THE MAN FROM THE SEA (2018)

2 komentar
The Man from the Sea adalah drama menghibur dengan beberapa tebaran bumbu komedi. Terdengar cukup, namun karya penyutradaraan keenam Koji Fukada (Harmonium, Au Revoir L'Ete, Hospitalité) ini bisa (dan seharusnya) menjadi lebih, khususnya melihat subteks yang Koji sematkan di balik kisah mengenai pria misterius yang terdampar di sebuah pantai di Banda Aceh. Tanpa nama, tanpa ingatan, tanpa pakaian.

Pria tersebut (diperankan Dean Fujioka dengan aura mistis minim ekspresi wajah), tidak mengingat identitas serta asalnya. Setidaknya itu yang dipercaya warga setempat. Hingga seiring waktu, ia berubah dari pria pengidap amnesia yang tersesat, menjadi figur bak Yesus, dengan kemampuan menciptakan dan mengendalikan air guna menyelamatkan nyawa manusia, pula merenggutnya di lain kesempatan.

Seolah pria tersebut, sebagaimana nama yang diberikan untuknya (Laut), merupakan perwujudan laut itu sendiri. Laut yang menyediakan sumber kehidupan bagi manusia, namun seperti peristiwa tsunami tahun 2004, dapat pula menjadi pembawa maut yang merenggut ratusan ribu jiwa. Dualisme peran tersebut berpotensi menghadirkan perenungan serta dialektika menarik mengenai bagaimana seharusnya menyikapi kehidupan dan alam.

Tapi Koji, yang sanggup memprovokasi lewat Harmonium dua tahun lalu, memilih pendekatan ringan nan aman. Ketimbang titular character-nya, ia meletakkan fokus kepada empat muda-mudi, menyoroti pertemanan mereka, dan tentu saja, kecanggungan percintaan yang terjalin.

Ilma (Sekar Sari) adalah sineas dokumenter yang tengah memproduksi film mengenai korban tsunami, dibantu Kris (Adipati Dolken) si juru kamera. Salah satu narasumbernya adalah sobat Kris, Takashi (Taiga), pria Jepang yang lahir dan besar di Indonesia karena pekerjaan kemanusiaan sang ibu, Takako (Mayu Tsuruta). Terakhir ada Sachiko (Junko Abe), sepupu Takashi yang datang dari Jepang guna menjalankan misi personal.

Berkat pengarahan sekaligus penulisan naskah bergaya “serius tapi santai” dari Koji, interaksi keempat protagonisnya menyenangkan disimak. Entah sikap jenaka Takashi atau romansa malu-malu Kris dan Sachiko, semua berhasil memancing senyum, bahkan tawa. Keempat pemerannya pun bermain baik: Taiga mempunyai timing komedik apik, Adipati cocok melakoni peran pemuda pemalu yang bagai “kerbau dicucuk hidungnya” karena cinta dengan Junko yang tak kalah polos menjadi tandem sempurna, sedangkan Sekar Sari memberi keseimbangan lewat pendekatan (lebih) dramatik.

Saya menyukai mereka, mendukung tercapainya tujuan mereka, juga gemas menyaksikan romansa “malu-malu kucing” Kris-Sachiko. Sampai The Man from the Sea menyentuh babak akhir, lalu saya menyadari banyaknya cerita penuh makna yang tertinggal tanpa eksplorasi. Koji menyebut bahwa ide film ini sudah terpikirkan sejak 2011, yang kita tahu bersama, merupakan tahun kala tragedi gempa bumi dan tsunami Tohoku terjadi. Pertemuan warga Indonesia dan Jepang di sini bisa saja menciptakan tuturan metaforikal mengenai penanganan trauma kedua bangsa. Persinggungan dan peleburan nasib serta budaya sempat dipaparkan di beberapa titik (termasuk kebersamaan Kris dan Sachiko), tapi tidak cukup lugas untuk dapat merenggut hati.

Koji cukup cerdik mengakali keterbatasan sumber daya tatkala bermain-main dengan aspek magis ala dongeng, mengandalkan kreativitas demi mengejutkan, memuaskan, atau menghibur dan menyulut tawa penonton (Caranya mengakhiri adegan “konferensi pers sungguh jenius). Sayangnya, terkadang beberapa detail kecil terlewat dari pengamatan Koji, sebutlah saat pada dua kesempatan berbeda, anda bakal melihat jelas mayat yang masih bernapas.

Benar bahwasanya potensi sejati dan makna terdalam The Man from the Sea tidak pernah terwujud seutuhnya, namun usaha Koji membawa filmnya berjalan di jalur yang lebih mengutamakan hiburan harus diakui berujung kesuksesan. Film ini mungkin takkan berjaya di ajang festival film mayor sebagaimana Harmonium memenangkan Jury Prize pada Festival Film Cannes 2016, namun The Man from the Sea adalah suguhan yang dengan senang hati akan saya kunjungi kembali untuk sekedar bersantai seperti menikmati udara pantai

2 komentar :

Comment Page:
Surya AS mengatakan...

Ini film indonesia kan bang? Kok ada tag japanese movie juga?

Rasyidharry mengatakan...

Statusnya 3 negara sebenernya: Jepang, Prancis, Indonesia. Karena ini produksi bersama PH 3 negara itu.