Tampilkan postingan dengan label Tyo Pakusadewo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tyo Pakusadewo. Tampilkan semua postingan

MANTAN MANTEN (2019)

Tanpa perlu menyertakan embel-embel “film budaya”, Mantan Manten justru melahirkan karya yang layak disebut “culturally significant” , di mana kesakralan pernikahan ditekankan, mistisisme diperlakukan secara indah selaku bagian kerohanian sekaligus hubungan manusia dengan semesta, sementara women’s empowerment dipaparkan tidak secara eksplosif tanpa kehilangan baranya. Inilah film Indonesia terbaik 2019 untuk sementara.

Mantan Manten dibuka layaknya kebanyakan film soal proses karakternya menyadari bahwa hidup lebih dari sekedar uang. Nina (Atiqah Hasiholan) adalah manajer investasi ternama yang mengusung jargon “I believe in money, I believe in people”. Dialah definisi modern akan “wanita sukses”. Karirnya cemerlang bergelimang penghargaan, pun ia baru saja dilamar oleh sang kekasih, Surya (Arifin Putra). Semua sempurna, sampai ayah Surya (Tyo Pakusadewo) menusuk Nina dari belakang, menjadikannya kambing hitam dalam kasus investasi palsu.

Seketika, Nina kehilangan segalanya, kecuali sebuah villa di Tawangmangu, yang sayangnya, belum secara resmi balik nama. Nina pun mendatangi Marjanti (Tutie Kirana) si pemilik rumah guna meminta tanda tangan. Marjanti setuju, dengan syarat, Nina bersedia menjadi asistennya sebagai pemaes (dukun manten) selama tiga bulan. Kehabisan opsi, meski berat hati, Nina menyepakati syarat tersebut. Kita tahu ia akhirnya bakal menemukan “rumah” di sana, dan saya berharap filmnya lebih banyak memperlihatkan kesulitan Nina beradaptasi demi melengkapi proses yang dilalui.

Menyusul berikutnya adalah tuturan mengenai keikhlasan yang dipenuhi kelembutan juga kedamaian. Mayoritas nuansa itu datang dari penggunaan budaya Jawa beserta filosofi di dalamnya. Marjanti—yang kembali menunjukkan kepiawaian aktris senior Tutie Kirana berolah rasa—bertindak sebagai medium penyampai pesan di atas.

Naskah hasil tulisan Jenny Jusuf (Filosofi Kopi, Wonderful Life, Critical Eleven) bersama sang sutradara, Farishad Latjuba (Mantan Terindah), menggunakan pemaes, selaku profesi yang tak asing dengan sisi klenik (Pada satu momen, hanya dengan meniupkan asap rokok, Marjanti mampu membetulkan ukuran baju mempelai pria), untuk mengenalkan penonton kepada bagaimana masyarakat Jawa memandang mistisisme sebagai bagian keseharian, yang alih-alih memancing ngeri, justru menyimpan keindahan tersendiri.

Jarang saya menemukan film kita melakukan hal demikian (terdekat adalah Sunya tiga tahun lalu). Hubungan manusia dengan yang tak kasat mata, dari “hantu” sampai Tuhan, ditampilkan penuh jiwa. Berkat sensitivitas penyutradaraan Farishad Latjuba, adegan sederhana seperti memohon ampun kepada Tuhan pun amat menyentuh, meski hanya dibarengi kalimat “Gusti Allah nyuwun ngapura” yang sudah jamak kita dengar langsung di kehidupan sehari-hari.

Menggunakan kata “manten” di judulnya, Mantan Manten tak lupa mengingatkan kita akan kesakralan pernikahan, yang belakangan mulai tertelan modernisasi. Entah melalui interaksi kasual antar-tokoh yang mengalir mulus tanpa kesan dipaksakan hadir untuk menyampaikan pesan, maupun adegan upacara pernikahan di babak ketiga, yang dieksekusi beitu indah. Filmnya bersedia menaruh perhatian terhadap esensi tiap ritual sebagai simbol doa bagi keberlangsungan pernikahan. Implementasi nuansa tradisional dalam musik garapan Windra Benyamin (Babi Buta Yang Inginn Terbang, Pai Kau) pun turut memperkuat rasa.

Mencapai akhir, selain cerita mengenai pencarian makna hidup, Mantan Manten juga berperan selaku kisah empowerment yang menjabarkan, betapa serupa perspektif Jawa, keikhlasan berbeda dengan mengalah, bahkan bisa memberikan kemenangan lebih besar. Berpijak pada elemen itulah Atiqah mendapat kesempatan memamerkan akting subtil penuh daya. Nina tak mengucapkan banyak kata, namun wajahnya memancarkan kekuatan luar biasa. Tatapan tegas ditambah senyum kebanggaan miliknya membuat bulu kuduk berdiri.

Bukan akibat terintimidasi, melainkan karena menyadari jika saat itu, Nina telah memenangkan pertarungan tanpa harus menyerang balik bersenjatakan amarah. Nina menang, sebab para “musuh” merasa malu, menyadari betapa buruk dan kerdil mereka, lalu menaruh hormat kala melihat sang wanita tak bisa diruntuhkan.

Mungkin beberapa falsafah bakal kurang cocok bagi sebagian pihak, termasuk saya. Tapi Mantan Manten mengajak penontonnya supaya tak mengamati lewat satu perspektif dan pengalaman belaka. Begitu saya coba menerapkan itu dalam proses menyikapi masalah-masalah yang ditawarkan filmnya, hasilnya seperti yang diucapkan Marjanti. Beban saya terangkat. Mantan Manten meninggalkan kedamaian di hati, meski di beberapa titik air mata terlalu sulit dibendung.

MY GENERATION (2017)

Pada 1965, lewat lagu My Generation, The Who mewakili perlawanan kaum muda. Meneriakkan "People try to put us down. Just because we get around" sebagai protes saat pemegang otoritas pun generasi terdahulu menganggap semangat Baby Boomers yang menyulut perubahan kultural adalah kebejatan mengganggu. 52 tahun berselang, Upi merilis film terbarunya, juga berjudul My Generation. Mengusung tagline "No one can stop us", giliran milenial bersuara. Seni cenderung mencerminkan zaman. Membandingkan dua contoh di atas, dapat diasumsikan benturan antar-generasi merupakan lingkaran yang selalu berulang. Generasi tua merasa yang muda keblinger, sebaliknya pemuda jengah akan kekakuan sikap tetua. Pun bukan mustahil bila muda-mudi macam empat protagonis film ini   Zeke (Bryan Warow), Konji (Arya Vasco), Suki (Lutesha), dan Orly (Alexandra Kosasie)   kelak bakal dipandang kolot oleh anak-anaknya. Menarik disimak cara Upi menangani kompleksitas tersebut.

Zeke, Konji, Suki, dan Orly terpaksa mengubur keinginan berlibur ke Bali akibat dihukum para orang tua pasca video yang menampilkan keempatnya mengkritik sistem pendidikan sekolah serta orang tua berujung viral. Merasa terlalu keren untuk patuh dan diam di rumah, mereka memilih beraktivitas sesuka hati, entah mendatangi roller disco atau menerobos atap gedung hingga dikejar satpam. Serahkan pada Upi untuk merangkai parade letupan semangat masa muda yang mudah membuat penonton tersenyum, tenggelam dalam keasyikan. Tidak ketinggalan memeriahkan suasana adalah keramaian warna sinematografi Muhammad Firdaus serta barisan musik hip-hop dengan lirik yang mewakili kebebasan pikir pula tutur tokohnya.
Walau sama-sama debutan, empat pemeran utama nyatanya sanggup memberi cukup energi guna menggerakkan filmnya. Dinamika dua pria, Bryan Warrow si biang onar dan Arya Vasco yang lebih berhati-hati, Alexandra Kosasie yang senantiasa mencengkeram atensi ketika melontarkan komentar sinis, hingga Lutesha yang mampu mewakili sisi kelam remaja dengan depresi. Sementara di jajaran pendukung, Tyo Pakusadewo dan Karina Suwandi sebagai orang tua Zeke memberi penampilan terbaik, menghadirkan dua sisi duka kontradiktif: kediaman meresahkan dan luapan pilu menusuk. Ceramah bertubi-tubi Joko Anwar (ayah Konji), juga eksentriknya Indah Kalalo (ibu Orly) pun tak kalah mencuri perhatian.

Tentu My Generation bukan mengenai senang-senang semata. Sejak menit awal, tanpa basa-basi kuartet protagonisnya langsung menyuarakan isi hati yang niscaya segera diamini golongan penonton masa kini. Curahan tersebut memanaskan konflik mereka dengan orang tua masing-masing. Zeke merasa keberadaannya tak diharapkan, Konji selalu diceramahi tentang norma, Suki lelah dianggap memalukan nama keluarga, sementara Orly risi mendapati sang ibu yang terlampau eksis di media sosial dan memacari pria berusia jauh lebih muda. Pertanyaannya, seberapa cerdik Upi mengolah bentrokan generasi ini?
Di satu titik karakternya mengutarakan perspektif jika sikap protektif orang tua dikarenakan sewaktu muda dahulu berbuat hal serupa anak-anaknya. Ada kesadaran seputar siklus berulang perilaku tiap generasi. Sayangnya Upi urung menggali soal itu. Padahal bisa muncul titik temu, solusi berupa pemahaman kedua belah pihak bahwa orang tua pernah muda dan sama liarnya, sedangkan milenial suatu hari (mungkin) akan mengalami perubahan pola pikir seiring pendewasaan. Akhirnya My Generation berhenti di tataran "kado bagi milenial". Tidak salah, tapi berpotensi membahas perihal generasi secara lebih luas.

Kelemahan My Generation memang bertumpuk di resolusi. Seiring konflik memanas, berkurangnya keceriaan adalah proses natural. Memasuki paruh kedua, nuansa kelam menyeruak, namun alih-alih menguatkan bobot emosi, justru melucuti daya tarik akibat kurang cakapnya Upi menjalin dinamika dramatik. Bertambah kelam tanpa bertambah dalam. Satu-satunya momen solid adalah ketika orang tua Suki menemukan "petunjuk" terkait kondisi mentalnya. Suatu tamparan keras, sebab selama ini mereka kerap memasuki kamar Suki tapi tak sekalipun menyadari meski semua terpampang jelas. Film mencapai titik nadir begitu menyentuh akhir, sewaktu "konklusi ajaib" jadi pilihan. Selesainya satu perselisihan tiba-tiba turut menyelesaikan masalah lain walau tak saling bersinggungan. Langkah penggampangan yang mestinya tidak dipakai untuk menutup deretan problematika rumit.