WONDER PARK (2019)
Rasyidharry
Maret 14, 2019
André Nemec
,
Animated
,
Brianna Denski
,
Clare Kilner
,
David Feiss
,
Jennifer Garner
,
Josh Applebaum
,
Lumayan
,
Norbert Leo Butz
,
REVIEW
,
Robert Iscove
5 komentar
Wonder Park hadir di antara tren film keluarga (animasi dan live action) yang berpesan supaya kita
tak kehilangan imajinasi masa muda yang penuh kebahagiaan, meski beratnya
realita mulai merambat masuk. “Keep that
little light in you shining bright”, demikian ucap ibunda sang protagonis.
Kalimat yang berfungsi sebagai poros tuturan drama milik animasi produksi
bersama tiga studio (Paramount Animation, Nickelodeon Movies, Ilion Animation
Studios) ini.
Membangun taman bermain imajiner
bernama Wonderland merupakan hal yang June (Brianna Denski) selalu lakukan
bersama ibunya (Jennifer Garner). Wonderland adalah taman penuh wahana
fantastis dan dikelola oleh hewan-hewan berkemampuan bicara layaknya manusia,
yang “hidup” dari boneka June. Simpanse bernama Peanut (Norbert Leo Butz)
menjadi maskot taman tersebut. Dia bisa membuat wahana apa pun memakai spidol
ajaib tiap kali June dan sang ibu berbisik di telinganya.
Waktu berlalu dan rumah June
dipenuhi taman bermain mini yang disusun menggunakan barang seadanya. Tapi
kebahagiaan itu tak berlangsung lama, sebab sang ibu menderita sakit keras dan
mesti meninggalkan rumah demi mendapat perawatan. Kita bisa menerka apa
penyakitnya (kemungkinan kanker), namun Wonder
Park tak pernah mengucapkannya secara gamblang, karena film ini diceritakan
lewat perspektif June, si gadis cilik yang hanya mengetahui satu hal: Tanpa
sang ibu, cahaya kehidupannya meredup.
June mulai menyingkirkan
Wonderland, diganggu kecemasan dan ketakutan berlebih akan semua hal, kemudian
menjadi (terlalu) dewasa sebelum waktunya. Sampai lewat sebuah kebetulan, ia
menemukan pintu masuk menuju Wonderland, mendapati taman ajaib itu telah
porak-poranda dikuasai kegelapan, sementara para hewan mesti bersembunyi dari
serbuan Chimpanzombie, boneka simpanse menggemaskan yang berubah jadi pasukan
buas.
Mengejutkan kala mengetahui filmnya
enggan terburu-buru menyeret kita memasuki Wonderland. Naskah garapan duet Josh
Applebaum dan André Nemec (Mission: Impossible – Ghost Protocol,
Teenage Mutant Ninja Turtles) bersedia bersabar mengembangkan elemen
dramatik dari kehangatan hubungan ibu-anak yang takkan sulit menyedot air mata
penonton dewasa, setidaknya sepanjang 30 menit pertama yang begitu emosional.
Keputusan di atas tepat, karena kita
tahu apa yang menanti di Wonderland: Petualangan sarat komedi slapstick yang berisik dan chaotic. Bahkan kita langsung disambut banter bernuansa rusuh antara karakter
hewan, yang dikemas sedemikian rupa supaya petualangannya terkesan bertenaga,
tapi justru hanya melahirkan kekacauan yang sukar dinikmati, bahkan nyaris menelan
habis potensi humornya.
Bermodalkan bujet $80-100 juta, Wonder Park memang tak semewah produksi
Dinsey, Pixar, atau DreamWorks, dan itu nampak jelas pada kualitas visualnya.
Animasi Wonder Park bukan suguhan photo realistic kelas wahid, tapi serupa esensi filmnya, visi serta
imajinasi adalah yang terpenting. Beruntung, visualnya memiliki dua elemen
tersebut. Dibungkus warna-warni juga cahaya gemerlap, mata kita bakal dipuaskan
meski tak sampai dibuat terpana.
Awalnya Wonder Park disutradarai oleh Dylan Brown, animator bagi film-film
Pixar seperti Finding Nemo, The
Incredibles, hingga Ratatouille.
Tapi ia dipecat akibat skandal pelecehan seksual, kemudian posisinya digantikan
oleh David Feiss (Open Season: Scared
Silly), Clare Kilner (American
Virgin, The Wedding Date), dan Robert Iscove (From Justin to Kelly, She’s All That). Entah sejauh apa progres
film ini sebelum pemecatan Brown, tapi pastinya, penyutradaraan merupakan salah
satu kelemahan besar Wonder Park.
Ya, beberapa adegan sanggup menyentuh
hati, namun itu keberhasilan naskahnya, dan semestinya jauh lebih emosional
kalau bukan gara-gara lemahnya (para) sutradara membangun momentum. Khususnya
momen jelang akhir yang seharusnya jadi puncak penebusan dari segala proses
yang June lalui. Hangat, tapi ada potensi untuk mengolah rasa lebih jauh lagi.
Berkat pondasi dari naskahnya, Wonder Park urung porak poranda layaknya
Wonderland. Applebaum dan Nemec cukup rapi mengaitkan problematika kehidupan
nyata dengan konflik di Wonderland. Kuncinya adalah, konsisten menjadikan
hubungan ibu-anak sebagai inti segalanya, baik itu penyebab permasalahan,
maupun cara menyelesaikannya. Alhasil, di luar sederet kekurangannya, Wonder park tetap perjalanan memuaskan
tentang menghadapi kegelapan demi mengembalikan cahaya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Komedinya gimana bang?
Standar slapstick dan jokes verbal yang chaotic. Kekuatannya lebih di drama.
nunggu hollywood bikin animasi dengan style anti-mainstream lagi, setelah Spiderverse
nama para sutradaranya tidak tercantum di wikipedia, IMDB dan RT
Di IMDb ada, tapi di bagian cast, kreditnya "directed by".
Posting Komentar