WIDOWS (2018)

8 komentar
Steve McQueen (Shame, 12 Years a Slave) melakukan apa yang kebanyakan sutradara takkan berani lakukan. Dia memasang Liam Neeson dan Jon Bernthal—dua aktor yang identik dengan machismo—dalam jajaran pemain, memberi keduanya peran singkat untuk mengakomodasi terciptanya suguhan bertema women’s empowerment. Di balik konsep heist-nya, Widows yang diadaptasi dari serial televisi Inggris berjudul sama (1983-1985) pun bertaburan ragam topik kompleks seperti seksisme, politik korup, hingga rasisme.

Empat wanita—Veronica (Viola Davis), Linda (Michelle Rodriguez), Alice (Elizabeth Debicki), Amanda (Carrie Coon)—tengah berduka akibat kematian suami masing-masing pasca kegagalan sebuah aksi perampokan yang dipimpin Harry (Liam Neeson). Seolah belum cukup, masalah lain silih berganti hadir, salah satunya tuntutan Jamal (Brian Tyree Henry), bos mafia korban perampokan Harry dan kawan-kawan, kepada Veronica agar mengembalikan uang curian itu, yang akan dipakai berkampanye guna menumbangkan pesaingnya, Jack (Colin Farrell).

Menulis naskahnya bersama Gillian Flynn (Gone Girl), McQueen memaparkan realita pahit para janda yang acap kali dipandang lemah tak berdaya setelah ditinggal sosok lelaki pendamping. Stigma negatif itulah yang coba diruntuhkan Widows, di mana para janda dipaksa menanggung dosa mendiang suami mereka. “Sudah mati saja masih merepotkan”. Mungkin demikian kalimat kasarnya. Tapi dari situlah wanita-wanita film ini menemukan jalan pembuktian diri.

Widows merupakan proses membuktikan kemandirian dan lepas dari bayang-bayang pria.Veronica diancam Jamal, Linda kehilangan toko akibat hutang judi suaminya, tapi kisah paling mengikat datang dari Alice. Merupakan korban KDRT, ketergantungan akan suami menyulitkannya menemukan pijakan sendiri. Bahkan sang ibu (Jacki Weaver) memaksanya mengeruk uang para pria kaya demi kelangsungan hidup, karena menurutnya, wanita tak semestinya independen dan mesti mengandalkan sokongan pria.

Sebagai pemilik reputasi tertinggi, wajar bila Viola Davis menonjol. Kepiawaiannya mengolah rasa akan mengisi banyak perbincangan soal musim ajang penghargaan. Tapi tak semestinya kita melupakan Elizabeth Debicki. Performa Debicki kuat namun subtil, di mana tanpa banyak letupan, ia memperlihatkan transformasi mengagumkan seorang wanita gamang yang pelan-pelan lelah diperlakukan bagai sampah. Prosesnya dipaparkan detail (penderitaan, pemicu perubahan, rintangan), sehingga saat tiba di garis akhir, yang saya rasakan adalah kepuasan.

Walau bertabur kritik sosial (termasuk mengenai kekerasan beraroma rasisme oleh aparat yang meski singkat namun memberi dampak hebat), McQueen tetap sadar bahwa ia sedang membuat film heist. Elemen heist sendiri mulai dikedepankan setelah Veronica mengajak para janda lain meneruskan pekerjaan suami mereka yang belum tuntas, yakni merampok uang senilai $5 juta. Di tengah memanasnya iklim politik kala dua nama berebut kuasa, siapa sangka para wanita yang dikira tak punya daya setelah menjanda berencana merampas harta?

Total terdapat dua perampokan: Opening dan klimaks. Sejak adegan pembuka, McQueen, yang dikenal sebagai sutrdara drama, langsung membuktikan kapasitas mengemas heist selaku hiburan popcorn. Ketegangan berhasil dibawa ke puncak, terlebih tiap kali rencana karakternya menemui rintangan kemudian terjadi hal mengejutkan. McQueen paham timing yang tepat untuk menyentak penontonnya.

Dibantu sang sinematografer langganan, Sean Bobbitt, McQueen menerapkan pergerakan kamera yang akan menyerap kita ke dalam situasi di layar, termasuk sebuah momen kala kamera itu bergerak melingkari Daniel Kaluuya, yang tampil amat intimidatif memerankan Jatemme, adik sekaligus kaki tangan Jamal, yang juga berperan sebagai eksekutor berdarah dingin.

Satu-satunya ganjalan hanya, walau tersaji intens, aksi perampokannya bergulir terlalu mudah. Ya, McQueen memang tidak bertujuan menyajikan perampokan bergaya nan over-the-top serupa seri Ocean’s, namun setelah penantian dan perencanaan panjang, penonton (serta jajaran tokohnya) pantas mendapatkan lebih banyak porsi heist. Tapi anda akan melupakan kelemahannya setiap Widows memamerkan kekuatannya, termasuk last shot emosional yang menggambarkan bagaimana para janda itu memiliki satu sama lain.

8 komentar :

Comment Page:
Willy C P mengatakan...

Bener, adegan perompakannya kurang panjang walau berhasil bikin bener-bener tegang. Performa top disini ya emang Davis, Debicki, ama Kaluuya. Mukanya Kaluuya bikin kesel. Btw Debicki tingginya berapa dah? Setiap kali diri bareng yang lain, keliatan tinggi banget

Rafika mengatakan...

Ada peluang di oscar gak widow minimalnya nominasi? Secara kemaren di golden globe film widows seakan terlupakan.

Rasyidharry mengatakan...

@Willy Kalau nggak salah di atas 190 cm.

@Rafika Karena jurinya beda, GG sebenernya nggak bisa jadi acuan. Tapi hype Widows memang nggak seberapa kuat. Best Actress masih bisa, karena Davis itu dihormati, macam Streep. Best Picture juga mungkin, selama jumlah nominee >7

Anonim mengatakan...

Suka adegan terakhir




Spoiler :
Pertemuan veronica dan alice di cafe. Simpel tapi memberikan makna di endingnya .

Nas mengatakan...

Mengidolakan Davis krn serial HTGAWM .😍😍😍

Semoga bisa nonton minggu ini. 🙏🏻

Unknown mengatakan...

Berasa deja vu liat Viola Davis ngumpulin skuad, bedanya ini buat ngerampok, bukan bunuh diri. 😆😆😆😆😆

KOKO mengatakan...

Saya berharap ada tempat buat Buat Daniel Kaluuya di Osar nanti.. itu aja sih..

Rasyidharry mengatakan...

Well, peluangnya nggak seberapa besar buat dapat nominasi, tapi selama Fox mau total kampanye, masih mungkin. Apalagi sebelumnya di Get Out dia pernah bikin juri kepincut.