JAFF 2018 - ISTRI ORANG (2018)
Rasyidharry
Desember 03, 2018
Cukup
,
Dirmawan Hatta
,
Drama
,
Indonesian Film
,
REVIEW
Tidak ada komentar
Istri Orang berpotensi jadi salah satu film Indonesia terpenting
generasi ini. Bicara menyangkut pandangan masyarakat yang menomorduakan wanita
serta budaya perjodohan dan nikah muda, relevansinya begitu tinggi. Jangkauan
potensinya luas, dari ranah pembelajaran, memancing kesadaran, bahkan kalau mau
sedikit berangan-angan, memantik perubahan. Sayang, akibat kurang matangnya
penulisan naskah, potensi tadi urung terealisasi.
Satu hal yang akan menangkap atensi
penonton mungkin kasarnya elemen teknis film ini. Jangankan pewarnaan penyedap
mata, menghasilkan gambar jernih, khususnya di adegan minim pencahayaan saja Istri Orang tak mampu. Belum lagi
membicarakan penyuntingan ala kadarnya hingga tata suara termasuk pemakaian
musik berlisensi gratis di internet. Tapi sebelum mencaci dengan menyebutnya
amatiran atau asal jadi, perlu diketahui, Istri
Orang tercipta melalui lokakarya penciptaan bernama “Workshop Sinema Rakyat”
yang digagas sang sutradara, Dirmawan Hatta (Toilet Blues, Optatissimus)
bersama Tumbuh Sinema Rakyat bentukannya.
Ini merupakan proses berkarya sarat
kesederhanaan, di mana menumbuhkan semangat mencipta dalam sinema jadi tujuan
utama. Karena itu, mari kesampingkan kelemahan teknis dan berkonsentrasi
meninjau presentasi gagasan. Ya, sebab di lingkup “akar rumput”, gagasan adalah
inti. Mengambil latar desa kecil di Kangean, Istri Orang mengangkat kehidupan gadis remaja bernama Endah yang
tengah gelisah akibat paksaan sang ayah agar segera menikah.
Voice over diterapkan sebagai media menyampaikan kata hati
Endah. Dia pun menjabarkan lima pria dalam hidupnya (pacar, ayah, mertua,
suami, pria pembawa air), yang menurutnya, memiliki kesamaan, yaitu selalu
berujung meninggalkannya. Endah sadar betul jika dalam tatanan
sosial-masyarakat negeri ini, yang didasari budaya ketimuran ditambah
interpretasi nilai Islam, wanita hanya manusia tingkat dua, sedangkan pria
berkuasa layaknya raja. Seburuk apa pun situasinya, kondisi pria bakal lebih
baik berkat keistimewaan tersebut.
Melalui curahan hati Endah, Istri Orang mengingatkan betapa
sempitnya ruang gerak wanita Indonesia akibat direcoki berbagai stigma.
Contohnya saat tertarik pada seseorang, Endah merasa perlu menjaga diri, diam,
cenderung malu-malu, karena ia wanita. Ruang itu semakin sempit kala telah
dipersunting. Wanita mesti menjaga sikap, melayani suami, disibukkan urusan
rumah tangga yang membuat status “istri” seolah cuma sebutan halus bagi “pembantu”.
Ketakutan Endah terjadi, saat
ayahnya bertemu si calon mertua, membicarakan perjodohan anak mereka. Dirmawan
mampu memancing kegeraman akan budaya patriarki melalui dua sosok ayah ini. Obrolan
perihal perjodohan terdengar bak aksi tawa menawar jual-beli barang. Ya, status
nomor dua wanita memang menjadikannya properti para pria. Sang mertua ingin
agar pernikahan dengan Endah memunculkan rasa tanggung jawab dalam diri
puteranya, sehingga bersedia meneruskan usaha peternakannya. Ayah Endah setuju.
Menurutnya, pernikahan akan memberi tujuan untuk kedua anak.
Menyedihkan, mengesalkan,
membingungkan, tapi nyatanya, memang demikian pemikiran banyak manusia negeri
ini. Pernikahan dijadikan puncak pencapaian, dianggap cara instan menyelesaikan
semua permasalahan. Ingin anakmu cepat dewasa? Nikahkan. Ingin hidup makmur?
Menikahlah. Istri Orang melemparkan
kritikan tepat sasaran soal “kultur beracun” itu dengan nuansa melankolis
lembut, kontemplatif, namun efektif menyulut emosi.
Begitu pernikahan terlaksana, benar
saja, hidup Endah makin terkekang. Tengok sewaktu ayah dan mertuanya makan
bersama sambil mengobrol santai. Endah repot menyiapkan hidangan, sedangkan
mereka bersantap santai, bahkan masih sempat mengeluhkan kelalaian si gadis
muda menyediakan mangkuk cuci tangan. Dalam obrolan yang membawa satu kejutan
menohok itu, Dirmawan turut menyentil kecenderungan membawa nama Tuhan dalam
pelampiasan hawa nafsu pria.
Walau memiliki momen kuat di
beberapa titik, sayangnya jembatan penghubung di antaranya tak seberapa solid,
kerap tampil berlarut-larut dan penuh pengulangan, yang seiring waktu, bukan
lagi wujud eksplorasi melainkan kebingungan menentukan arah melangkah. Ditambah
ketiadaan akting mumpuni (saya tahu mereka bukan talenta profesional, tapi akting
berbeda dengan teknis yang memerlukan sokongan finansial untuk hasil maksimal),
jadilah film ini suatu perjalanan luar biasa terjal nan melelahkan menuju
beberapa destinasi menarik.
Konklusinya sendiri mengundang
pemikiran. Saya sempat kesal karena merasa filmnya memilih menyerah pada
ketidakberdayaan meski kesempatan “melawan” telah terbuka lebar. Tapi kemudian
saya menyadari, pilihan karakternya adalah dampak cuci otak dari kultur yang
sudah terlanjur mengakar. Melalui Istri
Orang, Dirmawan Hutta bukan coba menciptakan dunia ideal menurutnya, namun
memaparkan realita pahit di mana didikan guna menuruti “hakikat wanita”, bisa
jadi terlanjur mematikan api semangat untuk menggugat, apalagi di sudut-sudut
desa yang jarang terpapar gerakan-gerakan pembebasan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar