang) tiba sedemikian cepat guna menjadi kaki tangan Sheriff
meski jarak tempuhnya memakan waktu tiga bulan? Tapi lagi-lagi, sungguh
buang-buang waktu menyibukkan pikiran dengan pertanyaan tersebut ketika Bathurst
sibuk mempersembahkan banyak aksi menghibur.
Gerak lambat, musik bombastis
buatan Joseph Trapanese (dwilogi The Raid,
The Greatest Showman),
ledakan-ledakan, set piece raksasa,
sampai aksi tembak-menembak panah super cepat dengan koreografi yang
mengingatkan saya akan gun fu milik
John Woo, semua merupakan usaha modernisasi untuk tuturan medieval yang bagi
penonton sekarang rasanya sudah ketinggalan zaman. Aksi-aksinya takkan membuat
jantung berdegup keras, namun setidaknnya, mampu menyunggingkan senyum puas.
Robin Hood merupakan film di mana protagonisnya bertarung demi merebut
cintanya lagi sembari meruntuhkan pemerintahan korup. Bagaimana saya tidak
mendukungnya? Apalagi saat Taron Egerton enggan berusaha terlalu keras tampak
keren (yang acap kali menyulut penampilan kaku seorang aktor), membiarkan gaya
asyiknya terhampar lepas. Ketika Ben Mendelsohn melakoni pekerjaan langganannya
(baca: memerankan pejabat biadab), Eve Hewson yang juga puteri Bono U2, akan
mencuri hati penonton sebagaimana yang ia perbuat pada Robin.
Film ini bukan pelajaran sejarah,
bukan adaptasi legenda yang setia terhadap sumbernya, bukan blockbuster yang berkesempatan unjuk
gigi di ajang penghargaan, bukan pula interpretasi bergaya gritty realism layaknya versi Ridley Scott 8 tahun lalu, yang
sejatinya jauh lebih ngawur (Robin Hodd tanpa tudung dan panah???). Film ini
adalah hiburan sekali waktu. Cukup terima kenyataan tersebut.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Kesan pertama Robin Hood adalah panah selain tudung.minimal disini lbh terpenuhi keliatan keren...dibanding era Costner yg cuma manah pohon..ama lagi Russel Crowe yg ga jelas itu...
Costner masih nggak jelek sih, versi Crowe itu yang ngaco. Tapi paling keren tetep parodinya Mel Brooks, 'Robin Hood: Men in Tights'
motherfuckahjones emang terbaik
Chris Stuckmann tidak menyukai film ini...apakah dia purist???
Haha kan nggak bilang kalau semua yang nggak suka itu purist. Tergantung alasannya.
Wahhh yg berpatokan sama IMDB, Rotten, Mettascore, dan blog ini kyknya kebelah nih bang wkwkw. Otto Bathurst di Playtest-nya Black Mirror presentasinya memuaskan sih buat gue hehe
Posting Komentar