DREADOUT (2019)
Rasyidharry
Januari 05, 2019
Caitlin Halderman
,
Ciccio Manassero
,
Fajar Yuskemal
,
horror
,
Indonesian Film
,
Irsyadillah
,
Jefri Nichol
,
Kimo Stamboel
,
Kurang
,
Marsha Aruan
,
Mike Lucock
,
REVIEW
,
Susan Sameh
26 komentar
Setelah Timo Tjahjanto sukses
menguasai 2018, kini giliran partnernya, Kimo Stamboel, menelurkan DreadOut, adaptasi gim video lokal
berjudul sama. Sekadar info, ini bukan debut penyutradaraan Kimo, sebab 15
tahun lalu, bersama rekan-rekannya sesama mahasiswa Indonesia di Australia, ia
sempat membuat horor berjudul Bunian.
Menyaksikan karir solo Timo dan
Kimo, kita bisa melihat bahwa (naturally) keduanya meiliki kemiripan gaya, dari
gerakan kamera, kecintaan akan situasi kacau, dan tentunya darah. Sayang,
perihal pemaksimalkan gaya tersebut, Kimo belum setara dengan Timo. Terasa ada
kebingungan di beberapa kesempatan. Ditambah naskah lemah tulisannya sendiri
yang hampir layak disebut “konyol”, DreadOut
lebih banyak menghasilkan kekecewaan.
Tapi saya pastikan, ini bukan satu
lagi horor lokal asal-asalan yang memancing pusing kepala. DreadOut digarap sungguh-sungguh, dan itu dapat kita saksikan
langsung begitu momen pembukanya menampilkan ritual bernuansa hellish yang bisa jadi bakal membuat
penonton mengira (atau berharap) DreadOut
adalah “saudara sedarah” dari Sebelum
Iblis Menjemput.
Lalu kisahnya melompat satu dekade,
ketika kita bertemu Linda (Caitlin Halderman), siswi SMA yang bekerja di
minimarket demi menyangga perekonomian keluarga. Di tengah satu hari kerja yang
berat, Linda berkenalan dengan kakak kelasnya, Erik, yang dipernakna Jefri
Nichol dalam pesona khasnya selaku “chemistry
maker”. Interaksi pertama keduanya semanis komedi-romantis remaja, atau
kalau boleh saya bilang, “Film Jefri Nichol”. Faktanya, selain Caitlin, turut
hadir Susan Sameh. Ganti Marsha Aruan dengan Amanda Rawles, akan tercipta film
ansambel “Jefri Nichol’s love interests”.
Erik bersama empat kawannya,
Jessica (Marsha Aruan), Alex (Ciccio Manassero), Dian (Susan Sameh), dan Beni
(Irsyadillah), berencana merekam video viral dengan memasuki suatu gedung
angker terkenal. Mereka butuh bantuan Linda, karena ia mengenal sang penjaga
gedung, Kang Heri (Mike Lucock). Tidak butuh waktu lama bagi keenam remaja ini
menerobos ruang terlarang yang kita saksikan di awal film, di mana lambang
ouroboros terhampar lantai.
Ditemukan pula beberapa gambar
misterius bertuliskan huruf Sansekerta dan Jawa, juga selembar kertas kosong,
yang ternyata menyimpan mantera rahasia yang hanya mampu dilihat dan dibaca
oleh Linda. Begitu mantera dirapalkan simbol ouroboros tadi berubah menjadi
kolam tanpa dasar selaku gerbang menuju dunia lain. Banyak hal menarik
sekaligus menyeramkan dapat terjadi di sana, namun alih-alih mengeksplorasinya,
atau setidaknya melepaskan lebih banyak spesies hantu—yang semuanya memiliki
desain keren—naskahnya memilih jalan kurang kreatif nan repetitif guna mengisi
durasi.
Rutinitas alur DreadOut kurang lebih demikian: Kolam terbuka—karakter tercebur—kolam
tertutup—karakter berlari—karakter jatuh ke lubang—ulangi. Kimo begitu
mencintai adegan “jatuh”, ia sampai lupa mengembangkan cerita yang layak,
dilengkapi aturan, pembangunan mitologi, serta logika yang layak pula. Anda
bakal dibuat garuk-garuk kepala oleh beberapa elemen tanpa kejelasan, atau
tertawa tatkala filmnya coba menjelaskan elemen lain secara menggelikan.
Saya akan berikan beberapa contoh.
Sepanjang film, Linda mampu melukai para hantu menggunakan cahaya flash dari
kamera telepon genggamnya. Menurut Beni, hal itu karena, Linda dianugerahi “bakat”
sebagaimana mendiang sang ibu (Salvita Decorte). Tapi kenapa harus flash?
Apakah perwujudan bakat supernatural turut menyesuaikan kebiasaan generasi
kekinian? Contoh kedua ada di klimaks. Berbeda dibanding banyak masyarakat Indonesia,
tokoh-tokohnya bersedia antre untuk berenang guna kabur dari kejaran hantu
ketimbang langsung melompat bersamaan. Momen itu sama lucunya dengan adegan “botol
air” di Tusuk Jelangkung Di Lubang Buaya
(2018).
DreadOut menghasilkan setumpuk kekonyolan, tetapi Kimo sendiri memang
enggan menjadikan filmnya terlampau serius. Dia sadar sedang membuat tontonan
yang diharapkan mampu memancing riuh rendah penonton (teriakan, tawa, apa pun).
Naskahnya pun menyimpan sederet kalimat “ajaib” yang berfungsi sebagai “ranjau
tawa” selain penampilan komedik Mike Lucock. Walau pengadeganan Kimo kerap
tidak pasti sehingga membuat tone-nya
membingungkan, tak bisa disangkal, situasi ala b-movie terebut punya kadar hiburan memadahi.
Perihal membangun tensi lewat
kekacauan pun Kimo belum konsisten. Terkadang filmnya jadi perjalanan
menegangkan beroktan tinggi disokong musik penggedor jantung gubahan Fajar
Yuskemal (The Raid 2: Berandal, Sebelum
Iblis Menjemput, Apostle) seperti nampak ketika Hantu Kebaya Merah (Rima
Melati Adams) menginvasi dunia manusia. Tapi DreadOut lebih sering tanpa taring, dengan penampakan hantu yang
nyaris nihil dampak, serta dialog-dialog yang sukar dicerna, sewaktu teriakan pemain
saling bertubrukan, tanpa kepekaan mengatur artikulasi maupun timing.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
26 komentar :
Comment Page:"film yang diadaptasi dari video game"
what did you expect? haha
Setuju Mas. Diluar ekspetasi yang tinggi ternyata film ini mengecewakan. Jelas sekali kental repetisi dan plot hole. Pertanyaan yang selalu mengganggu saya sih itu hape kuat amat ya, udah kecebur, kebanting tahan batre pula....hihi
Tapi ini film receh yang dengan senang hati sih saya sambangi dua kali di bioskop demi hanya sekedar hiburan. Kapan lagi liat Marsha Aruan yang gemar nyari sinyal tampil menggila. Plus satu apresiasi lebih dari saya sih penggunaan bahasa sunda-nya yang kasar itu terasa dekat karena notabene-nya saya orang Sunda. Dan *si anying selalu bikin riuh tawa seisi bioskop sih. Hehe
Semoga saja sekuelnya nanti bisa memperbaiki dan membuat (SPOILER) Hannah Al Rashid menggila
Film diadaptasi dari video game yang notabene konyol juga, mengusir/membunuh hantu dengan flash kamera.. :D
Yg dijual pasti menegangkannya aja.
Tapi ini yg menggarap Kimo dan tetap layak nonton sih..
Setidaknya film ini menang di banyak aspek dan mengalami naik level bila dibandingkan dg film horor bertema sama. Sebut saja Alas Pati dan 13 The Hunted. Dan klo mnurut saya ini merupakan film horor terbaik yg dimainkan jefri nichole klo dibandingkan dwilogi jailangkung. Meski pada akhirnya Dreadout msih kalah sama SIM, PS dan Kafir. Setidaknya masih seru hehe. Tapi jujur mas saya masih bingung dg adegan awal dan twist yg dikasih. Siapa sih yg ditutupin sewek batik itu, memangnya knp ibunya linda yg hrus baca mantra? Kturunan dukunkah dia? Fungsi keris di film itu apa? Saya berharap kebaya merah punya rencana besar sehingga dia jdi the main villain. Tpi motivasinya hanya balas dendam atas kmatian adiknya. Film ini seru tpi bikin bingung.
@Bagas A lot actually. Karena dari game semestinya punya modal hiburan yang tinggi. Di tangan yang pas, sejelek apa pun ceritanya, at least bisa fun.
@Ungki Oo jelas, penonton yang full house juga kebanyakan happy. Bukan ketakutan, tapi ngetawain filmnya haha. Hannah kenapa emang? Di game karakternya penting kah?
@Panca Belum main game-nya sih. Tapi kayaknya mirip Fatal Frame ya? I love that one.
@Alvan Haha ya jelas. Kalau sampai di bawah dwilogi Jailangkung kebangetan itu. Nah itu poinnya. Bingung kan? 😂
Lha kan ada 2 post credit Mas, sekuelnya memberi clue Hannah yang akan menjalankan misi selanjutnya. Saya bukan gamernya sih Mas, hehe
@ungki yaaa mungkin krn di game si gurunya jg ikut ke dunia lain. Nah biar logic di film. Tokoh Alex sebagai anaknya dibiarkan tersesat di dunia lain. Supaya gurunya punya motivasi k dunia lain jg. Cuma itu yg saya tangkap.
@Alvan Ralat, Beni bukan Alex. Iya saya juga demikian. Bu Siska sengaja ikutin anaknya supaya tahu seluk-beluk dunia lain plus menjalankan misi utama membawa Linda. Ya, bener itu sengaja sih biar logic dan mungkin bisa saja itu dijadikan jalan ke sekuelnya. Ya, semoga saja sekuelnya bisa memperbaiki dan belajar dari hal ini
Ooh iya, baru diceritain credit-scene kedua yang aneh, yang hantunya live instagram ya? Hahaha
Film yg diadaptasi dari video game kan seperti dikutuk utk tidak pernah bagus
Karena banyak sutradara dan/atau penulisnya nggak mainin game yang diadaptasi, jadi nggak tahu di dalamnya ada cerita dan apa yang bikin game itu populer.
Sebenernya dari film ini ada satu hal yang paling menggangu benak saya :
Di game DreadOut, Linda punya motivasi menyalakan terus kamera hape dan flashnya karena situasi memang sedang pada malam hari dan gelap. Nah di film ini jelas-jelas keadaan di “dunia lain” tersebut masih ada cahaya matahari meskipun cuman mendung. Kalau si Setanya saja sama sinar matahari kebal, kenapa tidak dengan flash hape?lagipula apa juga motivasi linda untuk menyalakan kamera dan flash di siang hari from the first place? film ini lebih membingungkan dari film aronofsky,david lynch,bahkan lars von trier wkwk.
Menurut gw Silent Hill bagus kok sebagai Salah satu film dari video games, Karena Silent Hill bener2 menerapkan plot dari game ya meskipun endingnya bangke
Kalau dari plotnya emang rada mirip sama fatal frame sih bang, senjatanya juga sama-sama kamera kan. Kaget sama Marsha Aruan disini, si Jessica kesurupannya menggila, kalau ga salah dia bakal ada main film kan horror juga? Tembang Lingsir itu apakah akan berkaitan sama Kuntilanak. Kaget sama pemilihan cast Linda kiraen bakalan oriental gitu wajahnya. Kalau ga salah Kimo bilang ini prequel kan? sebenarnya di DreadOut gamenya sendiri banyak setan yang berpotensi masuk disini bang. Rima Melati ga nyangka bisa semengerikan itu.
Udah pernah main gamenya tapi belum nonon filmnya. Kalau baca dari review temen2, kayaknya film ini cuma pancingan aja ya buat pemanasan ke sekuelnya.
@Ariyadi Nah setuju ini. Atmosfer & desain karakternya tepat.
@karistein Mungkin Linda ini berjiwa paruh baya, jadi demen foto pake flash di siang hari.
@Lusiana Yap, Marsha main di Tembang Lingsir, dan nggak ada hubungan sama sekali ke Kuntilanak.
@Mas emang sengaja didesain gitu buat bangun franchise. Ngelihat jumlah penonton, paling 2020 udah dirilis.
Oh ya mas Rasyid, boleh rekomen beberapa film horror terbaik tahun 2018 lalu ga? Soalnya pengen nyoba nonton horror
Top 10:
Hereditary
A Quiet Place
Halloween
Sebelum Iblis Menjemput
The Endless
Gonjiam: Haunted Asylum
Dukun
Unsane
Apostle
Revenge
Tapi nggak sebanyak itu juga nonton horor tahun lalu sih
Di gamenya, bu siska dan the sisters demon punya peran yg bisa dibilang paling penting.so do Linda dan temannya yg live di awal2 film, Ira
Nunggu banget soal sekuelnya tapi kemaren yang bikin heran soal three sister itu kok si kebaya putih dibilang mati? Karna kan main villainnya ada tiga. Kalau ga salah Ira memang masuk di gengnya Linda sih. Semoga sekuelnya bakalan muncul itu setan tuyul sama manekin yang udah saya tunggu-tunggu banget.
Soal Marsha abis liat aktingnya disini mau nunggu mas Rasyid review Tembang Lingsir dulu baru saya nonton. Artis/aktor bisa mengeluarkan potensi kalau ditangani sama director yang tepat ya mas.
Agak kecewa nontonnya, bang. Kirain bakalan berdarah-darah gitu. Ternyata 'cuma' segitu... Untunglah langsung nonton "keluarga Cemara" setelah "DreadOut". ��
Bang Rasyid, mohon kritik dan sarannya ya! Saya ikutan ISFF2019
Film pendek yang saya daftarkan adalah genre horror dengan gaya found footage amatir! :)
https://www.vidio.com/@abdi.khaliq_1/videos
Terima kasih buanyak sebelumnya!
@Abdi_Khaliq Wow, that's creepy. Pilihan buat nggak pakai musik dan kamera still, efektif bangun atmosfer (Kucing item itu sentuhan kecil yang efektif). Karena cuma 4 menit, intensitasnya padet dan ngalirnya mulus. Klimaks & twist-nya jadi puncak yang memuaskan. I was like, "WTF?!". Ada keluhan kecil, terkait format found footage. Karena sebenarnya, tanpa jadi found footage pun (tanpa tilt kamera pas ending & teks narasi tentang kamera handphone) nggak berpengaruh ke keseluruhan film. Tapi itu hal minor. Buat saya horor ya harusnya (paling nggak) begini. Pokoknya serem. Urusan lain itu belakangan. Baru dikejar setelah kengeriannya terpenuhi. Mantap!
Wah, Allhamdulillah banget! Nggak nyangka kalau respons Seorang Bang Rasyid bisa sepositif ini.
Benar-banar dorongan buat saya, sekali lagi terima kasih buanyak! :)
BTW pembuatan film ini benar-benar serba dadakan dan sendiri, di rumah pun saya tinggal sendiri.hahahaha
Sebenarnya saya pribadi awalnya mau bikin film horror lewat SMS (text bubble on screen), tapi kebetulan karena saya cuman punya kamera HP ala kadarnya (sedangkan Panitia mengutamakan kualitas gambar dan cerita), saya pikir "Ya sudah lah manfaatkan apa yang ada, bikin film horror found footage amatir aja!" Ya, akhirnya begini jadinya.
Untuk kucing itu benar-benar di luar script, itu kucing liar yang kalo liat orang bakalan kabur. hahahahaha. Saya juga kaget pas liat rekaman "Ini kucing ngapain?" Tapi akhirnya "Ya sudah lah Cing, kamu temenin aku main film aja!" hahahaha...
Soal musik, sebenarnya saya pengen pake musik, tapi jujur saya nggak bisa main musik (gitar pun nggak bisa!), mau pakai musik di internet takut kena hak cipta, jadilah saya pakai suara alam di depan rumah saya.hehehe
Sekali terima kasih buanyak untuk Bang Rasyid yang sudah meluangkan waktunya! :)
Haha that's the best thing in art. Hal-hal yang sebenernya nggak kita niati, atau malah termasuk "kecelakaan", bisa jadi memperkuat hasil. Kalau pake musik, tingkat kengeriannya bakal turun, dan kurang sinkron sama visual yang raw. Tapi kalau mau pake musik internet, ambil aja punya Kevin MacLeod. Saya selalu pake itu (bahkan beberapa film bioskop juga). Personally, I love this kind of raw horror movie. Macam Ju-On yang pertama gitu lah. Soal teknis yang low quality, seiring tambah pengalaman (dan duit) itu pasti kekejar. Keep that spirit.
Posting Komentar