SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE (2018)

14 komentar
Walau mengadaptasi konsep komik Spider-Verse, film ini memang tidak pernah diniati untuk menyampaikan paparan kompleks soal multiverse. Bagi anak-anak, Spider-Man: Into the Spider-Verse akan bekerja sebagai cerita tentang “memperoleh kekuatan besar karena kasih sayang”. Dan tentu, pada akhirnya, selaku film Spider-Man, kekuatan besar itu bakal mendatangkan tanggung jawab besar. Bagi penonton dewasa terlebih pembaca bukunya, ini merupakan salah satu film buku komik paling memuaskan, yang memanfaatkan konsep multiverse untuk menciptakan crossover mengasyikkan penuh karakter berwarna dan visual memesona.

Fokus kisah diberikan kepada Miles Morales (Shameik Moore), karakter separuh Puerto Riko, separuh Afrika-Amerika, yang mengawali karir sebagai manusia laba-laba di Ultimate Comics: Spider-Man pasca kematian Peter Parker. Miles tengah kesulitan menyesuaikan diri di sekolah barunya yang ia sebut “elitis” sekaligus merasa tertekan oleh tuntutan sang ayah (Brian Tyree Henry). Sampai dua peristiwa mengubah hidup Miles: Memperoleh kekuatan Spider-Man setelah digigit oleh laba-laba radioaktif dan menyaksikan kematian Spider-Man alias Peter Parker (Chris Pine) di tangan Kingpin (Liev Schreiber).

Peter tewas kala berusaha menghentikan Kingpin membuka portal semesta paralel guna mengembalikan keluarganya yang telah tiada. Tanpa Peter, Miles “tersesat”, tidak tahu bagaimana menyikapi kekuatan barunya. Hingga terungkap bahwa aktivasi mesin pengakses semesta paralel milik Kingpin turut membawa berbagai versi manusia laba-laba lain ke dunia Miles. Dari sinilah kesenangan sesungguhnya dimulai.

Kita dibawa berkenalan dengan beragam tokoh menarik: Spider-Gwen (Hailee Steinfeld) yang berjiwa bebas, Spider-Man Noir (Nicolas Cage) yang memarodikan sisi misterius dan dramatis karakter di cerita noir, Peni Parker (Kimiko Glenn) yang nampak bagai keluar dari anime, Spider-Ham (John Mulaney) yang takkan aneh bila menjadi salah satu anggota Looney Tunes, serta versi lain dari Peter Parker (Jake Johnson). Bedanya, Peter satu ini bangkrut akibat investasi buruk, diceraikan Mary Jane karena takut memiliki anak, dan menjadi pecundang yang bermalas-malasan sampai perutnya membuncit.

Perjalanan alurnya berkutat soal bagaimana Miles dan Peter sama-sama membutuhkan bimbingan. Miles butuh diajari cara menggunakan kekuatannya, sedangkan Peter perlu membangkitkan kepercayaan diri setelah rentetan kegagalan hidup. Into the Spider-Verse sayangnya kurang mulus mempresentasikan proses hubungan keduanya, di mana pada satu titik Peter masih terganggu akan kehadiran Miles, namun tak lama kemudian, pasca aksi singkat, ia menyatakan bangga terhadap si remaja. Dengan kata lain, terburu-buru.

Hal di atas bisa sedikit melucuti hati filmnya, tapi tidak daya hiburnya. Film ini diproduseri duet Lord-Miller, serta ditulis naskahnya oleh Phil Lord (Cloudy with a Chance of Meatballs, The Lego Movie) dan Rodney Rothman (Grudge Match, 22 Jump Street), sehingga anda bisa mengharapkan kemunculan lelucon meta, khususnya seputar sejarah panjang Spider-Man, yang bertebaran sejak sekuen pembuka sampai post-credits scene.

Aspek komedinya menyenangkan, tapi elemen terkuat Into the Spider-Verse adalah visual, gelaran aksi, ditambah bagaimana tokoh-tokohnya yang kaya warna saling berinteraksi. Di jajaran manusia (plus babi) laba-laba, hanya Miles dan Peter (dan Gwen walau belum sesolid keduanya) yang layak disebut “tiga dimensi”, tapi mereka sanggup menjalin ikatan menghibur yang mampu membuat penontonnya berharap disuguhi lagi dan lagi. Para villain tak kalah mencuri perhatian, dengan Kingpin ditempatkan di sentral cerita.

Jika anda menonton serial Daredevil di Netflix, anda tentu paham bagaimana Kingpin alias Wilson Fisk berjalan di area abu-abu nan ambigu, di mana ia melakukan banyak hal keji didorong luka personal. Begitu pula di sini. Bahkan resolusi bagi kisahnya jadi cabang alur yang paling memanfaatkan konsep multiverse, yang sayangnya tidak terlalu menguras emosi seperti seharusnya, sebab mau tak mau, dengan durasi cuma 117 menit, ia mesti mengalah untuk memberi porsi kepada para titular characters.

Spider-Man: Into the Spider-Verse merupakan contoh cara memaksimalkan animasi sebagai medium yang meniadakan batasan imajinasi. Penyutradaraan trio Bob Persichetti, Rodney Rothman, dan Peter Ramsey (Rise of the Guardians) sempurna menangkap ide, “Apa jadinnya bila enam manusia laba-laba beraksi bersama”. “Kameranya” bergerak bebas tatkala masing-masing jagoan kita berayun di udara, melakukan berbagai aksi akrobatik, menghasilkan sensasi serupa membaca komik sewaktu gaya visualnya mencerminkan gambar-gambar di panel buku komik.

Speech balloons, berbagai teknik pewarnaan yang memunculkan beraneka tekstur gambar, serta kekhasan-kekhasan visual komik Spider-Man dapat anda temukan. Dalam parade visual yang membuat The Lego Movie (2014) nampak pucat jika disandingkan, Spider-Man: Into the Spider-Verse mencampurkan warna serta gaya sebanyak mungkin tanpa harus jatuh ke dalam kekacauan tak terkontrol. Berkat kerja keras 142 animator (kru terbanyak sepanjang sejarah Sony Pictures Imageworks), terciptalah keriuhan menyenangkan, apalagi sewaktu klimaksnya mencampurkan segala bahan dan bumbu menjadi satu hidangan lezat.

14 komentar :

Comment Page:
Zulfikar Knight mengatakan...

Gak sudi gua kalau film ini kalah sama Ralph di Oscar. Beneran gak sudi.

Houtreki mengatakan...

Agreed.

Anonim mengatakan...

Best Animated Feature kemungkinan yang menang yg mana ya? Saya paling suka Isle of Dogs, tapi kayaknya Incredibles 2 peluang menangnya lebih gede dah. Sama Into the Spider-Verse kayaknya juga bakal dapet nominasi kan?

Rasyidharry mengatakan...

Personally agak lebih suka Ralph, tapi kalau suruh pilih mana yang lebih pantas menang, ya Spider-Verse. Ralph berhasil karena formula paten di film pertama, kalau Spider-Verse bener-bener eksperimen yang berhasil.

Kalau bicara peluang menanng, Spider-Verse & Ralph seimbang. Disusul Incredibles 2, Isle of Dogs. Baru slot terakhir rebutan antara Mirai, Smallfoot & Lu Over the Wall.

Dul mengatakan...

Lebih keren Ini di banding Homecoming,,.

gak heran Sony sh gk mau ngelepas penuh Spiderman sama MCU,.

bahan jualan nya msh banyak ternyata. 😀

Muhammad Faisal Aulia mengatakan...

Spiderman Homo coming mah sampah, omnivora gado2, alur ceritanya ngga jelas dan terlalu hi tech. Pemain ga ada yang berkesan, apalagi temen nya Peter parker yang India Flash Sucker

Plis jangan disandingkan dgn Spiderman into the verse

Rasyidharry mengatakan...

@Aziz Wah ngomongin bahan jualan jelas buaanyak banget. Mereka aja yang latah mau shared universe. Spin-off Into the Spider-Verse aja bisa bejibun, termasuk trio Gwen-SpiderWoman-Silk.

@Muhammad Terlalu hi-tech? Well, Peter Parker di komik sekarang levelnya udah sama (bahkan lebih) dari Tony Stark lho. Pemilik perusahaan teknologi.

Rasyidharry mengatakan...

@Aziz Wah ngomongin bahan jualan jelas buaanyak banget. Mereka aja yang latah mau shared universe. Spin-off Into the Spider-Verse aja bisa bejibun, termasuk trio Gwen-SpiderWoman-Silk.

@Muhammad Terlalu hi-tech? Well, Peter Parker di komik sekarang levelnya udah sama (bahkan lebih) dari Tony Stark lho. Pemilik perusahaan teknologi.

Anonim mengatakan...

salah satu film animasi terbaik *sepanjang masa*

Ilham Qodri mengatakan...

DC Fanboy: "DC has better video game"
Marvel : "This is Marvel's Spider-Man PS4"

DC Fanboy: "DC has better animation"
Marvel : "This is Spider-Man Into the Spiderverse"

LOL

Nas mengatakan...

Suka ceritanya, kurang suka bentuk animasinya.

Yolana mengatakan...

Mas Rasyid, tolong dibantu paham dong. Itu si Gwen kan termasuk spider-woman yg datang dari dunia paralel ya? Tapi tokohnya udah muncul sebelum king pin membuka portalnya? Please correct me if I'm wrong..

Rasyidharry mengatakan...

Beda sama yang lain, dia terlempar ke beberapa hari sebelumnya. Ada kok penjelasan singkatnya lewat dialog pas sekuen perkenalan latar belakang Gwen.

Alvi mengatakan...

kalo visualnya gak asik sampe membuat penonton seolah baca komik, mungkin film ini jatuhnya biasa-biasa aja.