DESTROYER (2018)
Rasyidharry
Februari 02, 2019
Crime
,
Drama
,
Jade Pettyjohn
,
Karyn Kusama
,
Kurang
,
Matt Manfredi
,
Nicole Kidman
,
Phil Hay
,
REVIEW
,
Sebastian Stan
,
Toby Kebbell
3 komentar
Destroyer berpijak pada premis tentang polisi yang terluka jiwa
serta raganya, dan mesti menghadapi kembali peristiwa traumatis yang
mengakibatkan luka tersebut. Sebuah premis kuat, namun berakhir sebagai jalinan
cerita tipis yang berlari tanpa tujuan selama dua jam dikarenakan duet penulis
naskah Phil Hay-Matt Manfredi (Æon Flux, Clash of the Titans, The Invitation) gagal mengembangkannya.
Polisi tersebut adalah anggota LAPD
bernama Erin Bell (Nicole Kidman). Kita pertama melihatnya ketika ia terbangun
di mobil dengan tubuh kering, rambut berantakan, dan mata merah. Kondisi
menyedihkan itu dipicu misi beberapa tahun lalu, sewaktu Erin dan Chris
(Sebastian Stan) menjalankan misi penyamaran dalam sebuah gang yang dipimpin
Silas (Toby Kebbell). Misi tersebut berujung tragis, dan kini Erin digergoti
kenangan pahit yang mengubahnya seperti mayat hidup.
Benar bahwa trauma berujung depresi
dapat memicu “kerusakan” tersebut, tapi sulit menampik kesan jika transformasi
ekstrim Kidman dilakukan semata agar Destroyer
tampak edgy, sekaligus memperbesar
peluang sang aktris berjaya di musim penghargaan. Filmnya sendiri tak cukup gila
mendobrak banyak batasan demi menghentak penonton, pula kurang mencengkeram
perihal proses penelusuran kehidupan suram protagonisnya.
Demi meningkatkan penderitaan si
tokoh utama, filmnya menambah bumbu permasalahan berupa keretakan hubungan Erin
dengan puterinya, remaja 16 tahun bernama Shelby (Jade Pettyjohn). Shelby
membenci sang ibu, senantiasa memberontak, juga memacari seorang laki-laki
dewasa. Tapi unsur ini cuma ditampilkan sesekali sehingga urung menghasilkan
dampak sebagaimana mestinya. Patut disayangkan, sebab dari hubungan ibu-anak inilah
Destroyer memperoleh momen
terkuatnya.
Momen itu terjadi jelang akhir saat
Erin dan Shelby bertemu di cafe. Seperti biasa, pertemuan itu diawali obrolan
kurang ramah, sebelum Shelby akhirnya melunak dan bercerita tentang satu dari
sedikit kenangan tentang Erin, yang bisa jadi hanya sebuah false memory (kebenaran baru diungkap di ending). Rekoleksi memori tersebut jadi simbolisme apik terkait
kerenggangan hubungan keduanya, juga penggambaran subtil mengenai bagaimana
bawah sadar Shelby melihat sang ibu.
Tapi menu utamanya tetaplah
investigasi Erin akan sebuah kasus pembunuhan yang memaksanya bersinggungan lagi
dengan komplotan kriminal yang sempat ia susupi. Investigasinya lemah, sebab
melalui flashback yang rutin mengisi
sela-sela latar masa kini, kita sudah tahu siapa sosok yang Erin cari,
intensinya kembali “menyapa” Erin, dan lain sebagainya.
Bagi penonton, tidak lagi ada
misteri menarik tersisa untuk dipecahkan atau pertanyaan esensial yang perlu
diajukan. Tersimpan twist mengejutkan
di paruh akhir yang cukup cerdik memanfaatkan struktur non-linier alurnya,
walau di sisi lain, kejutan itu turut menegaskan bahwa Destroyer sebatas cerita soal usaha seorang polisi kacau membunuh
sesosok kriminal dari masa lalunya. Cerita tipis yang tak perlu diulur sampai
dua jam, pun sudah didaur ulang ratusan kali dalam b-movie ringan bertema balas dendam. Keputusan menerapkan gaya
serius cenderung kelam mewajibkan film ini menghadirkan pendalaman mumpuni, yang
mana gagal total dilakukan.
Karena akhirnya, proses apa yang Destroyer berusaha paparkan tidak pernah
jelas. Melihat beberapa momen di penghujung durasi, mungkin naskahnya ingin
merangkum perjuangan seorang ibu sekaligus gambaran sulitnya mengangkat beban
yang menghantui selama bertahun-tahun (aksi para remaja bermain skateboard di
belakang mobil Erin bertindak sebagai metafora). Hanya satu yang bisa saya
pastikan, tidak satu pun elemen di atas berhasil melahirkan penutup yang
memiliki dampak.
Aspek yang konsisten menjaga atensi
saya ialah penampilan Nicole Kidman. Gelagatnya meyakinkan sebagai wanita di
titik darah penghabisan. Sutradara Karyn Kusama (Æon Flux, Jennifer’s Body, The Invitation) pun begitu bergantung
kepada Kidman, tampak dari seringnya ia menempatkan kamera sedekat mungkin dari
wajah sang aktris. Harapannya, akting (plus riasan ekstrim) Kidman mampu
menggiring penonton merasakan penderitaan karakternya. Mungkin ketergantungan
Kusama didorong kesadaran kalau ia menerima materi naskah yang lemah.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Ga bakal review suspiria ya mas rasyid?
Kok aku aneh ya ngeliat kidman didandanin kaya gitu wkwkw. Mas pantes gasih Emilly Blunt kemaren menang SAG suporting aktris? Diluar dugaan banget.
Pantes kok. Malah sebenernya, mau itu peran di Mary Poppins atau A Quiet Place, pantes masuk nominasi Oscar (kalau menang mungkin belum ya).
Posting Komentar