ANAK HOKI (2019)
Rasyidharry
Februari 23, 2019
Ally Alexandra
,
Chris Laurent
,
Comedy
,
Drama
,
Ginanti Rona
,
Indonesian Film
,
Jelek
,
Kenny Austin
,
Lolox
,
Maia Estianty
,
Nadine Waworuntu
,
REVIEW
,
Tamara Geraldine
14 komentar
Kalimat penutup di review saya untuk A Man Called Ahok berbunyi, “.....tokoh seperti Basuki Tjahaja
Purnama layak diberi film yang lebih dari sebatas tidak buruk”. Mungkin suatu
hari film tersebut akan datang, tapi pastinya bukan berjudul Anak Hoki, yang kualitasnya tak
berlebihan bila disebut memalukan. Patut dicatat, bahwa naskah buatan Ally
Alexandra, yang sebelum ini malang melintang menulis skenario sinetron,
menuturkan cerita fiksi.
Meski fiksi, penggunaan sosok nyata
sebagai basis karakter mewajibkan penulis memahami dan menghargai semangat
serta jiwa sosok tersebut. Saya berani bertaruh jika anda menyebut Basuki
Tjahaja Purnama sebagai manusia sempurna, salah satu
pihak yang paling keras menyanggah adalah BTP sendiri. Tapi di sini, Ahok
(Kenny Austin) seolah tak punya kekurangan, rajin mengumbar petuah yang selalu
jadi pemecah masalah. Kalau film ini berjudul Mario Teguh Golden Ways, saya akan maklum.
Anak Hoki dibuka lewat perkenalan pada Ahok kecil dan tiga
sahabatnya, menyiratkan bahwa kisahnya bakal menyoroti masa kecil Ahok. Tapi
tidak. Alurnya melompat ke beberapa tahun berselang, saat Ahok merantau ke
Jakarta guna menempuh pendidikan SMA, kemudian kuliah. Lalu apa esensi
mengenalkan persahabatan empat bocah tadi? Di pertengahan durasi, Ahok mendapati
salah satu sahabatnya meninggal akibat sakit. Filmnya lalu menyuguhkan narasi
berbunyi, “Selamat jalan sahabat...”, berusaha mengaduk emosi memakai kisah
persahabatan yang bahkan tak pernah kita saksikan.
Naskahnya juga coba menciptakan
paralel tak berguna antara sahabat masa kecil dan masa kini Ahok. Karena
ternyata, di Jakarta, ia pun mempunyai dua kawan laki-laki serta satu perempuan
(SUNGGUH KEBETULAN YANG LUAR BINASA!). Ada Bayu (Chris Laurent) si playboy, Daniel (Lolox) yang diam-diam
mengambil jurusan memasak meski sang ibu (Tamara Geraldine) ingin dia menjadi pastor, dan Eva (Nadine Waworuntu) si gadis broken home yang merupakan pujaan hati Bayu.
Harus diakui, paruh pertama Anak Hoki berjalan cukup lancar sebagai komedi-drama
remaja yang melibatkan berbagai elemen familiar, sebutlah romansa dan gesekan
anak dengan orang tua seputar pilihan hidup. Tidak dipaparkan mendalam pun
tanpa inovasi, namun setidaknya menghibur berkat bumbu komedi. Setelah sekian
lama, Lolox akhirnya mampu memancing tawa saya, sebab kali ini ia bisa
membedakan mana “lucu”, mana “menyebalkan”. Sedangkan Tamara Geraldine, walau
memperoleh porsi minim, terbukti masih piawai berperilaku eksentrik.
Hingga tiba waktunya melangkah
menuju ranah lebih serius, dan kecanggungan penceritaannya menguat, memancing
kesan cringey tak tertahankan. Bahkan
tersimpan twist menggelikan mengenai
karakter Amora Rey (Maia Estianty), musisi idola Eva. Nama Amora pertama
terdengar ketika Eva menyanyikan lagunya, lalu terkejut mengetahui Bayu pun mengenal
sang penyanyi. Berdasarkan keterkejutan Eva, berarti Amora bukan bintang besar,
setidaknya bukan dari industri arus utama, benar begitu? Keliru! Karena
berikutnya, kita melihat para penggemar dan wartawan berebut masuk ke ruang press conference sembari mengelu-elukan
namanya, dalam sebuah adegan yang luar biasa cringey hingga membuat saya di kursi penonton ikut malu.
Anak Hoki memang dipenuhi pemandangan canggung akibat
pengadeganan minim kompetensi. Mengejutkan, mengingat film ini dibuat oleh Ginanti
Rona, yang mengawali karir di posisi asisten sutradara dalam judul-judul macam Rumah Dara dan dwilogi The Raid, sebelum menjalani debut
penyutradaraan lewat Midnight Show,
sebuah slasher sarat unsur giallo. Kini saya makin khawatir
terhadap nasib Lukisan Ratu Kidul (Well, it was produced by Lord KKD, so....).
Mendekati akhir, konflik yang tak
pernah menjauhi tema kesalahpahaman cheesy
makin dipaksa masuk. Bisa ditebak, segala problematika itu tuntas sekalinya
Ahok melontarkan kalimat bijak. Ahok dengan semangat membara yang dicintai
banyak orang tak nampak, digantikan remaja asing pemalu, kaku, pula tertutup,
yang dibawakan dengan membosankan oleh Kenny Austin. Mungkin bagi Kenny,
satu-satunya ciri penting Ahok hanya postur bungkuknya. Hal itu turut
menggambarkan keseluruhan Anak Hoki,
yang hanya menggambarkan fisik Ahok, namun tidak jiwanya.
“Tapi film ini kan fiksi dan tak
sekalipun menyebut nama Basuki Tjahaja Purnama, jadi wajar kalau punya
karakterisasi berbeda.” Andai ada yang mengajukan pernyataan serupa, yakinlah
bahwa kasta orang itu setinggi Tuan Besar Dheeraj Kalwani.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
14 komentar :
Comment Page:sepertinya anda agak berbaik hati kali ini.
😁😁😁
tugas negara lagi ya mas
Hmmmmmmmmmm.... Wtf
apakah film ini dibuat oleh geng kelelawar dengan maksud sarkasme bagi para fanatik ahok? haha
@Teguh Nggak terlalu baik ah, emang agak terhibur sama beberapa komedi di awal. Karena fiksi ya boleh deh.
@Faisal Simply dari orang-orang aji mumpung yang cuma peduli duit tanpa kasih respect, dari kubu mana pun itu :)
Mas Rasyid,
Review 11:11 donk, wkwkwkwk..
Besok mau nuntun nih, 2 dari 3 film, antara 11:11, foxtrot, atau Ahok..
Penasaran sama Isabelle, tp Mas Rasyid nggk review..
sekali2 bikin list film yg tidak harus nonton minggu ini dong mas.. contohnya film yg direview ini :D
11:11 nggak jauh sama Kain Kafan Hitam. Hindari! 😂
Nulis review felem jelek aja menderita, bikin gituan dobel dong penderitaan :(
Tapi keluarga Ahok kayaknya ikut promosiin juga bang hehehe
Adiknya kan main sekaligus produser. Pertanyaannya, Ahok sendiri kok nggak dateng premier? Ada apa gerangan? Hehe
Ahok nya asyik jalan2 bang hahaha
Hahaha...bisa aee..bung rasyid
Hehe baguslah, he deserves that.
@Faisal Fais:
Kenyataan memang pahit. Kalau memang filmnya jelek ya sudah. Terima saja. Jangan lantas suka menuduh/fitnah/bikin hoax.
Kebodohan ada baiknya dinikmati sendiri. Ga peru di share dan di pertontonkan.
Posting Komentar