SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE (2018)
Rasyidharry
Desember 17, 2018
Animated
,
Bagus
,
Brian Tyree Henry
,
Chris Pine
,
Hailee Steinfeld
,
Jake Johnson
,
John Mulaney
,
Kimiko Glenn
,
Liev Schreiber
,
Nicolas Cage
,
Peter Ramsey
,
Phil Lord
,
REVIEW
,
Rodney Rothman
,
Shameik Moore
14 komentar
Walau mengadaptasi konsep komik Spider-Verse, film ini memang tidak pernah
diniati untuk menyampaikan paparan kompleks soal multiverse. Bagi anak-anak, Spider-Man:
Into the Spider-Verse akan bekerja sebagai cerita tentang “memperoleh
kekuatan besar karena kasih sayang”. Dan tentu, pada akhirnya, selaku film
Spider-Man, kekuatan besar itu bakal mendatangkan tanggung jawab besar. Bagi
penonton dewasa terlebih pembaca bukunya, ini merupakan salah satu film buku
komik paling memuaskan, yang memanfaatkan konsep multiverse untuk menciptakan crossover
mengasyikkan penuh karakter berwarna dan visual memesona.
Fokus kisah diberikan kepada Miles
Morales (Shameik Moore), karakter separuh Puerto Riko, separuh Afrika-Amerika,
yang mengawali karir sebagai manusia laba-laba di Ultimate Comics: Spider-Man pasca kematian Peter Parker. Miles
tengah kesulitan menyesuaikan diri di sekolah barunya yang ia sebut “elitis”
sekaligus merasa tertekan oleh tuntutan sang ayah (Brian Tyree Henry). Sampai
dua peristiwa mengubah hidup Miles: Memperoleh kekuatan Spider-Man setelah digigit
oleh laba-laba radioaktif dan menyaksikan kematian Spider-Man alias Peter
Parker (Chris Pine) di tangan Kingpin (Liev Schreiber).
Peter tewas kala berusaha
menghentikan Kingpin membuka portal semesta paralel guna mengembalikan
keluarganya yang telah tiada. Tanpa Peter, Miles “tersesat”, tidak tahu
bagaimana menyikapi kekuatan barunya. Hingga terungkap bahwa aktivasi mesin
pengakses semesta paralel milik Kingpin turut membawa berbagai versi manusia
laba-laba lain ke dunia Miles. Dari sinilah kesenangan sesungguhnya dimulai.
Kita dibawa berkenalan dengan
beragam tokoh menarik: Spider-Gwen (Hailee Steinfeld) yang berjiwa bebas,
Spider-Man Noir (Nicolas Cage) yang memarodikan sisi misterius dan dramatis
karakter di cerita noir, Peni Parker
(Kimiko Glenn) yang nampak bagai keluar dari anime, Spider-Ham (John Mulaney) yang takkan aneh bila menjadi
salah satu anggota Looney Tunes, serta versi lain dari Peter Parker (Jake
Johnson). Bedanya, Peter satu ini bangkrut akibat investasi buruk, diceraikan
Mary Jane karena takut memiliki anak, dan menjadi pecundang yang
bermalas-malasan sampai perutnya membuncit.
Perjalanan alurnya berkutat soal
bagaimana Miles dan Peter sama-sama membutuhkan bimbingan. Miles butuh diajari
cara menggunakan kekuatannya, sedangkan Peter perlu membangkitkan kepercayaan
diri setelah rentetan kegagalan hidup. Into
the Spider-Verse sayangnya kurang mulus mempresentasikan proses hubungan keduanya,
di mana pada satu titik Peter masih terganggu akan kehadiran Miles, namun tak
lama kemudian, pasca aksi singkat, ia menyatakan bangga terhadap si remaja.
Dengan kata lain, terburu-buru.
Hal di atas bisa sedikit melucuti
hati filmnya, tapi tidak daya hiburnya. Film ini diproduseri duet Lord-Miller,
serta ditulis naskahnya oleh Phil Lord (Cloudy
with a Chance of Meatballs, The Lego Movie) dan Rodney Rothman (Grudge Match, 22 Jump Street), sehingga
anda bisa mengharapkan kemunculan lelucon meta,
khususnya seputar sejarah panjang Spider-Man, yang bertebaran sejak sekuen
pembuka sampai post-credits scene.
Aspek komedinya menyenangkan, tapi
elemen terkuat Into the Spider-Verse
adalah visual, gelaran aksi, ditambah bagaimana tokoh-tokohnya yang kaya warna
saling berinteraksi. Di jajaran manusia (plus babi) laba-laba, hanya Miles dan
Peter (dan Gwen walau belum sesolid keduanya) yang layak disebut “tiga dimensi”,
tapi mereka sanggup menjalin ikatan menghibur yang mampu membuat penontonnya
berharap disuguhi lagi dan lagi. Para villain
tak kalah mencuri perhatian, dengan Kingpin ditempatkan di sentral cerita.
Jika anda menonton serial Daredevil di Netflix, anda tentu paham
bagaimana Kingpin alias Wilson Fisk berjalan di area abu-abu nan ambigu, di
mana ia melakukan banyak hal keji didorong luka personal. Begitu pula di sini.
Bahkan resolusi bagi kisahnya jadi cabang alur yang paling memanfaatkan konsep multiverse, yang sayangnya tidak terlalu
menguras emosi seperti seharusnya, sebab mau tak mau, dengan durasi cuma 117
menit, ia mesti mengalah untuk memberi porsi kepada para titular characters.
Spider-Man: Into the Spider-Verse merupakan contoh cara memaksimalkan
animasi sebagai medium yang meniadakan batasan imajinasi. Penyutradaraan trio Bob
Persichetti, Rodney Rothman, dan Peter Ramsey (Rise of the Guardians) sempurna menangkap ide, “Apa jadinnya bila
enam manusia laba-laba beraksi bersama”. “Kameranya” bergerak bebas tatkala
masing-masing jagoan kita berayun di udara, melakukan berbagai aksi akrobatik,
menghasilkan sensasi serupa membaca komik sewaktu gaya visualnya mencerminkan
gambar-gambar di panel buku komik.
Speech balloons, berbagai teknik pewarnaan yang memunculkan beraneka
tekstur gambar, serta kekhasan-kekhasan visual komik Spider-Man dapat anda
temukan. Dalam parade visual yang membuat The
Lego Movie (2014) nampak pucat jika disandingkan, Spider-Man: Into the Spider-Verse mencampurkan warna serta gaya
sebanyak mungkin tanpa harus jatuh ke dalam kekacauan tak terkontrol. Berkat
kerja keras 142 animator (kru terbanyak sepanjang sejarah Sony Pictures
Imageworks), terciptalah keriuhan menyenangkan, apalagi sewaktu klimaksnya mencampurkan
segala bahan dan bumbu menjadi satu hidangan lezat.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
14 komentar :
Comment Page:Gak sudi gua kalau film ini kalah sama Ralph di Oscar. Beneran gak sudi.
Agreed.
Best Animated Feature kemungkinan yang menang yg mana ya? Saya paling suka Isle of Dogs, tapi kayaknya Incredibles 2 peluang menangnya lebih gede dah. Sama Into the Spider-Verse kayaknya juga bakal dapet nominasi kan?
Personally agak lebih suka Ralph, tapi kalau suruh pilih mana yang lebih pantas menang, ya Spider-Verse. Ralph berhasil karena formula paten di film pertama, kalau Spider-Verse bener-bener eksperimen yang berhasil.
Kalau bicara peluang menanng, Spider-Verse & Ralph seimbang. Disusul Incredibles 2, Isle of Dogs. Baru slot terakhir rebutan antara Mirai, Smallfoot & Lu Over the Wall.
Lebih keren Ini di banding Homecoming,,.
gak heran Sony sh gk mau ngelepas penuh Spiderman sama MCU,.
bahan jualan nya msh banyak ternyata. 😀
Spiderman Homo coming mah sampah, omnivora gado2, alur ceritanya ngga jelas dan terlalu hi tech. Pemain ga ada yang berkesan, apalagi temen nya Peter parker yang India Flash Sucker
Plis jangan disandingkan dgn Spiderman into the verse
@Aziz Wah ngomongin bahan jualan jelas buaanyak banget. Mereka aja yang latah mau shared universe. Spin-off Into the Spider-Verse aja bisa bejibun, termasuk trio Gwen-SpiderWoman-Silk.
@Muhammad Terlalu hi-tech? Well, Peter Parker di komik sekarang levelnya udah sama (bahkan lebih) dari Tony Stark lho. Pemilik perusahaan teknologi.
@Aziz Wah ngomongin bahan jualan jelas buaanyak banget. Mereka aja yang latah mau shared universe. Spin-off Into the Spider-Verse aja bisa bejibun, termasuk trio Gwen-SpiderWoman-Silk.
@Muhammad Terlalu hi-tech? Well, Peter Parker di komik sekarang levelnya udah sama (bahkan lebih) dari Tony Stark lho. Pemilik perusahaan teknologi.
salah satu film animasi terbaik *sepanjang masa*
DC Fanboy: "DC has better video game"
Marvel : "This is Marvel's Spider-Man PS4"
DC Fanboy: "DC has better animation"
Marvel : "This is Spider-Man Into the Spiderverse"
LOL
Suka ceritanya, kurang suka bentuk animasinya.
Mas Rasyid, tolong dibantu paham dong. Itu si Gwen kan termasuk spider-woman yg datang dari dunia paralel ya? Tapi tokohnya udah muncul sebelum king pin membuka portalnya? Please correct me if I'm wrong..
Beda sama yang lain, dia terlempar ke beberapa hari sebelumnya. Ada kok penjelasan singkatnya lewat dialog pas sekuen perkenalan latar belakang Gwen.
kalo visualnya gak asik sampe membuat penonton seolah baca komik, mungkin film ini jatuhnya biasa-biasa aja.
Posting Komentar