PET SEMATARY (2019)
Rasyidharry
April 06, 2019
Amy Seimetz
,
Cukup
,
Dennis Widmyer
,
horror
,
Jason Clarke
,
Jeff Buhler
,
Jeté Laurence
,
John Lithgow
,
Kevin Kölsch
,
Obssa Ahmed
,
REVIEW
14 komentar
(Review ini mengandung SPOILER)
Serupa versi tahun 1989, adaptasi
novel berjudul sama karya Stephen King ini bukan horor yang mengedepankan teror
menghentak, melainkan presentasi tentang duka dan bagaimana manusia cenderung
takut terhadap kematian, termasuk kematian orang tercinta yang akan
meninggalkan lubang menganga yang menyakitkan di hati.
Sebuah keluarga baru saja pindah ke
kota kecil di sekitar Ludlow, Maine. Sang ayah, Louis (Jason Clarke) dalah
dokter yang berharap kepindahan itu memberinya lebih banyak waktu senggang
untuk dihabiskan bersama sang istri, Rachel (Amy Seimetz), serta kedua anaknya:
Ellie (Jeté Laurence) yang berumur sembilan tahun dan si balita, Gage (diperankan
saudara kembar Hugo Lavoie dan Lucas Lavoie).
Pet Sematary bergerak cepat dengan langsung membawa karakternya menemukan
pemakaman hewa titular-nya, saat
Rachel dan Ellie melihat serombongan anak bertopeng hewan mengerikan tengah
menjalankan proses penguburan bagi seekor anjing. Pemandangan itu membuat Ellie
terus berpikir soal kematian, khawatir jika suatu hari, Church, si kucing
kesayangan, akan pergi untuk selamanya. Louis coba menjelaskan konsep kematian
sebagai peristiwa lumrah yang mustahil dicegah dan tak perlu dikhawatirkan.
Sebaliknya, Rachel memilih
memperhalus penjelasannya, berkata bahwa saat seseorang meninggal, ia akan
pergi ke surga untuk menjaga kerabat-kerabatnya yang masih hidup dari atas.
Rachel memandang realita soal kematian begitu mengerikan pasca peristiwa
traumatis semasa kecil, ketika sang kakak meninggal secara mengenaskan akibat
meningitis tulang belakang.
Dari beberapa perbincangan antar karakter,
bila sudah menonton versi lawasnya, anda bakal menikmati kecerdikan naskah
buatan Jeff Buhler (The Midnight Meat
Train, The Prodigy) menyiratkan peristiwa-peristiwa yang menanti di depan.
Tapi tidak perlu menonton film pendahulunya atau membaca novelnya untuk tahu
bahwa Church adalah yang pertama meregang nyawa. Mayatnya ditemukan oleh sang
tetangga, Jud (diperankan John Lithgow lewat kemampuan memberi kedalaman dan
empati pada karakternya). Church tewas terlindas truk yang memang senantiasa
melintas dengan kecepatan tinggi di jalan depan pemukiman.
Louis berniat menyembunyikan itu
dari Ellie, namun Jud mencetuskan ide yang “lebih baik. Dibawanya Louis ke
sebuah tanah misterius di perbukitan di atas Pet Sematary guna mengubur Church,
yang ternyata merupakan pemakaman Indian, yang konon mampu membangkitkan mereka
yang telah mati. Sejatinya Louis sudah diperingatkan oleh arwah Victor Pascow (Obssa
Ahmed), remaja yang tewas ditabrak truk. Pascow merasa perlu membalas budi atas
usaha Louis menyelamatkan nyawanya. Pascow versi modern ini lebih kelam nan
mengerikan. Kepalanya pecah, dengan otak yang masih berdenyut bisa kita lihat
jelas. Pun kali ini perilaku Pascow jauh lebih serius tanpa senyum di bibir
atau celetukan-celetukan usil.
Pagi berikutnya, Church kembali
meski dalam kondisi berbeda. Dia lebih beringas. Inilah awal mula tragedi-tragedi
lain yang jauh lebih besar. Nantinya, semakin sulit bagi Louis mempertahankan
kepercayaan bahwa “kematian itu natural”, sementara Rachel bertambah sering berhalusinasi,
kerap melihat penampakan mendiang kakaknya, yang Pet Sematary manfaatkan untuk menambal minimnya jump scare supaya penonton tak
kebosanan.
Menyokong narasi suramnya adalah
performa Jason Clarke yang mumpuni mempresentasikan proses degradasi mental karakternya
yang berlangsung bertahap. Kita bisa melihat gradasi kondisi psikis Louis dari
matanya. Sedangkan terkait teror, duo sutradara, Kevin Kölsch dan Dennis
Widmyer (Starry Eyes, Absence),
mungkin belum begitu piawai membagun tensi dan atmosfer, namun cukup apik
melukiskan beberapa disturbing imageries.
Penonton yang familiar akan materi Pet Sematary pasti menantikan tibanya
momen besar yang mengubah arah kisahnya menuju ranah jauh lebih gelap. Momen
tersebut dipertahankan walau terdapat perubahan yang menghasilkan berbagai dampak
positif. Pertama, momen tersebut takkan kehilangan efek kejut walau anda telah
mengetahui detail alurnya, sebab bukan cuma naskah, pengadeganan Kölsch dan
Widmyer pun sukses mengecoh, membuat saya mengira peristiwa serupa akan
terjadi, sebelum ekspektasi tersebut diruntuhkan pada detik terakhir.
Kedua, timbul impresi lebih kuat
jika segala tragedi maupun teror bukan semata kebetulan, melainkan ada campur
tangan tanah pemakaman terkutuk tadi, sesuatu yang oleh film sebelumnya cuma
dijadikan trivia sambil lalu.
Terakhir, berkat perubahan di atas, Pet
Sematary mempunyai babak ketiga yang lebih dinamis. Alih-alih sekadar
formula slasher monoton, hadir pula
elemen drama psikologis menarik.
(SPOILER STARTS) Berbeda dengan Gage yang tewas di novel dan versi
1989, Ellie sudah cukup besar guna memahami apa yang menimpa dirinya. Dia bukan
sebatas mesin pembunuh berwujud mayat
hidup, namun monster keji nan menyeramkan yang tidak hanya sanggup melukai
fisik kedua orang tuanya, juga psikis. (SPOILER
ENDS)
Tidak semua perubahan berujung
positif, dan sayangnya, satu-satunya yang berdampak negatif justru bertempat di
titik akhir. Konklusi baru Pet Sematary
melucuti tragedi dan ironi seputar kematian sosok tercinta yang mendorong
seseorang nekat berbuat hal-hal gila tak terkira. Ending pilihan Jeff Buhler nihil bobot emosi mencekik, seolah
dibuat semata-mata agar tampil beda
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
14 komentar :
Comment Page:Sebenernya banyak elemen elemen menarik yg bikin film ini bagus di awal, krisis iman si bapak, trus ketakutan maknya sama adiknya, cmn mnurut saya ga imbang , di awal udh dibikin bagus tp ending klimaks nya seperti dipaksa cepet bad ending. Udh agak sadar sebenernya sblum nonton kok durasi nya pendek, pas udh nonton udh mau nyampe akhir film , kok si ellie baru mati. Afterlife ellie kurang di gali aja sih.
Dan saya dilanda galau malam ini lebih baik nonton ini atau mantan manten ? S
Wah beda genre tuh, nonton dua2nya aja haha
Paruh pertama agak lama karena buat bangun pemahaman gimana karakternya menyikapi kematian. Paruh keduanya emang sebatas jadi payoff buat horornya. Ini masih mending, di versi 1989 sama sekali nggak ada eksplorasi si anak yang udah bangkit, cuma jadi full slasher yang medioker.
Oh Mantan Manten juga horor kok haha
Pilih Mantan Manten. Bagus dan layarnya tinggal dikit
Menurutku masih lebih menyayat hati yg versi 1989. Karena di situ si bapak dipaksa ngebunuh anaknya yg masih balita. Gage memang tidak menyerang secara psikis, tapi justru itu yg bikin kita merasa Gage juga sebagai korban. Sedangkan di sini si Ellie tampil menyerang secara psikis yg justru bikin kita sebel sama dia dan pingin dia mati.
Horror bagi mereka yang mau kawin tapi gak jadi kawin huhu
Film kesayangan ezra..eh..the flash...😁😁
Betul banget si Flash bilang Pet Sematary. Soalnya Superman sebelum mati selalu dark, cemberut, sedih tapi setelah dibangkitkan dia jadi murah senyum dan ceria.
Bang gw dh nonton trailer joker. And... wow, ngeri.
Bikin reviewnya dong tntng trsilernya
Perspektif ini ada benernya. Tergantung gimana tiap penonton menyikapi tema yang filmnya tawarkan
Akhirnya milih pet sematary dan lumayan menyesal aplg ntn endingnya. Gak dapet emosinya padahal di paruh pertama film aplg scene ellie mati dan pas di makamkan itu emosi dapet bgt.
Saya beri apresiasi buat pemeran ellie. Bagaimana dia memainkan mimik wajah dan mata itu cukup baik utk anam seusianya
yes movie is amazing. there are many whatsapp web groups talking about this film.
Saya belum pernah lihat yg versi jadul dan tidak berekspektasi apa apa dan menurut saya bagus filmnya lebih bagus dibandingkan film2 horor indonesia yang tayang bulan ini 7/10
Posting Komentar