SWING KIDS (2018)
Rasyidharry
Januari 08, 2019
Bagus
,
Do Kyung-soo
,
Drama
,
Jared Gries
,
Kang Hyeong-cheol
,
Kim Min-ho
,
Korean Movie
,
Musical
,
Oh Jung-se
,
Park Hye-su
,
Ross Kettle
Tidak ada komentar
Serupa bentuk kesenian lain, tari
dapat membebaskan jiwa dan pikiran meski tubuh tengah terbelenggu. Demikian
yang dialami tokoh-tokoh dalam adaptasi pertunjukan musikal Rho Ki-soo ini. Ada tahanan, rakyat
sipil yang menderita, hingga prajurit korban rasisme. Swing Kidsi berlatar di penjara Geoje, tempat tahanan perang
dikurung semasa Perang Korea. Sebuah perang yang didasari gesekan ideologi
antara komunisme (Korea Utara) melawan kapitalisme (Korea Selatan).
Ro Ki-soo (Do Kyung-soo) merupakan
salah satu tahanan yang diperlakukan bak pahlawan Korea Utara karena kerap
menimbulkan kekacauan di penjara, sehingga merepotkan prajurit Amerika. Tentu
pola pikir Ki-soo serupa para kameradnya. Jangankan berteman, mengonsumsi
produk atau kultur Amerika (baca: kapitalis) saja sudah membuat seseorang dicap
pengkhianat bangsa.
Suatu ketika, Sersan Jackson (Jared
Grimes), seorang militer Amerika berkulit hitam yang dikenal akan kepiawaian tap dance-nya, diperintahkan membentuk
tim tari oleh Brigjen Roberts (Ross Kettle). Perintah tersebut bertujuan
menciptakan propaganda, agar tahanan di Geoje seolah hidup bahagia. Tapi
seperti pernyataan Jackson, mengajari mereka berdansa-dansi macam orang Amerika
tak semudah membalik telapak tangan, terlebih karena usungan ideologinya.
Hanya tiga anggota berhasil didapat:
Kang Byung-sam (Oh Jung-se) yang dipenjara akibat salah paham dan tengah
berusaha mencari sang istri, Xiao Fang (Kim Min-ho) si orang Cina bertubuh
tambun yang bakatnya tertutupi oleh penyakit Angina sehingga tak mampu menari
dalam waktu lama, dan penyanyi muda bernama Yang Pan-rae (Park Hye-su) yang
dituntut menanggung beban ekonomi keluarga pasca orang tuanya jadi korban jiwa
peperangan. Tapi atensi Jackson sejatinya tertuju pada Ki-soo yang ia yakini,
punya bakat luar biasa.
Swing Kids melempar pesan anti-perang sekaligus mengkritisi perselisihan
yang dipicu perbedaan ideologi, sehingga wajar bila Ki-soo pelan-pelan
menyadari betapa kecintaannya terhadap tap
dance mulai mengalahkan kebencian pada kapitalisme. Mengapa harus
memenjarakan diri kalau hati dan pikiran kita tak sabar ingin terbang bebas?
Kang Hyeong-cheol (Sunny, Tazza: The Hidden Card) selaku sutradara
sekaligus penulis naskah sanggup merangkai beberapa sekuen tap dance penuh energi, dibantu ketepatan pemilihan sudut kamera
dengan gerak dinamis, serta transisi lincah. Momen-momen tap dance-nya membuat saya merasakan apa yang Swing Kids hendak presentasikan: Menari membuatmu bahagia. Setiap
kali karakternya menghentakkan kaki mereka di lantai kayu untuk menciptakan
ketukan, senyum saya merekah.
Cara presentasinya mungkin tak
mengenal kesubtilan, tapi inti pesannya relevan. Swing Kids memaparkan bagaimana seni sanggup menyatukan
individu-individu dengan ragam latar, termasuk bahasa. Kelima penari kita boleh
punya tiga bahasa ibu berlainan (Korea, Inggris, Cina), namun mereka dapat
saling memahami kala bicara lewat tarian.
Hal tersulit di sini sejatinya
bukan menyusun komposisi tarian, melainkan menyeimbangkan tone. Swing Kids terjadi
di tengah peperangan, di mana banyak nyawa melayang sementara mereka yang hidup
mesti kehilangan keluarga. Sekadar menyajikan kemeriahan manis sama saja
mengenakan kacamata kuda. Beruntung, penulisan Hyeong-cheol berani memunculkan
situasi-situasi kontradiktif, tatkala tragedi atau pemandangan mengganggu bisa
terwujud sesaat setelah kita tertawa riang. Peralihannya tak selalu mulus,
walau kelemahan itu sukses ditutupi oleh kemampuan Hyeong-cheol menghibur kita
memakai humor.
Saya tidak ragu menyebut sang
sutradara seorang “comic genius”.
Leluconnya kreatif, sesekali sukar diprediksi, dan hampir selalu mendarat
dengan timing sempurna. Pun elemen
komedinya memainkan peran penting dalam usaha membuat penonton terikat pada jajaran
karakternya. Semakin kita mencintai mereka, semakin kuat konklusinya menancapkan
cakar di benak kita. Berkat cast kaya
talenta, usaha itu tambah mudah dieksekusi.
Nyaris selalu diam, gestur gemulai
yang kerap absurd milik Kim Min-hoo amat mengocok perut, sedangkan Park Hye-su
sebagai gadis jenaka nan bersemangat niscaya bakal mencuri hati melalui
tingkah-tingkah yang tidak kalah aneh. Bahkan ada adegan di mana saya dan
banyak penonton lain refleks bertepuk tangan sambil kesulitan menahan tawa (clue: flying kick). Bagi Do Kyung-soo
alias D.O. “EXO”, awalnya saya berprasangka buruk, merasa penampilannya datar.
Rupanya itu bagian dari proses
perkembangan karakter. Awalnya, Ki-soo bagai tanpa nyawa, seorang pejuang
komunis tanpa tanda-tanda kebahagiaan (bahkan perasaan). Tapi lambat laun,
senyumnya timbul. Sang aktor mulus, juga meyakinkan melakoni transformasi tokoh
peranannya, di samping unjuk gigi kemampuan tap
dance. Dengan Swing Kids, Do
Kyung-soo jelas termasuk salah satu penghuni jajaran terdepan di antara para
idola K-Pop yang merambah dunia seni peran layar lebar.
Selain ending, ada satu lagi adegan yang sungguh berkesan, yaitu saat Yang
berkata pada Jackson bahwa terdapat sebuah lagu yang berseliweran di
pikirannya. Lalu ia menari diiringi Modern
Love milik David Bowie (diselingi cross-cutting
dengan tarian Ki-soo). Tariannya penuh nyawa dan kegembiraan. Yang tak bisa
mendeskripsikan lagu itu, tapi bisa menunjukkannya (lewat tarian). Melihatnya
menari, rasanya saya memahami lagu apa yang dia maksud. Sebuah lagu yang kita
sebut “KEBEBASAN”.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar