ON THE BASIS OF SEX (2018)
Rasyidharry
Maret 25, 2019
Armie Hammer
,
Bagus
,
Biography
,
Cailee Spaeny
,
Chris Mulkey
,
Daniel Stiepleman
,
Felicity Jones
,
Mimi Leder
,
REVIEW
1 komentar
On the Basis of Sex dibuka oleh pemandangan ratusan pria dengan setelan
jas rapi berjalan serentak. Mereka adalah mahasiswa baru Sekolah Hukum Harvard.
Di antaranya, turut berjalan Ruth Bader Ginsburg (Felicity Jones). Tubuhnya
mungil, tapi ia menonjol di tengah kerumunan. Bukan saja karena pakaian hijau
yang ia kenakan, pula antusiasmenya sebagai satu dari sembilan wanita yang
diterima tahun itu.
Namun On the Basis of Sex bukan “cuma” soal itu. Ya, kita melihat Ruth
mengalami diskriminasi gender sejak menit pertama menjejakkan kaki di Harvard
saat sang Dekan merujuk para mahasiswa sebagai “He” atau “Harvard MAN”.
Tapi sekali lagi, film ini tak hanya mengenai Ruth. Film ini bukan membahas “aku”
atau “kamu”, melainkan “kita”, sebagaimana seluruh gerakan memperjuangkan
keadilan sosial termasuk pemberdayaan wanita semestinya digalakkan.
Membentangkan kisahnya sejak 1956
hingga awal 1970-an, On the Basis of Sex
mengisahkan perjuangan Ruth—yang tahun lalu juga dirangkum oleh dokumenter
peraih nominasi Oscar, RBG—mengubah Internal Revenue Code seksi 214, yang
serupa banyak pasal hukum lain di Amerika Serikat, melakukan diskriminasi
gender.
Pembangunan latarnya memaparkan
cukup rintangan yang dialami Ruth guna membuat kita memahami semangat
membaranya, seperti saat ia kesulitan mendapat pekerjaan akibat berbagai
alasan, termasuk tuduhan bahwa sebagai lulusan terbaik Harvard pastilah ia
bukan rekan yang menyenangkan, yang sesungguhnya bermuara pada kenyataan bahwa dirinya
seorang wanita. Digarap oleh penulis debutan Daniel Stiepleman, alurnya
mengalir layaknya film biografi kebanyakan yang melakukan lompatan-lompatan
antar periode, namun dilakukan secara mulus, sebab tiap periode punya tujuan
dan substansi jelas, bukan hanya paparan acak untuk mengisi durasi.
Saya mengagumi bagaimana filmnya
menekankan pada kesetaraan alih-alih kepentingan satu golongan belaka. Walau
jiwanya adalah tentang pembebasan hak wanita (sudah seharusnya demikian
mengingat itulah isu yang paling “kritis”), tak ketinggalan pula filmnya
membahas betapa pria pun kerap jadi korban diskriminasi. Apabila wanita
dipandang selaku pelayan dan penjaga rumah, maka pria merupakan pencari nafkah
di luar rumah, yang dianggap janggal bila memilih profesi perawat, guru, dan
lain-lain.
Poin utamanya adalah keadilan
sosial tanpa memandang gender. Itulah mengapa kita menemukan sosok Martin D.
Ginsburg, suami Ruth yang diperankan oleh Armie Hammer dalam karisma likeable seperti biasa, yang sepenuhnya
mendukung sang istri, meski ia sendiri belum sempurna dan sesekali memaklumi
komentar kasual bernada seksis. Perpaduan Ruth dan Martin menambah bobot emosi
lewat hembusan elemen drama romansa dan kisah keluarga.
Puncaknya saat Ruth bersama Martin
dan puteri mereka, Jane (Cailee Spaeny), mengusut kasus Charles Moritz (Chris
Mulkey). Charles adalah pria lajang yang menyewa perawat untuk menjaga sang ibu
yang telah berusia 89 tahun, agar ia bisa terus bekerja. Dia mengajukan
permintaan pemotongan pajak untuk jasa perawat tersebut, namun ditolak, sebab
menurut undang-undang, hanya wanita, janda, atau suami dengan istri yang mesti
mendapat perawatan intensif yang berhak menerima pemotongan.
Beberapa dialog sarat istilah hukum
mungkin bakal membingungkan, tapi On the
Basis of Sex berusaha semaksimal mungkin tidak mengalienasi penonton awam,
dengan mengulangi penyampaian poin kunci beberapa kali sehingga mudah dicerna
tanpa harus terdengar seperti eksposisi yang dipaksakan. Di samping itu,
kalimat-kalimat tulisan Stiepleman kerpa menghasilkan pencerahan seputar
mengapa banyak pasal hukum layak disebut diskriminatif. Misalnya tentang
keistimewaan palsu yang diberikan pada wanita, tetapi sesungguhnya mengekang,
di mana disebutkan bahwa “wanita cukup mengurus rumah, sehingga terhindnar dari
kewajiban berat mencari nafkah yang mesti ditanggung pria”.
Ceritanya berkulminasi dalam wujud courtroom drama, yang meski tak terasa
seperti puncak pertarungan (sesungguhnya ini baru awal perjuangan panjang
Ruth), tetap terasa sebagai klimaks yang layak berkat kualitas berbagai departemen.
Naskah Stiepleman urung menyederhanakan persidangan sebagai pertarungan hitam melawan
putih. On the Basis of Sex mendorong
kita mendukung Ruth sembari tetap memancing pemikiran. Para hakim bukan antagonis
kejam, melainkan lawan debat objektif yang menguji keabsahan argumen Ruth dan
timnya. Alhasil keberhasilan Ruth lebih bermakna karena ia sudah membuktikan
kelayakannya.
Penyutradaraan Mimi Leder (Deep Impact, The Peacemaker, Pay It Forward)
yang kembali pasca absen nyaris satu dekade, atau 18 tahun bila menghitung sejak
rilisan layar lebar terakhirnya, menerapkan formula tradisional yang terbukti
efektif menghantarkan emosi lewat reaction
shot yang memancing respon emosi penonton. Kameranya banyak berfokus pada
ekspresi wajah para pemain, dan Felicity Jones siap melaksanakan tugasnya lewat
performa menggugah yang mengaduk perasaan, khususnya saat ia mulai menampar
melalui pernyataan fakta, bahwa selama 100 tahun, negara terus menahan progres
kemerdekaan hak wanita.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:min, gk ngereview film-film lama?
Posting Komentar