DESTROYER (2018)

3 komentar
Destroyer berpijak pada premis tentang polisi yang terluka jiwa serta raganya, dan mesti menghadapi kembali peristiwa traumatis yang mengakibatkan luka tersebut. Sebuah premis kuat, namun berakhir sebagai jalinan cerita tipis yang berlari tanpa tujuan selama dua jam dikarenakan duet penulis naskah Phil Hay-Matt Manfredi (Æon Flux, Clash of the Titans, The Invitation) gagal mengembangkannya.

Polisi tersebut adalah anggota LAPD bernama Erin Bell (Nicole Kidman). Kita pertama melihatnya ketika ia terbangun di mobil dengan tubuh kering, rambut berantakan, dan mata merah. Kondisi menyedihkan itu dipicu misi beberapa tahun lalu, sewaktu Erin dan Chris (Sebastian Stan) menjalankan misi penyamaran dalam sebuah gang yang dipimpin Silas (Toby Kebbell). Misi tersebut berujung tragis, dan kini Erin digergoti kenangan pahit yang mengubahnya seperti mayat hidup.

Benar bahwa trauma berujung depresi dapat memicu “kerusakan” tersebut, tapi sulit menampik kesan jika transformasi ekstrim Kidman dilakukan semata agar Destroyer tampak edgy, sekaligus memperbesar peluang sang aktris berjaya di musim penghargaan. Filmnya sendiri tak cukup gila mendobrak banyak batasan demi menghentak penonton, pula kurang mencengkeram perihal proses penelusuran kehidupan suram protagonisnya.

Demi meningkatkan penderitaan si tokoh utama, filmnya menambah bumbu permasalahan berupa keretakan hubungan Erin dengan puterinya, remaja 16 tahun bernama Shelby (Jade Pettyjohn). Shelby membenci sang ibu, senantiasa memberontak, juga memacari seorang laki-laki dewasa. Tapi unsur ini cuma ditampilkan sesekali sehingga urung menghasilkan dampak sebagaimana mestinya. Patut disayangkan, sebab dari hubungan ibu-anak inilah Destroyer memperoleh momen terkuatnya.

Momen itu terjadi jelang akhir saat Erin dan Shelby bertemu di cafe. Seperti biasa, pertemuan itu diawali obrolan kurang ramah, sebelum Shelby akhirnya melunak dan bercerita tentang satu dari sedikit kenangan tentang Erin, yang bisa jadi hanya sebuah false memory (kebenaran baru diungkap di ending). Rekoleksi memori tersebut jadi simbolisme apik terkait kerenggangan hubungan keduanya, juga penggambaran subtil mengenai bagaimana bawah sadar Shelby melihat sang ibu.

Tapi menu utamanya tetaplah investigasi Erin akan sebuah kasus pembunuhan yang memaksanya bersinggungan lagi dengan komplotan kriminal yang sempat ia susupi. Investigasinya lemah, sebab melalui flashback yang rutin mengisi sela-sela latar masa kini, kita sudah tahu siapa sosok yang Erin cari, intensinya kembali “menyapa” Erin, dan lain sebagainya.

Bagi penonton, tidak lagi ada misteri menarik tersisa untuk dipecahkan atau pertanyaan esensial yang perlu diajukan. Tersimpan twist mengejutkan di paruh akhir yang cukup cerdik memanfaatkan struktur non-linier alurnya, walau di sisi lain, kejutan itu turut menegaskan bahwa Destroyer sebatas cerita soal usaha seorang polisi kacau membunuh sesosok kriminal dari masa lalunya. Cerita tipis yang tak perlu diulur sampai dua jam, pun sudah didaur ulang ratusan kali dalam b-movie ringan bertema balas dendam. Keputusan menerapkan gaya serius cenderung kelam mewajibkan film ini menghadirkan pendalaman mumpuni, yang mana gagal total dilakukan.

Karena akhirnya, proses apa yang Destroyer berusaha paparkan tidak pernah jelas. Melihat beberapa momen di penghujung durasi, mungkin naskahnya ingin merangkum perjuangan seorang ibu sekaligus gambaran sulitnya mengangkat beban yang menghantui selama bertahun-tahun (aksi para remaja bermain skateboard di belakang mobil Erin bertindak sebagai metafora). Hanya satu yang bisa saya pastikan, tidak satu pun elemen di atas berhasil melahirkan penutup yang memiliki dampak.

Aspek yang konsisten menjaga atensi saya ialah penampilan Nicole Kidman. Gelagatnya meyakinkan sebagai wanita di titik darah penghabisan. Sutradara Karyn Kusama (Æon Flux, Jennifer’s Body, The Invitation) pun begitu bergantung kepada Kidman, tampak dari seringnya ia menempatkan kamera sedekat mungkin dari wajah sang aktris. Harapannya, akting (plus riasan ekstrim) Kidman mampu menggiring penonton merasakan penderitaan karakternya. Mungkin ketergantungan Kusama didorong kesadaran kalau ia menerima materi naskah yang lemah.

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Ga bakal review suspiria ya mas rasyid?

Febri mengatakan...

Kok aku aneh ya ngeliat kidman didandanin kaya gitu wkwkw. Mas pantes gasih Emilly Blunt kemaren menang SAG suporting aktris? Diluar dugaan banget.

Rasyidharry mengatakan...

Pantes kok. Malah sebenernya, mau itu peran di Mary Poppins atau A Quiet Place, pantes masuk nominasi Oscar (kalau menang mungkin belum ya).