PET SEMATARY (2019)

14 komentar
(Review ini mengandung SPOILER)
Serupa versi tahun 1989, adaptasi novel berjudul sama karya Stephen King ini bukan horor yang mengedepankan teror menghentak, melainkan presentasi tentang duka dan bagaimana manusia cenderung takut terhadap kematian, termasuk kematian orang tercinta yang akan meninggalkan lubang menganga yang menyakitkan di hati.

Sebuah keluarga baru saja pindah ke kota kecil di sekitar Ludlow, Maine. Sang ayah, Louis (Jason Clarke) dalah dokter yang berharap kepindahan itu memberinya lebih banyak waktu senggang untuk dihabiskan bersama sang istri, Rachel (Amy Seimetz), serta kedua anaknya: Ellie (Jeté Laurence) yang berumur sembilan tahun dan si balita, Gage (diperankan saudara kembar Hugo Lavoie dan Lucas Lavoie).

Pet Sematary bergerak cepat dengan langsung membawa karakternya menemukan pemakaman hewa titular-nya, saat Rachel dan Ellie melihat serombongan anak bertopeng hewan mengerikan tengah menjalankan proses penguburan bagi seekor anjing. Pemandangan itu membuat Ellie terus berpikir soal kematian, khawatir jika suatu hari, Church, si kucing kesayangan, akan pergi untuk selamanya. Louis coba menjelaskan konsep kematian sebagai peristiwa lumrah yang mustahil dicegah dan tak perlu dikhawatirkan.

Sebaliknya, Rachel memilih memperhalus penjelasannya, berkata bahwa saat seseorang meninggal, ia akan pergi ke surga untuk menjaga kerabat-kerabatnya yang masih hidup dari atas. Rachel memandang realita soal kematian begitu mengerikan pasca peristiwa traumatis semasa kecil, ketika sang kakak meninggal secara mengenaskan akibat meningitis tulang belakang.

Dari beberapa perbincangan antar karakter, bila sudah menonton versi lawasnya, anda bakal menikmati kecerdikan naskah buatan Jeff Buhler (The Midnight Meat Train, The Prodigy) menyiratkan peristiwa-peristiwa yang menanti di depan. Tapi tidak perlu menonton film pendahulunya atau membaca novelnya untuk tahu bahwa Church adalah yang pertama meregang nyawa. Mayatnya ditemukan oleh sang tetangga, Jud (diperankan John Lithgow lewat kemampuan memberi kedalaman dan empati pada karakternya). Church tewas terlindas truk yang memang senantiasa melintas dengan kecepatan tinggi di jalan depan pemukiman.

Louis berniat menyembunyikan itu dari Ellie, namun Jud mencetuskan ide yang “lebih baik. Dibawanya Louis ke sebuah tanah misterius di perbukitan di atas Pet Sematary guna mengubur Church, yang ternyata merupakan pemakaman Indian, yang konon mampu membangkitkan mereka yang telah mati. Sejatinya Louis sudah diperingatkan oleh arwah Victor Pascow (Obssa Ahmed), remaja yang tewas ditabrak truk. Pascow merasa perlu membalas budi atas usaha Louis menyelamatkan nyawanya. Pascow versi modern ini lebih kelam nan mengerikan. Kepalanya pecah, dengan otak yang masih berdenyut bisa kita lihat jelas. Pun kali ini perilaku Pascow jauh lebih serius tanpa senyum di bibir atau celetukan-celetukan usil.

Pagi berikutnya, Church kembali meski dalam kondisi berbeda. Dia lebih beringas. Inilah awal mula tragedi-tragedi lain yang jauh lebih besar. Nantinya, semakin sulit bagi Louis mempertahankan kepercayaan bahwa “kematian itu natural”, sementara Rachel bertambah sering berhalusinasi, kerap melihat penampakan mendiang kakaknya, yang Pet Sematary manfaatkan untuk menambal minimnya jump scare supaya penonton tak kebosanan.

Menyokong narasi suramnya adalah performa Jason Clarke yang mumpuni mempresentasikan proses degradasi mental karakternya yang berlangsung bertahap. Kita bisa melihat gradasi kondisi psikis Louis dari matanya. Sedangkan terkait teror, duo sutradara, Kevin Kölsch dan Dennis Widmyer (Starry Eyes, Absence), mungkin belum begitu piawai membagun tensi dan atmosfer, namun cukup apik melukiskan beberapa disturbing imageries.

Penonton yang familiar akan materi Pet Sematary pasti menantikan tibanya momen besar yang mengubah arah kisahnya menuju ranah jauh lebih gelap. Momen tersebut dipertahankan walau terdapat perubahan yang menghasilkan berbagai dampak positif. Pertama, momen tersebut takkan kehilangan efek kejut walau anda telah mengetahui detail alurnya, sebab bukan cuma naskah, pengadeganan Kölsch dan Widmyer pun sukses mengecoh, membuat saya mengira peristiwa serupa akan terjadi, sebelum ekspektasi tersebut diruntuhkan pada detik terakhir.

Kedua, timbul impresi lebih kuat jika segala tragedi maupun teror bukan semata kebetulan, melainkan ada campur tangan tanah pemakaman terkutuk tadi, sesuatu yang oleh film sebelumnya cuma dijadikan trivia sambil lalu. Terakhir, berkat perubahan di atas, Pet Sematary mempunyai babak ketiga yang lebih dinamis. Alih-alih sekadar formula slasher monoton, hadir pula elemen drama psikologis menarik.

(SPOILER STARTS) Berbeda dengan Gage yang tewas di novel dan versi 1989, Ellie sudah cukup besar guna memahami apa yang menimpa dirinya. Dia bukan sebatas  mesin pembunuh berwujud mayat hidup, namun monster keji nan menyeramkan yang tidak hanya sanggup melukai fisik kedua orang tuanya, juga psikis. (SPOILER ENDS)

Tidak semua perubahan berujung positif, dan sayangnya, satu-satunya yang berdampak negatif justru bertempat di titik akhir. Konklusi baru Pet Sematary melucuti tragedi dan ironi seputar kematian sosok tercinta yang mendorong seseorang nekat berbuat hal-hal gila tak terkira. Ending pilihan Jeff Buhler nihil bobot emosi mencekik, seolah dibuat semata-mata agar tampil beda

14 komentar :

Comment Page:
Syahrul Tri mengatakan...

Sebenernya banyak elemen elemen menarik yg bikin film ini bagus di awal, krisis iman si bapak, trus ketakutan maknya sama adiknya, cmn mnurut saya ga imbang , di awal udh dibikin bagus tp ending klimaks nya seperti dipaksa cepet bad ending. Udh agak sadar sebenernya sblum nonton kok durasi nya pendek, pas udh nonton udh mau nyampe akhir film , kok si ellie baru mati. Afterlife ellie kurang di gali aja sih.

Kvinstiono mengatakan...

Dan saya dilanda galau malam ini lebih baik nonton ini atau mantan manten ? S

Anonim mengatakan...

Wah beda genre tuh, nonton dua2nya aja haha

Rasyidharry mengatakan...

Paruh pertama agak lama karena buat bangun pemahaman gimana karakternya menyikapi kematian. Paruh keduanya emang sebatas jadi payoff buat horornya. Ini masih mending, di versi 1989 sama sekali nggak ada eksplorasi si anak yang udah bangkit, cuma jadi full slasher yang medioker.

Rasyidharry mengatakan...

Oh Mantan Manten juga horor kok haha

Pilih Mantan Manten. Bagus dan layarnya tinggal dikit

Fajar mengatakan...

Menurutku masih lebih menyayat hati yg versi 1989. Karena di situ si bapak dipaksa ngebunuh anaknya yg masih balita. Gage memang tidak menyerang secara psikis, tapi justru itu yg bikin kita merasa Gage juga sebagai korban. Sedangkan di sini si Ellie tampil menyerang secara psikis yg justru bikin kita sebel sama dia dan pingin dia mati.

Safri mengatakan...

Horror bagi mereka yang mau kawin tapi gak jadi kawin huhu

aan mengatakan...

Film kesayangan ezra..eh..the flash...😁😁

Fajar mengatakan...

Betul banget si Flash bilang Pet Sematary. Soalnya Superman sebelum mati selalu dark, cemberut, sedih tapi setelah dibangkitkan dia jadi murah senyum dan ceria.

Anonim mengatakan...

Bang gw dh nonton trailer joker. And... wow, ngeri.

Bikin reviewnya dong tntng trsilernya

Rasyidharry mengatakan...

Perspektif ini ada benernya. Tergantung gimana tiap penonton menyikapi tema yang filmnya tawarkan

Kvinstiono mengatakan...

Akhirnya milih pet sematary dan lumayan menyesal aplg ntn endingnya. Gak dapet emosinya padahal di paruh pertama film aplg scene ellie mati dan pas di makamkan itu emosi dapet bgt.

Saya beri apresiasi buat pemeran ellie. Bagaimana dia memainkan mimik wajah dan mata itu cukup baik utk anam seusianya

fastyard2 mengatakan...

yes movie is amazing. there are many whatsapp web groups talking about this film.

jazzeldiyast mengatakan...

Saya belum pernah lihat yg versi jadul dan tidak berekspektasi apa apa dan menurut saya bagus filmnya lebih bagus dibandingkan film2 horor indonesia yang tayang bulan ini 7/10