JCW 2018 - COLOR ME TRUE (2018)
Rasyidharry
Desember 10, 2018
Fantasy
,
Haruka Ayase
,
Hideki Takeuchi
,
Japanese Movie
,
Kazuki Kitamura
,
Keisuke Uyama
,
Kentaro Sakaguchi
,
Norihito Sumitomo
,
REVIEW
,
Romance
,
Sangat Bagus
5 komentar
Apalah cinta kalau tidak saling
mewarnai hidup sepasang manusia? Dalam Color
Me True a.k.a. Tonight, at the Movies,
tokoh Puteri fiktif dari film hitam-putih lawas yang terlupakan, tiba-tiba keluar
dari layar. Tapi bukan menyeberang ke dunia nyata yang memberinya warna,
melainkan pertemuan dengan sineas muda yang tiap hari, seorang diri, mendatangi
bioskop demi melihat si gadis impian yang takkan mampu dia
jangkau.....setidaknya hingga keajaiban datang.
Pemuda itu bernama Kenji (Kentaro
Sakaguchi), yang berprofesi sebagai asisten sutradara. Artinya, ia dituntut
berlarian ke sana-kemari mengerjakan tugas, dari melukis properti layar, sampai
melayani megabintang Ryunosuke Shundo (Kazuki Kitamura dalam performa komikal
menghibur) yang menyebut dirinya sendiri “Pria Tampan”. Bagi Kenji, kemunculan
Puteri Miyuki (Haruka Ayase) turut mewarnai kehidupan membosankan miliknya,
walau menariknya, di awal pertemuan, Miyuki dengan polah antiknya justru
merepotkan Kenji. Tapi seiring proses saling mengenal dan memahami, Miyuki
justru menginspirasi naskah film perdana Kenji, sebab cinta memang sumber inspirasi
terbesar, termurni, dan terjujur.
Kita semua menyimpan mimpi serupa
Kenji, di mana sosok pujaan (fiktif atau bintang dunia nyata), secara ajaib
muncul di samping kita. Color Me True
bukan film pertama yang mengusung konsep tersebut, bukan juga yang terbaik
dalam hal eksekusi elemen fantasinya. Setelah Miyuki mewarnai tubuhnya dengan
riasan dan pakaian, sejatinya film ini tak ubahnya romansa bernuansa “head over heels” biasa. Miyuki memanggil Kenji “pelayan”, dan sang pemuda menuruti
segala keinginan sang Puteri.
Color Me True diawali sebagai ode bagi sinema, dengan narasi
mengenai tendensi dilupakannya film-film lama, yang teronggok di dalam lemari
berdebu, atau lebih buruk, hilang. Protagonisnya adalah seseorang yang
mencintai film namun begitu jarang kita mendengar ia bicara soal film. Pun Color Me True menghabiskan banyak durasi
di studio film namun urung menunjukkan sihir pembuatan film, padahal Miyuki
meminta Kenji membawanya ke sana untuk melihat bagaimana dunia tempat
tinggalnya dibuat.
Ya, meninjau eksplorasi konsep, Color Me True belum menawarkan
pendekatan baru, meski sulit ditampak, efektivitasnya sebagai hiburan cukup
tinggi. Komedinya bekerja dengan baik, sementara interaksi kedua tokoh utamanya
mudah memancing senyum. Bukan kejutan tatkala pertemuan seorang Puteri yang
bertindak semaunya, memukul semuanya yang ia anggap tidak sopan dengan pria
pemalu yang selalu meragu menghasilkan beragam pemandangan lucu.
Kentaro Sakaguchi melakoni perannya
dengan apik, lewat gestur canggung dan senyum penuh kepolosan, membuat sosoknya
bisa dipercaya sebagai pemuda naif. Sedangkan Haruka Ayase memancarkan pesona
bintang film masa lalu yang bersinar teranng dalam tiap kemunculannya di layar.
Berhiaskan puluhan baju elegan beraneka warna dan gaya, Haruka nampak seperti
reinkarnasi Audrey Hepburn.
Color Me True bisa saja berakhir menjadi romansa biasa, yang solid
namun jauh dari kesan spesial, kalau bukan karena 30 menit terakhirnya: parade
momen mengharukan yang enggan memberi penonton waktu mengatur napas maupun
menahan banjir air mata. Ketika anda kira sebuah momen sudah cukup emosional,
momen lain yang lebih menyesakkan segera menyusul. Terus demikian hingga shot penutup.
Film ini mengesampingkan pendekatan
subtil demi gaya melodramatik, yang untungnya berhasil mencapai tujuannya terkait
olah rasa. Sutradara Hideki Takeuchi (Thermae
Romae) dan penulis naskah, Keisuke Uyama, tahu apa yang membuat penonton
terisak serta bagaimana memaksimalkannya. Entah melalui dialog bertaburan
kalimat manis nan memorable, atau
sentuhan kecil semisal penempatan fokus kamera pada senyum simpul karakternya. Scoring bergaya orkestra megah gubahan
Norihito Sumitomo (Whiteout, Dragon Ball
Z: Resurrection ‘F’) yang setia mengiringi tiap situasi, terdengar layaknya
musik yang mengalun dalam hati kala kita berlinang air mata karena cinta. Sejak La La Land, belum pernah saya menangis sekeras ini, hingga dada dan tenggorokan terasa sakit. Such a beautiful love story!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Pertahanan udah jebol di 30 menit terakhir itu.
Paling susah memang nahan nangis kalo nonton di bioskop, karena bikin dada nambah sesak. Apalagi kalo adegan sedihnya pas di endingnya, harus buru2 hapus sebelum lampu nyala.
Sialan emang film ini, kalau nggak nahan pasti bakal sesenggukan kenceng banget.
lebay lu
Paling jijik sama orang yang apa apa dibilang lebay, antara biar kelihatan sok jagoan atau emang otaknya gak nyampe mencerna adegan film
Terima kasih mas udah review film ini dan bikin saya nonton film ini.
Film yang cantik dan indah, perasaaan yg timbul sama seperti saya nonton Cinema Paradiso
Posting Komentar