LUKA CHUPPI (2019)
Rasyidharry
Maret 05, 2019
Aparshakti Khurana
,
Comed
,
Hindi Movie
,
Kartik Aaryan
,
Kriti Sanon
,
Laxman Utekar
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Rohan Shankar
,
Romance
,
Vinay Pathak
Tidak ada komentar
Menjelang pemilu, kelompok agama
radikal yang terikat sebuah partai politik, merazia muda-mudi yang bermesraan
di muka umum, juga pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, guna
menegakkan hukum agama serta budaya bangsa yang (katanya) menjunjung tinggi
sopan santun. Deskripsi di atas bukan tentang Indonesia, melainkan kondisi
dalam Luka Chuppi, komedi-romantis
yang memperlihatkan bahwa kala pola pikir tertutup dipakai mengolah agama dan
politik, fanatisme bodoh selalu jadi produk, di mana pun itu terjadi.
Protagonis kita adalah Guddu
(Kartik Aaryan) dan Rashmi (Kriti Sanon), rekan kerja di stasiun televisi lokal
di Mathura. Guddu merupakan reporter berpengalaman, sementara Rashmi, puteri
tunggal Vishnu Trivedi (Vinay Pathak) sang pemimpin partai pelaku persekusi
terhadap pasangan yang tinggal bersama, baru memulai magang di sana. Tidak
makan waktu lama sampai cinta bersemi, meski harus berpacaran diam-diam, sebab
di mata pubik, berkencan itu memalukan, sedangkan memakai agama sebagai senjata
politik merupakan perjuangan suci.
Naskah buatan Rohan Shankar (Lalbaugchi Rani) tepat sasaran dalam
mengkritisi bagaimana masyarakat (diam-diam) memandang pernikahan sebagai
lisensi untuk berbuat sesuka hati, alih-alih peristiwa sakral saat dua hati
dipersatukan. Didorong perspektif umum tersebut dan demi menghindari masalah,
Guddu melamar Rashmi. Menghabiskan masa kuliah di kota besar seperti Delhi
rupanya membuka mata Rashmi. Sang gadis menolak menikah sebelum benar-benar
saling kenal. Karena itulah ia mengajukan usul mengejutkan: hidup bersama.
Dibantu sang sahabat, Abbas (Aparshakti
Khurana), mereka melakukan perjalanan bisnis selama 20 hari, sebagai kedok
untuk mencoba tinggal bersama. Luka
Chuppi sempat terjatuh ke arah penuturan kacau kala tiba-tiba
memperkenalkan keluarga besar Guddu lengkap dengan segala permasalahannya, termasuk sang kakak yang khawatir “dilangkahi”
Guddu. Beruntung, momentum berhasil didapatkan lagi begitu fokus dikembalikan
pada romansa dua karakter utama.
Sebab chemistry Kartik-Kriti (Kriti Sanon's beauty is beyond measure!) begitu kuat, bahkan di montase pengisi waktu
pun, keduanya nampak bagai pasangan yang tengah dimabuk asmara dan hidup
bahagia berkat satu sama lain. Piawai pula mereka menangani komedi, yang mana
salah satu aspek terkuat Luka Chuppi.
Didorong kepedulian besar kepada Guddu dan Rashmi, saya tak ingin melihat
keduanya terlibat masalah apalagi berpisah. Tapi Rohan Shankar tahu, tanpa konflik,
126 menit durasinya bakal terasa hampa. Akhirnya jalan tengah diambil, di mana
konflik dipresentasikan secara komedik.
Humornya yang berpusat pada komedi
situasi berhasil tampil jenaka dan selalu punya cara menyelipkan sindiran tajam,
semisal saat para anggota partai berjanji akan mensejahterakan
masyarakat.....asalkan mereka beriman. Filmnya pun bukan semata komedi-romantis
menghibur, pula olok-olok berani. Walau di beberapa kesempatan leluconnya
sedikit problematik ketika membahas perihal perselingkuhan. Beberapa karakter
menyebut bahwa pria berselingkuh karena kebutuhannya kurang terpenuhi. Hal itu
kontras dengan usaha filmnya merobohkan stigma peran gender dengan membuat ibu
Guddu mengucapkan pesan empowerment
untuk Rashmi, bahwa wanita tidak melulu bertanggung jawab atas pekerjaan rumah
tangga.
Luka Chuppi tidak hadir untuk menolak konsep pernikahan. Sebaliknya,
penonton diajak memahami betapa pernikahan bukanlah permainan, sehingga perlu
mengenal betul siapa yang akan hidup bersama kita hingga akhir hayat. Sayang,
fase tatkala Guddu dan Rashmi tinggal di satu rumah urung menggali proses
saling kenal tersebut secara mendalam. Kita hanya disuguhi bagian-bagian manis,
sementara sisanya, dipenuhi upaya menyembunyikan pernikahan palsu mereka.
Didahului klimaks menegangkan yang
membuktikan kebolehan sutradara Laxman Utekar (Lalbaugchi Rani, Tapaal) memainkan intensitas, konklusinya terasa
seperti simplifikasi untuk permasalahan rumit, meski keputusan naskahnya
memilih jalan tengah sebagai penutup kisah bisa dipahami, bahkan layak
dikagumi. Ketimbang berperang sembari memupuk kebencian, film ini memilih
perdamaian dem manfaat jangka panjang yang lebih besar. Biarpun tak sekuat seperti
yang diharapkan dalam presentasi soal isu pernikahan, Luka Chuppi sukses menjadi hiburan yang memberikan senyum tanpa
henti sepanjang durasi.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar