POHON TERKENAL (2019)
Rasyidharry
Maret 24, 2019
Annisa Meutia
,
Cok Simbara
,
Drama
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Laura Theux
,
Lina Nurmalina
,
Monty Tiwa
,
Raim Laode
,
REVIEW
,
Romance
,
Umay Shahab
10 komentar
Daripada propaganda penuh usaha
mengagungkan Akademi Kepolisian (Akpol) atau iklan layanan masyarakat berkedok
film, saya mengapresiasi usaha Pohon
Terkenal tampil ringan nan menghibur dengan memakai sampul film romansa
anak muda. Walau bagaimana ceritanya bergulir bukanlah sesuatu yang pantas
dibanggakan. Lahir satu lagi film dengan niatan baik namun tersandung penuturan
lemah di mana beberapa konflik selesai secara ajaib, sedangkan lainnya
ditinggalkan begitu saja untuk hilang tanpa bekas.
Judulnya merujuk pada sebutan bagi
biang onar di Akpol. Para biang onar itu adalah tiga sahabat: Johanes (Raim
Laode) si jenaka dari Papua, Ayu (Laura Theux) si anak jenderal yang punya
hubungan renggang dengan sang ayah, dan Bara (Umay Shahab) yang terpaksa masuk
Akpol karena terlanjur bernazar saat berdoa demi kesembuhan ibunya.
Di antara ketiganya, Bara paling
sering membuat masalah, yang bahkan kerap membuat satu angkatan dikenai
tindakan (hukuman). Dia bahkan sempat mencoba kabur di satu titik, sebab
baginya tak ada alasan untuk tetap tinggal menjalani pelatihan keras di sana.
Sampai romansa antara ia dan Ayu mulai bersemi, memberi Bara alasan bertahan di
Akpol. Apakah nantinya Bara menemukan alasan selain cinta? Rupanya tidak.
Saya mengira alasan lain itu bakal
muncul dalam wujud sang ibu, tapi elemen ibu-anak yang dibangun di awal, hilang
sejak pertengahan tanpa memberi emotional
payoff sepantasnya. Hal serupa menimpa konflik antara Ayu dengan salah satu
senior Taruni yang menuduhnya bersikap manja sebagai puteri jenderal.
Pertikaian panas mereka yang bahkan sempat menjurus ke arah benturan fisik
mendadak usai, sama mendadaknya dengan menguapnya cemoohan publik terhadap
protagonis kita pasca mereka melakukan suatu pelanggaran serius.
Bahkan Pohon Terkenal ditutup lewat cara serupa, sehingga bukan mustahil banyak
penonton akan mengira filmnya belum usai. Ketimbang menutup secara pantas,
diselipkanlah voice over merangkup
nasib karakter-karakternya selepas masa pendidikan yang terasa seperti sebuah
langkah malas, kemudian disusul mid-credits
scene dengan eksekusi cringey. Tapi
saya berbohong jika berkata tidak sekalipun merasa terhibur. Beberapa humornya
bekerja cukup baik, khususnya yang melibatkan karakter komikal Johanes.
Sedangkan romansanya diawali kurang
meyakinkan akibat sebuah adegan “ciuman di kening” yang terasa canggung (for the wrong reason), sebab naskah
serta penyutradaraan Monty Tiwa (Critical
Eleven, Lagi-Lagi Ateng) yang berduet bersama mantan asistennya, Annisa
Meutia, menghasilkan proses stimulus-respon yang aneh. Setidaknya performa
Laura dan Umay menjadikan romansanya layak tonton. Laura memancarkan aura gadis
bertekad kuat, sementara Umay cukup piawai bermain rasa.
Satu hal yang melukai akting Umay
adalah tubuhnya. Bukan, ini bukan komentar bernada bodyshaming, melainkan murni logika. Diceritakan, Bara menjalani
empat tahun latihan keras di Akpol, namun tubuh sang aktor tak memperlihatkan
itu. Gesturnya lembek, posturnya jauh dari tegap, dan tubuhnya belum mengering
(berbeda dengan kurus). Dia masih tampak bagai remaja awal yang baru lulus SMA.
Saya tak pernah tertarik pada Akpol
atau instansi serupa lain. Walau Pohon
Terkenal takkan tiba-tiba memancing rasa kagum, saya suka caranya
menggambarkan Akpol sebagai tempat di mana hal-hal keseharian seperti jatuh
cinta dan persahabatan bisa terjadi. Penuh ketegasan, tapi bukan neraka dunia,
sebab perbedaan ras, agama, atau gender tak jadi masalah. Bukannya membusungkan
dada soal kehebatan Akpol, film ini menginformasikan bahwa mereka membuka
tempat membangun masa depan bagi masyarakat dengan finansial lemah. “Daripada
menganggur tanpa arah, lebih baik masuk Akpol”. Biar bagaimanapun, saya
mengamini pernyataan tersebut.
Pohon Terkenal tak lupa menyinggung dualitas peran anggota
kepolisian, yakni sebagai individu dan pelayan negara lewat hubungan Ayu dengan
sang ayah (Cok Simbara), yang meski pendek pula urung menyentuh tingkat emosi
yang diharapkan, cukup selaku penjelas kondisi di atas. Presentasinya pun bukan
melalui teriakan nasionalisme berlebihan, tapi tuturan hangat. Andai saja
naskah hasil tulisan Monty Tiwa, Annisa Meutia, dan Lina Nurmalina (Bukan Bintang Biasa The Movie, Istri Bo’ongan)
mampu tampil solid guna menyokong pesan baik filmnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:Gimana akting raim??
Ada potensi ke depan??&
Kayaknya Umay emang bru mau lulus SMA sih, umurnya juga bru 18
Ga ada usaha Umay buat nyesuain perannya ya?
harusnya Bara diperankan sama 2 orang, Bara sebelum latihan diperankan Umay, Bara sesudah latihan keras diperankan Iko Uwais
😂😂😂😂😂
Boleh lah, asal nggak terus jatuh ke typecast
Ya yang dilihat kan karakternya, bukan Umay sebagai Umay.
Mungkin juga dia nggak dikasih waktu. Jarang sekali film kita kasih waktu pendalaman panjang buat pemain apalagi kalau soal body transformation
Yayan Ruhian lebih mantap. Lulus Akpol langsung gondrong dan brewokan
Mohon infonya dong kalo mau nonton film ini dimana ya? lg kangen sama suasana akpolnya
Posting Komentar