LAUNDRY SHOW (2019)

4 komentar
Laundry Show mungkin bukan tontonan yang sangat ampuh menyetir emosi, tapi naskah buatan Upi (My Stupid Boss, Sweet 20, Asal Kau Bahagia) bersama Uki Lukas yang juga bertindak selaku penulis novel berjudul sama yang dijadikan sumber adaptasi, terbukti cukup baik dalam upaya membuat penonton memahami seluruh problematika karakternya, sambil secara rapi mengeksplorasi sekaligus menyatukan sejumlah elemen cerita yang tak bisa dibilang sedikit.

Pada dasarnya, Laundry Show adalah cerita tentang Uki (Boy William), seorang pemuda yang lelah menjadi bawahan, kemudian memilih keluar dari pekerjaannya demi membuka usaha laundry. Tapi ini pun sebuah drama keluarga. Uki memilih laundry sebagai bisnis karena kenangan masa kecil ketika ia hidup miskin bersama sang ibu yang setiap hari mencuci seragam sekolahnya. Sosok ibu memang bisa menghilangkan semua jenis noda, baik yang mengotori baju maupun batin.

Berkat memori itu pula, Uki begitu ahli mencuci segala jenis kotoran. Tapi rupanya membersihkan hidup supaya tampak cemerlang tidak segampang pakaian. Itu terjadi meski Uki telah menyiapkan rencana detail bagi bisnisnya, yang dirangkum lewat satu sekuen berisi penjabaran mekanisme cara kerja laundry Halilintar miliknya. Sekuen tersebut membuktikan kesungguhan naskahnya untuk bertutur secara sistematis ketimbang menempuh jalur instan. Dan bukankah kesuksesan wirausaha pun urung didapat secara instan?

Pernah dibuat kesal oleh bos sewaktu bekerja kantoran, Uki mulai menyadari bahwa bos bukanlah posisi ringan. Mengontrol dan memerintah karyawan dengan semua tingkah polah mereka, lebih sulit ketimbang dikontrol dan diperintah. Laundry Show tak ubahnya proses Uki mempelajari kalau apa pun pekerjaan dan posisinya, masalah akan setia mengikuti. Tidak ada rute semudah kata-kata mutiara dari motivator Aryo Keukueh (Hifdzi Khoir) yang selama ini Uki jadikan panutan.

Jalan terjal Uki digambarkan melalui pendekatan komedik tanpa perlu melemahkan inti pesan, bahwa seringkali, pangkal permasalahan memang terletak di bawahan. Laundry Show juga sempat menyindir pencari kerja “bermental tempe”, yang mengingatkan kita, jika salah satu penyebab utama mengapa pengangguran masih banyak bertebaran adalah diri mereka sendiri, bukan perusahaan maupun pemerintah.

Humornya mungkin belum mencapai titik yang sanggup membuat sakit perut karena tawa lepas bertubi-tubi, tapi jajaran pemainnya piawai menciptakan atmosfer menyenangkan melalui barisan tokoh multikultural. Khususnya Tissa Biani sebagai resepsionis judes dengan cara bicara jenaka, yang keunikannya mengingatkan pada perannya di sinetron Tukang Ojek Pengkolan. Semoga Tissa mendapat banyak peran komedik lagi di proyek layar lebarnya. This girl has talent. Sementara itu, persepsi saya kepada Boy William akhirnya berubah, tatkala sang aktor berkenan menjauh dari tipikal karakter peranannya, yakni sosok pria tampan kharismatik yang seringkali (sok) asyik. Uki merupakan orang biasa dengan masalah serta perasaan yang terasa begitu dekat, dan penampilan Boy membuat kedekatan itu semakin nyata.

Masalah paling kompleks bagi Uki tiba ketika Agustina (Gisella Anastasia) membuka laundry tepat di seberang, yang bersenjatakan mesin cuci canggih dari luar negeri, karyawan yang jauh lebih cantik dan tampan, pula atmosfer ceria yang membuat pengunjung bahagia. Bahkan sempat muncul adegan musikal sebagai penggambaran pelayanan kelas satu yang diberikan laundry milik Agustina. Sewaktu banyak momen musikal film Indonesia berujung canggung, tidak demikian di sini berkat pengarahan tepat sutradara Rizki Balki (Ananta, A: Aku, Benci, dan Cinta).

Konflik Uki-Agustina (ingat, bukan Okie Agustina) menghasilkan battle of sexes, yang sekali lagi menunjukkan kapasitas naskahnya membangun pondasi solid. Kedua belah pihak menyimpan alasan kuat untuk memenangkan “perlombaan”. Uki sudah mengorbankan semua hartanya, sedangkan Agustina berusaha membuktikan diri pada sang ayah (Willy Dozan) yang menentang keputusannya berbisnis laundry. Alhasil, walau isu gendernya tak terlalu menyengat dan elemen romansanya kurang piawai mencuri hati, tensi di antara mereka mudah dipahami sehingga konfliknya berjalan mulus.

Keluhan terbesar saya bagi Laundry Show adalah presentasi yang kurang seimbang, di mana profesi bawahan seolah digambarkan sebagai suatu pilihan hidup yang amat rendah. Tapi selain itu, Laundry Show merupakan sajian menyenangkan bersenjatakan penulisan solid yang memperbesar keyakinan saya terhadap para penulis naskah baru negeri ini.

4 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Mas rasyid,
Hari ini nuntun Satu Suro yang mengecewakan dan Laundry Show (LS) yang menurut gw bagus sih, hehehehehe..

LS sy bilang bagus karena ada lucu nya, ada mewek'nya, drama'nya juga nggk drama versi ABG FTV, wkwkwkkwk..
Boy William beneran pas peran'in "Koko"..

Pointnya, film ini bener² menginspirasi buat saya, kemungkinan besar akhir bulan ini saya resign dari kantor dan akan jadi bosss.. semoga bisa kaya raya dan hidup bahagia, hahahhaha..

Beneran, ini filmnya bagus.. tp sayangnya penontonnya dikit..

Unknown mengatakan...

Oia Bang Rasyid,

Seharusnya LS tayang buat film lebaran yak? Nuansa puasa dan lebaran'nya dapet sih.. seharusnya "pas" bila tayang pas lebaran 2019..

Rasyidharry mengatakan...

Amin. Good luck! Semoga karyawannya nggak segebleg punya uki haha

Rasyidharry mengatakan...

Kayaknya sih emang bukan diniatin lebaran/puasa. Itu murni buat kasih lihat elemen multikultural aja.