APP WAR (2018)
Rasyidharry
Januari 06, 2019
Apiwich Reardon
,
Comedy
,
Cukup
,
Nat Kitcharit
,
Patchanan Jiajirachote
,
Phuwanit Pholdee
,
REVIEW
,
Romance
,
Sirat Intarachote
,
Thai Movie
,
Warisara Yu
,
Yanyong Kuruaungkoul
3 komentar
Menurut film ini, hanya 2% usaha startup sanggup meraup kesuksesan.
Karena, meski dijalankan oleh orang-orang dengan ambisi, semangat, serta harapan
tinggi, kesulitan juga risiko yang dihadapi pun tak kalah tinggi. App War kaya sutradara Yanyong
Kuruaungkoul (Back to the 90s)
berbagi ambisi serupa dalam hal cakupan cerita yang memasang banyak target.
Apabila diibaratkan startup, meski
bukan termasuk 90% yang kolaps, film ini belum cukup solid untuk bergabung
dalam kelompok kecil berisi 2% peraih keberhasilan.
Tokoh utamanya adalah Bomb (Nat
Kitcharit) dan June (Warisara Yu), dua pemilik startup yang masih kesulitan mengembangkan usaha kala tiap
kompetisi yang diikuti selalu berujung kegagalan. Sampai suatu hari pasca
sebuah kompetisi, mereka bertemu, menghabiskan malam bersama, dan menemukan
bahwa masing-masing memiliki setumpuk kesamaan.
Walau tak berlanjut ke hubungan romantis
karena June (masih) memiliki kekasih, pertemuan itu tetap meninggalkan makna
bagi Bomb, yang sudah sekian lama melakukan kegemarannya sendiri (makan masakan
India, bermain lasser tag). Bomb pun
terinspirasi membuat Inviter, aplikasi untuk mempertemukan orang-orang dengan
kesukaan serupa agar bisa bertemu tanpa harus menyinggung ranah romantis (tagline aplikasinya berbunyi, “Non-Romantic Relationship”.
Bersama dua sahabatnya, Build (Apiwich
Reardon) dan Tai (Sirat Intarachote), Bomb bisa pelan-pelan membawa Inviter menuju
kesuksesan.....hingga aplikasi serupa bernama Amjoin hadir sebagai pesaing dan
mengancam posisi Inviter. Bisa ditebak, Amjoin dalah kepunyaan June. Saling
mengetahui posisi satu sama lain, hubungan Bomb dan June pun memanas. Bomb
menganggap June mencuri idenya, yang tentu disangkal sang gadis. Sempat menjadi
sepasang manusia yang saling menemukan, kini mereka menjadi musuh yang saling
menjatuhkan.
Baik Inviter maupun Amjoin punya
plus-minus yang mencermikan penciptanya Sistem Inviter rapi, berjalan mulus,
tapi tampak membosankan, sementara Amjoin terlihat menarik tapi sistemnya kacau
balau. Masalah yang sejatinya dapat teratasi apabila kedua aplikasi disatukan
untuk saling melengkapi, sebagaimana sebuah hubungan harusnya berjalan.
Rivalitas ini memancing tercetusnya
ide kotor pada kedua pihak, yakni menyusupkan mata-mata. Inviter mengirim Tai
sang desainer, sementara Amjoin mengutus Mild (Patchanan Jiajirachote) si anak
magang cantik yang diharapkan mampu meluluhkan hati para pria. Karena Bomb dan
June telah mengetahui status masing-masing, tidak memungkinkan bagi mereka
menjadi mata-mata, sehingga filmnya membutuhkan karakter lain, yang mau tak mau
memecah fokus alur, sehingga makin sulit mendapatkan hasil maksimal di tiap
subplot.
Tai merasa pekerjaannya tak
dihargai di Inviter. Begitu menyusup ke Amjoin, ia mendapati situasi berbeda.
June mengapresiasi hasil desainnya. Masalah serupa saya yakin pernah dialami
pegawai mana pun. Sayang, problematika ini urung ditelusuri lebih dalam, sebab App War tidak punya cukup waktu untuk
diluangkan. Setidaknya Tai lebih beruntung ketimbang Mild. Saya paham
kejengahannya atas perlakuan semena-mena para bos di Amjoin, namun alasan
mengapa ia betah bahkan terikat dengan Inviter, walau cuma dilihat sebagai “pemanis”,
lalai dijabarkan.
Sampai sini barangkali anda telah
menyadari betapa banyak poin yang coba film ini tampilkan. Ada romantika,
sentilan terhadap lingkungan kerja, juga hiburan berbentuk pertarungan adu trik
antara dua perusahaan. Akhirnya tidak ada satu pun poin sukses mencapai
potensinya. Kisah cintanya belum cukup manis, sebab Bomb dan June sendiri
jarang berbagi momen manis. Sedangkan premis uniknya soal mengirim mata-mata,
meski diawali secara menarik, perlahan kehilangan daya tatkala naskah garapan Phuwanit
Pholdee (Oversize Cops), Sutthipong
Phanthanalai, dan Rangsima Aukkarawiwat gagal menyajikan variasi intrik dalam
adu taktik dua kubu.
Beruntung, App War masih menghibur. Deretan humornya efektif, seluruh jajaran cast menampilkan performa yang nyaman
dinikmati, dan penyutradaraan Yanyong Kuruaungkoul kaya energi. Film ini
membicarakan kultur modern di tengah kehidupan kaum muda, dan pendekatan
Yanyong mencerminkan itu melalui tempo bertutur lincah nan dinamis, dibantu
penyuntingan cekatan oleh Rachaphun Phisutsinthop (Warrior King 2, Timeline).
Menjelang babak akhir, App War terasa problematik. Pertama,
rekan-rekan June di Amjoin terlampau diantagonisasi. Benar bahwa kedua
perusahaan melakukan kecurangan bersama, tetapi perbuatan Amjoin sudah terlalu
jauh, termasuk caranya memperlakukan karyawan. Di sisi lain, Bomb dan
teman-temannya dari Inviter digambarkan sebagai orang-orang berhati baik yang
berbuat salah atas dasar khilaf. Perlakuan kurang adil tersebut menciptakan
distraksi dalam proses filmnya mengobservasi sisi (agak) gelap dunia kerja.
Masalah kedua, terkait bagaimana
konklusinya dibangun berdasarkan keputusan dipaksakan yang dibuat oleh tokoh
utama. Sayang, padahal momen penutupnya menyimpan elemen manis—dan berpotensi
memancing haru—tentang betapa indah serta bermaknanya melakukan hal yang kita
cinta bersama sosok spesial tercinta.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Ekspektasi saya film ini akan menjabarkan bagaimana sebuah aplikasi rintisan bisa berhasil masuk ke jajaran atas aplikasi yang paling banyak dicari.
Ternyata hal itu urung terjadi ya Bang.
Di film ini kita hanya melihat Inviter tiba2 udah berada diposisi atas.
Kemudian muncul Amjoin menjadi pesaing utama.
Amjoin bisa menjadi pesaing utama pun urung dijabarkan bagaimana caranya.
Bang, rekomen donk film dramedi romantis Thailand yg alurnya simpel macam Crazy Rich Asians tapi eksekusinya bagus.
@Dana Ya, memang nggak terlalu dalam eksplorasi soal startup-nya. Tapi ya udah, tujuannya memang bukan sepenuhnya ke situ.
@nasrullah Coba First Love, Hello Stranger, sama film-filmnya GTH & GDH (penerusnya)
Posting Komentar