MANTAN MANTEN (2019)
Rasyidharry
April 05, 2019
Arifin Putra
,
Atiqah Hasiholan
,
Drama
,
Farishad Latjuba
,
Indonesian Film
,
Jenny Jusuf
,
REVIEW
,
Sangat Bagus
,
Tutie Kirana
,
Tyo Pakusadewo
,
Windra Benyamin
23 komentar
Tanpa perlu menyertakan embel-embel
“film budaya”, Mantan Manten justru
melahirkan karya yang layak disebut “culturally
significant” , di mana kesakralan pernikahan ditekankan, mistisisme
diperlakukan secara indah selaku bagian kerohanian sekaligus hubungan manusia
dengan semesta, sementara women’s
empowerment dipaparkan tidak secara eksplosif tanpa kehilangan baranya.
Inilah film Indonesia terbaik 2019 untuk sementara.
Mantan Manten dibuka layaknya kebanyakan film soal proses
karakternya menyadari bahwa hidup lebih dari sekedar uang. Nina (Atiqah
Hasiholan) adalah manajer investasi ternama yang mengusung jargon “I believe in money, I believe in people”.
Dialah definisi modern akan “wanita sukses”. Karirnya cemerlang bergelimang
penghargaan, pun ia baru saja dilamar oleh sang kekasih, Surya (Arifin Putra).
Semua sempurna, sampai ayah Surya (Tyo Pakusadewo) menusuk Nina dari belakang,
menjadikannya kambing hitam dalam kasus investasi palsu.
Seketika, Nina kehilangan
segalanya, kecuali sebuah villa di Tawangmangu, yang sayangnya, belum secara
resmi balik nama. Nina pun mendatangi Marjanti (Tutie Kirana) si pemilik rumah guna
meminta tanda tangan. Marjanti setuju, dengan syarat, Nina bersedia menjadi
asistennya sebagai pemaes (dukun manten) selama tiga bulan. Kehabisan opsi, meski
berat hati, Nina menyepakati syarat tersebut. Kita tahu ia akhirnya bakal
menemukan “rumah” di sana, dan saya berharap filmnya lebih banyak
memperlihatkan kesulitan Nina beradaptasi demi melengkapi proses yang dilalui.
Menyusul berikutnya adalah tuturan
mengenai keikhlasan yang dipenuhi kelembutan juga kedamaian. Mayoritas nuansa
itu datang dari penggunaan budaya Jawa beserta filosofi di dalamnya. Marjanti—yang
kembali menunjukkan kepiawaian aktris senior Tutie Kirana berolah rasa—bertindak
sebagai medium penyampai pesan di atas.
Naskah hasil tulisan Jenny Jusuf (Filosofi Kopi, Wonderful Life, Critical
Eleven) bersama sang sutradara, Farishad Latjuba (Mantan Terindah), menggunakan pemaes, selaku profesi yang tak asing
dengan sisi klenik (Pada satu momen, hanya dengan meniupkan asap rokok,
Marjanti mampu membetulkan ukuran baju mempelai pria), untuk mengenalkan
penonton kepada bagaimana masyarakat Jawa memandang mistisisme sebagai bagian
keseharian, yang alih-alih memancing ngeri, justru menyimpan keindahan
tersendiri.
Jarang saya menemukan film kita
melakukan hal demikian (terdekat adalah Sunya
tiga tahun lalu). Hubungan manusia dengan yang tak kasat mata, dari “hantu”
sampai Tuhan, ditampilkan penuh jiwa. Berkat sensitivitas penyutradaraan
Farishad Latjuba, adegan sederhana seperti memohon ampun kepada Tuhan pun amat
menyentuh, meski hanya dibarengi kalimat “Gusti
Allah nyuwun ngapura” yang sudah jamak kita dengar langsung di kehidupan
sehari-hari.
Menggunakan kata “manten” di
judulnya, Mantan Manten tak lupa
mengingatkan kita akan kesakralan pernikahan, yang belakangan mulai tertelan
modernisasi. Entah melalui interaksi kasual antar-tokoh yang mengalir mulus
tanpa kesan dipaksakan hadir untuk menyampaikan pesan, maupun adegan upacara
pernikahan di babak ketiga, yang dieksekusi beitu indah. Filmnya bersedia
menaruh perhatian terhadap esensi tiap ritual sebagai simbol doa bagi
keberlangsungan pernikahan. Implementasi nuansa tradisional dalam musik garapan
Windra Benyamin (Babi Buta Yang Inginn
Terbang, Pai Kau) pun turut memperkuat rasa.
Mencapai akhir, selain cerita
mengenai pencarian makna hidup, Mantan
Manten juga berperan selaku kisah empowerment
yang menjabarkan, betapa serupa perspektif Jawa, keikhlasan berbeda dengan
mengalah, bahkan bisa memberikan kemenangan lebih besar. Berpijak pada elemen itulah
Atiqah mendapat kesempatan memamerkan akting subtil penuh daya. Nina tak
mengucapkan banyak kata, namun wajahnya memancarkan kekuatan luar biasa.
Tatapan tegas ditambah senyum kebanggaan miliknya membuat bulu kuduk berdiri.
Bukan akibat terintimidasi,
melainkan karena menyadari jika saat itu, Nina telah memenangkan pertarungan
tanpa harus menyerang balik bersenjatakan amarah. Nina menang, sebab para “musuh”
merasa malu, menyadari betapa buruk dan kerdil mereka, lalu menaruh hormat kala
melihat sang wanita tak bisa diruntuhkan.
Mungkin beberapa falsafah bakal
kurang cocok bagi sebagian pihak, termasuk saya. Tapi Mantan Manten mengajak penontonnya supaya tak mengamati lewat satu
perspektif dan pengalaman belaka. Begitu saya coba menerapkan itu dalam proses
menyikapi masalah-masalah yang ditawarkan filmnya, hasilnya seperti yang
diucapkan Marjanti. Beban saya terangkat. Mantan
Manten meninggalkan kedamaian di hati, meski di beberapa titik air mata
terlalu sulit dibendung.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
23 komentar :
Comment Page:entah kenapa, deskripsi mas rasyid tentang ending filmnya mengingatkan saya akan ending crazy rich asian wkwk
Bru mau bilang begitu.. jgn2 satu universe yah mas.. wkwk
Mas.. ini visinema punya siapa sih?? Gak ada india2nya kh kyk punjabi, soraya, parwez dkk??
selalu berharap banyak sama film-film dari visinema, ngeliat review film ini yang bagus kayanya ga bakal mikir dua kali buat nonton, bahkan di weekend.
Sayangnya rilis berbarengan dengan film DC dan Disney, jadi jam tayangnya sedikit. Dan penayangan pertamanya kemarin aja sepi. Hopeless kalau bakal bertahan lama di bioskop.
Baru kemaren mulai tayang, hari ini Mantan Manten sudah harus berbagi studio dengan film lain..
Padahal review dari Mas Rasyid sangat bagus yak, dari segi bintang sebenarnya menjual juga kan -lupakan sejenak kasus mpok Ratna- , gala premiere dan promosi sepertinya gencar jugak..
Gimana tuh menurut pendapat Mas Rasyid?
adegan ngeroko menjelang ending sama tatapan nina sama ayahnya surya itu favorit sih..
@anonim Mirip-mirip beda emang. Bedanya, di CRA, si cewek tetap melakukan konfrontasi "vulgar". Persamaannya di konteks merelakan dan menyakralkan pernikahannya.
@Chan Hahaha nggak ada. Murni punya pasangan Angga-Anggia. Makanya pendekatan mereka beda sama kebanyakan PH kan.
@Safri Yah, kalau itu apa mau dikata. Tapi jatah layar 167 (kalau nggak salah) sebenarnya nggak tergolong dikit amat. Cuma memang kurang rame.
@Unknown Terpengaruh juga sama beberapa show yang bermasalah. Saya sendiri kemaren show di-cancel karena file film belum ready. Problem yang sering terjadi di Visinema, termasuk Terlalu Tampan kemaren yang penayangan hari pertama banyak dipotong karena itu. Tapi gimana ya, track record jumlah penonton Visinema kan sebenernya memang nggak luar biasa. Keluarga Cemara pengecualian ya, karena unsur nostalgia & familiaritas.
Iya.. bru cari2 artikel angga.. salut sih.. strategi monetisasi visinema,, gimana caranya bikin film bagus dan tetap laris.. gak melulu sbagai pengeruk uang tanpa meniñggalkan kualitas
Semoga tetap istiqomah
In visinema we trust
Yes, makanya seneng juga Keluarga Cemara laris. Bisa gaswat itu kalau flop. Seenggaknya sekarang ada tambahan napas sambil nunggu film hits berikutnya
Bintangnya tinggi :D :D
Wadidawww tinggi amat bintangnya, filmnya lagi sesuai suasana hati ya mas? ��
Poster nya Mantan Manten ini menipu.. filmnya kelam. Begitu keluar Bioskop ada perasaan legowo sama apa ya. Susah sih di jelasin.
@koko: setuju kalo posternya menipu. tapi kalo filmnya dibilang kelam gak juga sih...ceritanya mengalir, gak bikin banyak berpikir. Pemilihan Dodit Mul yang tampil di lumayan banyak scene memberikan kesegaran di film yang lumayan serius temanya.
Mungkin yang Koko maksud kelam karena ada beberapa adegan yg berhubungan dengan ritual tokoh utama sebagai perias / dukun manten?
Dari beberapa artikel yang saya baca, memang seperti itu ritual sang dukun sebelum melakukan paes kepada pengantin perempuan.
Well anyway, pemberian 4,5 bintang ini memang layak buat film Mantan Manten. Tema yg gak lazim ternyata bisa diangkat dan dibuat menarik di tangan F Latjuba dan tim Visinema
Kelam disini yang saya maksud bukan jelek mas . Tapi lebih gimana ya. Kaya seolah buat perenungan diri sendiri aja gitu. Saya setuju kok kalo Mantan Manten ini jadi film terbaik Visinema tahun ini. Sayang. Film sebagus ini musti turun layar dengan cepat..
Tapi bener itu kalau dibilang posternya tricky. Karena kalau dijual sebagaimana adanya ya pasti lebih nggak laku lagi.
Mungkin bagi orang jawa, film ini ngena banget dengan budaya mereka. Tapi saya dari minang masih kurang nangkep dengan tema budaya/ritual film ini. Dramatisasinya juga lempeng2 aja
Wajar kalau di film (bukan cuma Mantan Manten) ada kesenjangan budaya. Buat penonton yang bukan dari budaya yang filmnya angkat, fungsinya jadi pengenalan. Sama juga di urusan dramatisasi subtil yang bukan untuk semua orang. Tapi karena itulah saya apresiasi tinggi film ini. Belum banyak film arus utama kita yang "menolak" overdramatization.
Sudah saatnya atiqah mengangkat piala citra. Jamila,maida,never lies,wonderfull,likas, kapan lagiii
Setuju. Sejauh ini sih pesaingnya baru Raihaanun (27 Steps of May) & Maudy Koesnaedi (Ave Maryam). Mungkin nanti ketambah salah satu cast Bebas atau Raihaanun juga di Twivortiare. Film lain belum ada gambaran.
Juri kadang lebih melihat film2 kaya 27 steps of may apalagi melihat permasalahan keluarga atiqah kayanya agak berat. Harusnya dia udah menang dari jamila dan sang presiden ketimbang laura basuki
Laura Basuki itu tahun berikutnya. FFI 2009 yang menang Titi Sjuman (Mereka Bilang, Saya Monyet!). Atiqah dapat nominasi, tapi buat film 'Ruma Maida'.
Hahaha malu deh sok tau
Atiqah di Jamila lebih mirip orang sakau drugs, lebay aktingnya
Posting Komentar