SIMMBA (2018)
Rasyidharry
Januari 09, 2019
Action
,
Ajay Devgn
,
Cukup
,
Hindi Movie
,
Ranveer Singh
,
REVIEW
,
Rohit Shetty
,
Sajid Samji
,
Sara Ali Khan
,
Sonu Sood
,
Yunus Sajawal
Tidak ada komentar
Pada sebuah adegan, salah satu pemerkosa
menyebut alasan perbuatannya adalah dikarenakan sang wanita memprovokasi serta
menyerangnya, dan itu melukai egonya. Terdengar familiar, sebab itu jamak
terjadi. Pelaku perkosaan (kebanyakan pria) berusaha menjustifikasi tindakan
bejatnya dengan menyalahkan korban, yang dianggap “memprovokasi”. Entah lewat
tingkah maupun cara berpakaian. Kalau anda merasa alasan tersebut bisa
dimaklumi, silahkan menceburkan diri ke neraka jahanam. Jika sebaliknya, kemungkinan,
Simmba adalah film untuk anda.
Tapi spin-off dari seri Singham
sekaligus remake dari film Telugu
berjudul Temper (2015) ini tak
langsung menyelami isu penting itu. Protagonisnya sendiri, awalnya bukan figur
jagoan kebanyakan. Tumbuh sebagai yatim piatu yang tinggal di jalanan dan
belajar bahwa untuk bertahan hidup (baca: mengeruk uang) seseorang mesti
memiliki kuasa, Sangram “Simmba” Bhalerao (Ranveer Singh) bercita-cita menjadi
polisi setelah mendapati betapa pihak pemegang otoritas bisa bermandikan uang
apabila mampu “memanfaatkan” kekuatannya.
Mimpinya pun terwujud. Simmba
menjadi polisi yang terkenal karena dua hal: kemampuan fisiknya dalam menghajar
kriminal dan korupsi akutnya. Walau berasal dari kota yang sama dengan Bajirao
Singham (Ajay Devgn), reputasi Simmba amat berkebalikan. Ketika ditransfer ke
Miramar, ia pun berbahagia, karena menurutnya di sana merupakan tambang emas. Sebelum
pindah, Simmba telah diwanti-wanti agar tidak mencampuri urusan Durva Yashwant
Ranade (Sonu Sood) selaku penguasa dunia hitam Miramar. Tentu ia menolak patuh.
Hari pertamanya langsung diisi
dengan penggerebekan di berbagai tempat usaha Durva. Bukan dalam rangka mengakhiri
kejahatan, melainkan demi memperoleh lebih banyak setoran. Tapi tanpa
sepengetahuan Simmba, Durva memliki bisnis rahasia berupa jual-beli narkoba
yang menggunakan anak-anak sebagai kurir.
Sekitar satu setengah jam
pertamanya murni komedi konyol over-the-top
yang didominasi aksi eksentrik si tokoh utama. Sulit bersimpati pada tindak
korupsi kelewat batas Simmba, namun sulit untuk membencinya berkat penampilan
komikal kaya energi dari Ranveer Singh, yang cukup kuat menggerakkan filmnya,
bahkan ketika plotnya begitu berantakan pula tak terfokus. Sangat tidak
terarah, saya berulang kali bertanya pada diri sendiri, “Apa yang film ini
incar?”. Farce? Satir? Sajian kriminal? Atau (yang paling lemah) romansa?
Simmba terpikat pada Shagun (Sara
Ali Khan), gadis cantik pemilik usaha katering di depan kantor polisi. Usaha
Simmba memikat Shagun memang menghibur dan menghasilkan beberapa kejenakaan,
semisal ketika ia merekayasa ancaman palsu agar bisa mengunjungi rumah sang
gadis. Tapi tak ada dampak nyata bagi alur atau pembangunan karakter. Faktanya,
setelah jatuh ke pelukan Simmba, Shagun menghilang sampai jelang klimaks. Ada
pula sekuen musikal canggung diisi lanskap indah plus momen manis yang gagal
berbaur dengan tone filmnya. Setelah
rentetan absurditas, aneh rasanya, menyaksikan Simmba berlagak lembut sambil
bermesraan di padang rumput.
Kemudian datanglah titik balik
dramatis, yang bukan cuma mengubah arah film jadi lebih tertata, juga
karakternya. Titik tersebut sangat kuat, perubahan 180 derajat yang terjadi
pada Simmba pun bisa dipahami. Tiba-tiba saya mendukungnya, sementara Ranveer
Singh memperlihatkan mengapa ia termasuk jagoan aksi kelas satu, yang nampak
meyakinkan kala sambil duduk, ia memukul lawannya hingga terpelanting. Ditambah
lagi, pengarahan laga Rohit Shetty (Singham,
Chennai Express, Dilwale) efektif memaksimalkan pesona Ranveer.
Sejak titik balik tersebut,
skenario buatan Yunus Sajawal dan Sajid Samji mulai menyelipkan elemen sensitif
perihal isu pemerkosaan. Presentasinya sering terasa bak PSA, namun relevansi
dan kepentingannya tak bisa ditampik. Mengetahui bahwa kasus pemerkosaan di
India mencapai ratusan ribu dalam beberapa tahun terakhir, rasanya kesubtilan
memang tak diperlukan guna memancing perubahan. Satu jam terakhirnya memprovokasi
sekaligus menampar kesadaran penonton, bahwa apabila “rape culture” dibiarkan, atau lebih parah lagi dibenarkan, wanita
takkan pernah merasa aman. Dan ketika polisi sampai politisi terus
menyalahgunakan kekuatan mereka, apa yang bisa dilakukan selain bertindak
tegas?
Serupa momen-momen yang hadir
sebelumnya, adegan aksi yang menjadi sajian pamungkas Simmba digarap solid. Sebuah perkelahian (tag team) hard-hitting yang
sejatinya adalah bentuk “kecurangan” karena menggunakan elemen deus-ex-machina untuk menyelesaikan
persoalan sekaligus sebagai fan service,
namun dapat dimaafkan berkat pengemasan keren dari Rohit Shetty. Andai fokusnya
didapatkan lebih awal, Simmba
berpotensi menjadi mahakarya penting nan berani yang tak perlu memaksa
penontonnya duduk menyaksikan 90 menit pertama yang berantakan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar