DILAN 1991 (2019)

40 komentar
Alasan materi promosi Dilan 1991 menjual filmnya sebagai “fotokopi” Dilan 1990, yang murni bergantung pada keeksentrikan si tokoh tituler serta rayuan unik (atau aneh?) miliknya, bisa dimengerti. Formula tersebut lebih dari sekadar sukses. Adaptasi novel karya Pidi Baiq itu pantas disebut fenomena budaya populer. Kalimat-kalimat maupun adegannya melahirkan jutaan meme sekaligus menjadi film lokal terlaris kedua sepanjang masa. Saya yakin Dilan 1991 bakal mengulang, bahkan bisa melebihi kesuksesan itu. Silahkan tengok jumlah penonton hari pertama yang akan dengan gampang menghempaskan rekor Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 (313 ribu).

Apabila anda tak tahan dengan pendekatan film pertamanya, mudah untuk memandang rendah apa yang trailer-nya tampilkan. Bahkan saya yang mampu menoleransi puisi gombal Dilan, merasa pesimis dan memasang ekspektasi rendah. Dilan 1991 dibuka lewat pemandangan yang sesuai ekspektasi tersebut. Dilan (Iqbaal Ramadhan) dan Milea (Vanesha Prescilla) yang telah resmi berpacaran, sedang berboncengan di bawah guyuran hujan. Tentu saja sepanjang perjalanan, Dilan sibuk membombardir telinga sang kekasih dengan baris-baris kalimat ajaib yang membuat saya merinding geli.

Sampai beberapa lama, naskah garapan Titien Wattimena (Salawaku, Dilan 1990, Aruna & Lidahnya) dan Pidi Baiq (juga merangkap sutradara) masih belum beranjak dari jalur tersebut. Walau cukup melelahkan, saya akui gestur “ciuman tangan” Dilan-Milea akan melahirkan hal ikonik baru di kalangan remaja. Tapi begitu konflik bermunculan, Dilan 1991 memperlihatkan wajah aslinya sebagai romansa remaja dengan hati.

Konfliknya tidak baru maupun kompleks, masih mondar-mandir seputar dua muda-mudi dimabuk cinta yang berusaha mempertahankan hubungan mereka. Kini Milea, yang sudah merasa mempunyai hak bicara sebagai kekasih, mulai berani vokal mengutarakan ketidaksukaan perihal bergabungnya Dilan dalam geng motor. Milea khawatir, suatu hari aktivitas itu bakal menempatkan Dilan di tengah situasi berbahaya. Kekhawatiran yang akhirnya terbukti tepat.

Masalah di atas sederhana, namun relatable. Keinginan Milea masuk akal, tapi Dilan dengan hatinya yang sekeras batu menolak dikekang. Tersimpan potensi yang sayangnya urung naskahnya jamah, yakni soal penggalian sisi personal Dilan. Menyelami isi hati terdalamnya, mengeksplorasi dinamika psikis atau rasanya, bisa membuat penonton memahami Dilan dengan sendirinya, daripada harus diberitahu secara verbal oleh dialog-dialog.

Dengan begitu, Dilan bukan saja sesosok mesin puisi, tapi manusia sungguhan. Walau belum maksimal, setidaknya kini kita dapat sekilas melihatnya, ketika tak semua interaksi Dilan-Milea diisi buaian gombal. Adegan Milea menyuapi roti menunjukkan wajah percintaan yang lebih membumi sekaligus memberi Iqbaal kesempatan menampilkan akting natural sesuai bakatnya. Beruntung bagi Vanesha, karakterisasi Milea memfasilitasi kapasitas akting dramatiknya. Bersenjatakan tangisan yang ampuh menusuk hati, bahkan kalimat klise macam “Aku sayang kamu, Dilan” terdengar menyentuh.

Perjalanan Milea menciptakan drama emosional bagi penonton turut dibantu kehadiran dua sosok wanita: Bunda Dilan (Ira Wibowo) dan Ibu Milea (Happy Salma). Bunda lebih aktif dan lantang, sedangkan Ibu penuh kelembutan. Keduanya saling melengkapi, sama-sama sosok wanita mengagumkan, dan senantiasa menebarkan kehangatan kasih sayang ibu tiap kali muncul di layar.

Faktor lain di balik peningkatan pesat bobot emosinya dibanding film pertama adalah makin apiknya pengarahan Pidi Baiq dan Fajar Bustomi (Jagoan Instan, Surat Kecil untuk Tuhan, Dilan 1990) dalam meramu momen menyentuh, meski anda takkan menemukan kesubtilan dari pengadeganan mereka. Sementara lagu-lagu seperti Rindu Sendiri dan Dulu Kita Masih SMA yang telah mengakar di benak penonton turut berkontribusi melahirkan suasana manis. Saya tak malu mengakui bahwa di beberapa kesempatan, termasuk montase saat Milea mengenang memori di Bandung (adegan “kenangan” dalam film adalah kelemahan saya), air mata nyaris mengalir.

Penceritaan Dilan 1991 tak sepenuhnya mulus. Progresi ceritanya disusun lewat gaya episodik dan durasi 121 menit jelas terlampau panjang. Banyak poin minim substansi, seperti kemunculan kembali Kang Adi (Refal Hady) hingga subplot tentang Pak Dedi (Ence Bagus) si guru genit bisa dibuang tanpa merusak intisari kisah. Saya pun terganggu oleh dekorasi bioskop, yang meski telah mendesain ulang loket penjualan tiket, secara keseluruhan nampak begitu kekinian. Sisanya saya tak bisa banyak berkomentar karena tak mengetahui detail kondisi Bandung awal 90-an.

Memiliki sederet kekurangan tadi, Dilan 1991 jelas jauh dari sempurna. Tapi apabila sebuah romansa mampu melahirkan protagonis likeable (khususnya Milea), bahkan mengaduk-aduk perasaan, bagi saya itu sudah cukup. Dilan 1991 merupakan sekuel memuaskan yang tampil superior dibanding pendahulunya dan menyulut ketertarikan akan film berikutnya: Milea.

PS: Terdapat post-credits scene, namun sangat pendek dan tak seberapa penting kecuali bagi penggemar berat.

40 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Bantu jawab mas.. mengenai eksploitasi karakter dilan.. mngkin itu akan terjawab di buku/film ketiga "milea" krn diambil dari sudut pandang dilan sendiri dan dijelaskan mengenai alasan2 dr keputusan dilan

Tapi dilan 1991 ini kok sy tdk tertarik nontòn?? Ditambah sdh baca novelnya Cringenya sdh tdk tertahankan😁

Unknown mengatakan...

Dari awal ke tengah film masih oke oke aja. Eh makin akhir malah ada and*vi . Cringe banget omg. Ga cocok. Agak nyesel nonton dilan 1991 . Kalo akhirnya ngeliat muka and*vi dan denger suaranya yang cringe itu -_-.


Terlepas dari itu ni film kyknya pas banget buat orang yang baperan 😂. Nangis saya dibuatnya

Unknown mengatakan...

Sumpah cringe. Gw pas adegan milea sama and*vi pelukan itu rasanya mau teriak di dalem ruangan bioskop.

Faaakkkkkkk so cringe dude. Ga cocok banget. Minimal cari pemerna yg lain kek jangan dia. So cringeeyyyyyyy.

Panca mengatakan...

Baru malam ini mau nonton.. :D
Lihat komen2nya diberbagai review pada ga suka sama and**i ya haha..

Mau nanya Diluar topik nih mas apa emang harus film2 lokal sekarang menampilkan youtuber?

Unknown mengatakan...

Pertama baca review mas Rasyid kirain BAGUS, ternyata ENCE BAGUS, hehehehe..

Gara² Dilan nih weekend ini gw nggk ada planning nonton bioskop, semua bioskop muter Dilan semua, hadeeeh..

Gimana mas komentarnya mengenai 800rebuh penonton hari pertama?

Walaupun gw nggk pengen nuntun Dilan, semoga film Indonesia makin maju, makin banyak penonton yang ngerame'in bioskop, jangan nunggu diputer di tipi..

Rasyidharry mengatakan...

Haha gak usah disensor. Emang Andovi terlalu jomplang buat jadi "lawan" Iqbaal. Cuma entah, mungkin di novel emang gitu. Mungkin perspektifnya, karena anak sekarang demen yutub, kalau ajak yutuber film jadi laris. Ternyata nggak, karena penontonnya emang beda. Tapi ajak yutuber main juga ada untungnya, karena bisa promo lewat channel mereka.

Rasyidharry mengatakan...

Oh, maksudnya "eksploitasi" di sini, film pertamanya kan emang cuma ngandelin Dilan dan kegombalannya. Nothing more. Nah di film kedua ini oke, karena kadar yang secukupnya

Rasyidharry mengatakan...

Hehe mau komentar apa soal angka itu selain luar biasa? Weekend ini paling udah tembus 3 juta, bahkan bisa di atas 3,5 juta. Selama stabil (dan kemungkinan besar gitu), tinggal tunggu waktu tembus 7 juta.

SALEMBAY mengatakan...

Dilan 1991 Cetak Rekor Box Office sepanjang masa 800 Ribu Penonton Saat Tayang Perdana
nih pendapatnya gimana bang rasyid?
seberapa sedihkah nih film sampe ane liat ada orang nagis pas udah nonton dilan?




Ahmad solikhin mengatakan...

Menurut mas rasyid lebih bagus mana dear nathan atau dilan?

Rasyidharry mengatakan...

Tuh kalo pendapat soal jumlah penonton udah di komentar atas. Selama filmnya dibuat dengan bener, selalu seneng kalau ada rekor pecah.
Well, soal seberapa sedih udah ditulis di review. Saya juga hampir nangis. Soal putus cinta, memori, dan (sedikit) elemen keluarga emang formula ampuh bikin baper.

Farhan mengatakan...

@Chan: Maksudnya "eksplorasi" kaliiii, kok eksploitasi wkwk

Rasyidharry mengatakan...

Dear Nathan > Dilan 1991 > Hello Salma > Dilan 1990

Anonim mengatakan...

Tai, daripada Andovi, lebih cocok kalo Rael VNGNC, atau sekalian aja Yanglek

Ilham Qodri mengatakan...

liat trailernya seolah lebih ancur dari film pertama karena trailernya jauh lebih cringeeee dari trailer film pertama, tapi ternyata lumayan ya, nonton ga ya

Andre dana mengatakan...

Klo dilan ini ada di kjadian nyata..gw rasa pacar2 nya si dilan ini pada selingkuh..gombal mulu jajan kagak..gombalan nya kyk minta di tabok..

Rasyidharry mengatakan...

Nyatanya ada kok cewek yang naksir parah sama cowok gituan haha. Jangankan bocah, dewasa aja ada

Rasyidharry mengatakan...

Karena pada tahu, yang dicari fans itu gombalannya. Jadi yang dijual lewat trailer itu

Unknown mengatakan...

Itulah kenapa dilan 1991 laku keras 😂. Di hari pertama tayang di jam 10:30 aja banyak anak sma, smp yang cabut nonton dilan dan pake seragam.studio penuhh. Dan gw denger suara nangis mereka karena saking heningnya wkwk

Gre mengatakan...

Selalu seneng kalau denger ada film Nasional yg sukses, apalagi pegang rekor Ter dihari pertama pemutaran, rejekinya Dilan 1991. Elemen memory dan scene keluarga memang paling bikin baper disini, soal cinta2 an nya, belum ada yg baru, Tetep seneng kalau ada film yang mutunya dinilai mas Rasyid lumayan, terus bisa box office gini. Mungkin perlu dipelajari gimana tim promo n marketing film ini bekerja, sampai ada yg nekad bolos sekolah buat ke cinema ( beneran yaa?)

Rasyidharry mengatakan...

Dilan itu beneran winning formula: genre favorit + tema romansa anak muda + aktor idola + source material yang udah punya fanbase. Begitu masuk film kedua, perilisannya makin dijual bukan cuma sekadar "rilis film", tapi "national event". Sampai ada Dilan Day segala. Jadinya fans gak akan ogah ke bioskop, karena kesan yang didapet adalah: aku ibadah.

Unknown mengatakan...

Mas Rasyid,

Itu Dilan pake lipstick yak, masa lebih tebel lipstick Dilan dibanding Milea, wkwkwkwkkwk..

Vanesha beneran sukses memerankan Milea.. Dia yang mutusin, dia yang galau, dia yang nyesel, dia yang nangis, hadeeh..
Aslee nyebelin banget..
Apa cewe² jaman now begitu yak Mas, wkwkwkekek..

Sepertinya lebih berkualitas kisah cinta Haris Risjad-Keara-Rully..
#team_antologi_rasa

Unknown mengatakan...

Oia, mengenai dekorasi bioskop, menurut saya sih sudah 90an banget, dengan loket sesuai studio masing² ditambah poster film Ghost yang mengingatkan memori saya 30 tahun yang lalu..

Apalagi kotak susu ultr* coklat di kantin, uang limaratus'an jadul, walaupun hanya beberapa detik tetapi sangat mewakili era90an.

Angkatan 90an mana suara'nyaaaaaa..
Wkwkwkwkwkwk..

Walaupun kurang suka dengan tema kisah cinta anak jaman now, tapi Dilan 1991 menghibur..

Ayo dukung film Indonesia, biar jumlah penontonnya memecahkan rekor Dilan 1990..

Unknown mengatakan...

Dibandingkan Rompis bagusan mana bang?

Adit mengatakan...

Kenapa dear nathan yg sedikit diatas dilan penontonnya jauh banget sama dilan

Panca mengatakan...

Setuju sih kalo scene ence bagus mending dibuang dan yg harusnya dimasukin scene dilan yg diusir sm bapaknya.. karena kayaknya ga ada dilan dan bapaknya di 1 scene.. (ups maaf spoiler)

Rasyidharry mengatakan...

Sering kejadian mah itu mau cewek apa cowok. Mutusin karena kebawa emosi terus akhirnya nyesel juga.

Rasyidharry mengatakan...

Rompis lebih konsisten asyiknya.

Rasyidharry mengatakan...

Karena Jefri Nichol fanbase-nya belum semasif Iqbaal. Materi adaptasinya juga kalah tenar. Dear Nathan juga nggak jualan kalimat gombal. Belum lagi ditambah urusan marketing.

Rasyidharry mengatakan...

Nah ini bener. Momen itu jauh lebih ada signifikansinya.

Adit mengatakan...

Makasih mas Rasyid atas penjelasannya.

Zoro mengatakan...

@Adit: karena novel Dilan jauh lebih fenomenal daripada novel Dear Nathan, hype untuk filmnya jadi lebih tinggi.

Btw, dalam medium novel kalau baca dua-duanya, novel Dilan emang lebih berkelas dari Dear Nathan (dari segi narasi, diksi, dll...), tapi ketika diadaptasi ke medium film, justru Dear Nathan lebih berkualitas.

Kalau pindah medium, emang udah bukan karya yg sama lagi. Contoh aja Forrest Gump yang diangkat dari novel "murah" bisa jadi film mahal, sementara itu banyak film ancur yang diadaptasi dari novel-novel pemenang Nobel Sastra.

Badminton Battlezone mengatakan...

Bang minta (spoiler) credit scenenya donk. Tadi ga sempet liat karena lagi HIV (Hasrat Ingin Vivis). Makasihh bang Rasyid

Rasyidharry mengatakan...

Yap, itulah tantangan menerjemahkan ke media lain (dalam hal ini audio visual). Makanya banyak novel yang dibilang "unfilmable" karena beberapa hal emang susah diangkat ke media lain.

Rasyidharry mengatakan...

SPOILER








Milea nelpon Dilan, bilang "Halo".
Udah 😂

Badminton Battlezone mengatakan...

Wadawwww....(spoiler) masak Milea udah merit ada cincin ditangan tp masi blum move on dari cinta sma'nya?hahahaa.

Tp gw akuin Iqball aktingnya bisa natural sih,memang dia punya xfactor yg membuat film ini punya nyawa. saya ga yakin kalo diperanin orang lain bakal seboom ini.

Oke deh thank you spoiler credit scenenya bang!

Unknown mengatakan...

*spoiler

Adegan "mau di wakilin apa langsung" itu mereka beneran cipokan manjah mesrah gak sih kira2. Dan kalo ada adegan cipokan kenapa harus di cut :(

Rasyidharry mengatakan...

Nggak lah, memang dari awal kan fimnya buat usia remaja awal, nggak akan ada ciuman frontal.

GGrammer mengatakan...

Film begini dapat rating sama dengan captain marvell. Sorry but come on, what the hell

Rasyidharry mengatakan...

There's no apple-to-apple comparison on movie rating, especially if both movies came from a very different "species". Kecuali kalau Dilan vs Dear Nathan atau Captain Marvel vs Wonder Woman. Itu pun mesti lewat pembahasan lebih lanjut (yang dilalukan reviewer di tulisannya).