PM NARENDRA MODI (2019)
Rasyidharry
Mei 25, 2019
Anirudh Chawla
,
Biography
,
Hindi Movie
,
Kurang
,
Omung Kumar
,
REVIEW
,
Sandip Ssingh
,
Sunita Radia
,
Vivek Oberoi
6 komentar
Disutradarai oleh Omung Kumar (Sarbjit, Bhoomi) yang menyatakan diri
sebagai pengagum Narendra Modi, tidak mengejutkan kala film mengenai Perdana
Menteri keempat belas India ini terasa bagai kuil pemujaan. PM Narendra Modi adalah biografi
politikus yang didesain layaknya hagiografi. Padahal, di samping cacat
tersebut, terselip banyak elemen-elemen menjanjikan.
Prolognya klise, yakni tentang
bagaimana ini bukan kisah soal seorang pria, tapi negara. Hampir semua film
pengusung nasionalisme menerapkan narasi tersebut. Jadi persiapkan diri melihat
situasi cheesy, misalnya saat Modi
cilik, dengan senyum penuh kebanggaan, menghormati bendera di tegah jalan.
Kehidupan Narendra Modi (Vivek
Oberoi) yang dipresentasikan film ini sebenarnya menarik. Berangkat dari
keluarga miskin penjual teh, Modi memilih melakukan selibat dan hidup megembara
sebagai pertapa, menjadi aktivis penuh ide cemerlang di RSS (Rashtriya
Swayamsevak Sangh) untuk meruntuhkan pemerintahan korup, membakar nasionalisme
rakyat dengan mendirikan bendera di tengah zona merah, lalu menjadi Ketua
Menteri Gujarat.
Dinamika hidup Modi membuat aliran
alur lebih kaya dan berwarna. Bahkan gelaran aksi sesekali mengisi, saat serangan
teroris serta kerusuhan pecah, termasuk kerusuhan berlandaskan agama di Gujarat
tahun 2002, yang merupakan kontroversi terbesar sepanjang karir Modi. Ditulis
oleh Vivek Oberoi dan Anirudh Chawla, berdasarkan cerita buatan Sandip Ssingh,
naskahnya tahu cara mengubah biografi politikus jadi hiburan bagi kalangan
luas. Pergerakan ceritanya mulus, urung terjebak pada pembagian babak-babak
kasar yang kerap menjangkit biopic, sementara
sinematografi cantik garapan Sunita Radia (Hate
Story IV, Baadshaho) bisa mewakili skala filmnya yang cukup besar.
Masalahnya terletak pada penokohan
sang protagonis. Digambarkan sebagai politisi jujur pembenci koruptor yang
bersedia turun ke lapangan dan bekerja secara nyata untuk membuktikan komitmen
selaku pelayan masyarakat, tentu banyak pihak memusuhi Modi. Rekan partainya
iri atas popularitas Modi, sedangkan oposisi menempuh segala cara demi
menjatuhkannya, dari serangan lewat isu agama hingga mengontrol pemberitaa
negatif di televisi (Kok terdengar familiar ya?). Bahkan teroris Pakistan
menginginkan nyawanya. Tapi tak sekalipun Modi tersudut.
Dia sedih, terpukul, terkejut,
cemas, namun selalu muncul dengan solusi secepat kilat, yang menariknya (baca:
anehnya) tak pernah gagal. Bukan saja orang suci yang mengedepankan kemanusiaan
dan bersedia mengorbankan nyawa demi negara, rupanya Modi juga sosok jenius.
Menurut film ini, Narendra Modi adalah manusia sempurna yang tidak terhentikan.
Terlalu sempurna, sampai sulit menganggap serius karakterisasinya, biarpun
Oberoi telah berusaha maksimal memerankan figur karismatik yang keras namun berhati
mulia. Sebab tokoh yang dia mainkan bukan manusia, tapi karikatur kartun.
Oberoi pun total menghantarkan
deretan pidato membara Modi, tapi dampak yang dihasilkan minimum, karena hampir
semua kata yang keluar dari mulut sang Perdana Menteri terdengar bak orasi,
bahkan ketika ia berbicara dalam situasi privat. PM Narendra Modi berambisi tampil sebesar dan sepenting mungkin, ambisi
yang menjadikannya sebuah eksploitasi keagungan. Tapi ada satu momen menyentuh,
tepatnya selepas kekacauan di Gujarat, saat umat Islam dan Hindu berkumpul,
lalu saling bergandengan tangan. Dramatisasinya berlebihan, tapi hati saya
tergerak. Mungkin karena saya memimpikan situasi serupa jadi pemandangan biasa
di negeri ini.
Cheesy, tetapi Omung Kumar lebih
piawai menangani situasi sederhana macam itu ketimbang pengadeganan berskala
besar sebagaimana dipertontonkan klimaksnya, yang menampilkan kenekatan Modi tetap
berkampanye di depan jutaan manusia, meski laporan intelijen memperingatkan jika
beberapa teroris Pakistan sedang mengincar nyawanya. Ketegangan memudar akibat
kebingungan Kumar menentukan perpaduan tepat antara orasi Narendra Modi dan elemen
thriller dalam usaha mencari posisi
teroris selaku media pembangun intensitas.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Bang kl dipikir2 gw suka penasaran bgmn rasanya dirimu nonton semua film dari a - z dari yg kualitas jempolan sampe ecek2, dari yg bernarasi kuat sampai film yg gak niat dibuat. Dan tanpa lu yg nonton semua itu, gak bakalan ada review2 jempolan yg gw baca tiap saat mau nonton, yg membawa gw dan kita semua ke ruang cinema dan keluar dgn senyum lebar dan yg menyelematkan gw dr mengeluarkan uang untuk nonton film yg lu beri 1 2 bintang... I appreciate you dude
Heuu terharu bacanya. Thanks a lot, udah mau jadiin tulisan ini referensi nonton. Rasanya gimana ya? Mungkin jadi nggak gampang kaget kalau nemu yang ancur, kayak, "Ah, udah pernah nonton yang lebih parah". Dan masih bersedia nonton yang ancur karena percaya, next time, pasti bakal nonton yang buaagus banget buat jadi obat penawarnya. Dan jadi terlatih apresiasi film. I believe, there's always something good that can pleases us inside a movie (kecuali felem yang parah banget). Makanya termasuk jarang kan kasih review negatif :)
Bakal ngereview The Perfection di Netflix ga mas rasyid? Filmnya terinspirasi dari film park Chan Wook, terutama The Handmaiden
Serius ini loh bang gw kalo mau ntn wajib dan kudu baca reviewnya bang rasyid dl, biasa malah ngubek2 page yg di belakang sampe film2 absurd macam dogtooth akhirnya saya tonton hahhaha.
Sukses trs bang reviewnya, diseling2 sama film2 keluaran lama bole juga tuh bang, biar nambah file mkv juga d dekstop
Hehe kalau film jadul sayangnya udah nggak memungkinkan. Dulu sempet karena zaman kuliah, masih selow 😂
Nah belum juga sempet nonton ini. Kemarin niat mau review 'Knock Down the House' tapi ternyata nggak terlalu spesial, jadi batal hehe
Posting Komentar