CRAWL (2019)
Rasyidharry
Juli 11, 2019
Alexandre Aja
,
Barry Pepper
,
Cukup
,
horror
,
Kaya Scodelario
,
Michael Rasmussen
,
REVIEW
,
Shawn Rasmussen
8 komentar
Begitu kredit bergulir, lagu klasik
See You Later Alligator milik Bill
Haley (kemungkinan dari sini nama protagonisnya berasal) dimainkan. Lagu ceria
yang terdengar menggelitik, mengingat Crawl
adalah horor tentang serangan aligator. Mendengar lagu tersebut, saya
berandai-andai, “Mungkin sebaiknya, keseluruhan film ini menerapkan pendekatan
serupa”.
Bukan berarti menjadi presentasi campy layaknya seri Lake Placid, tapi melucuti drama keluarga murahan miliknya jelas
takkan menghasilkan dampak buruk. Pun bisa dirasakan betapa sutradara Alexandre
Aja (High Tension, The Hills Have Eyes,
Piranha 3D) beserta duo penulisnya, Shawn dan Michael Rasmussen (The Ward, The Inhabitans), tidak kuat
berlama-lama berkutat di keseriusan, hingga sesekali mencoba “nakal” dengan
menyelipkan guyonan.
Kisahnya mengedepankan sosok Haley
Keller (Kaya Scodelario), atlet renang yang dalam adegan pembuka, diperlihatkan
baru mengalami kekalahan di suatu latih tanding. Hubungan Haley dengan sang
ayah, Dave (Barry Pepper), renggang. Padahal, dahulu Dave merupakan pelatih
renang Haley, yang selalu menyebutnya “apex
predator”, sebagai motivasi agar sang puteri urung menyerah.
Segala informasi tersebut muncul
pada 10 menit pertama, sebagai upaya overshadowing
klise mengenai apa yang tokoh utamanya harus hadapi kala terperangkap di
rubanah yang terendam air akibat badai kategori 5, bersama beberapa ekor
aligator. Haley harus mengembalikan kepercayaan diri dengan memakai talentanya
(berenang), untuk melawan predator yang punya habitat natural di air, guna
membuktikan statusnya sebagai “apex”.
Tentu saja pertarungan itu juga berperan mendekatkan Haley dan Dave.
Bentuk overshadowing di atas, menegaskan ketidakcakapan kedua penulis,
yang seperti terpaksa bermain sesuai pola. Pilihan waktu bagi penempatan
momentum emosionalnya hampir selalu canggung, seringkali menghancurkan
intensitas, pula diisi dialog-dialog cheesy
yang bakal membuatmu merinding tanpa perlu melibatkan terkaman aligator.
Setiap drama merangsek, Crawl kehilangan pijakan. Beruntung,
selaku horor soal aligator, film ini bersinar ketika sang monster unjuk gigi.
Aja tak berinovasi, namun menunjukkan kapasitas sutradara horor berpengalaman
yang menguasai metode memaksimalkan formula. Berbeda dibanding paparan
dramanya, jump scare milik Aja
dibungkus timing sempurna, hingga
selalu berhasil menghentak. Aja pun jeli mengkreasi creepy imageries. Kuncinya satu: Seutuhnya menjadikan aligator monster
ketimbang hewan buas biasa. Bahkan di sebuah kesempataan, aligator yang muncul
di belakang protagonis nampak bak monster mistis dari horor supernatural (werewolf was the first one that came to mind).
Serahkan kepada Alexandre Aja
perihal menyiksa karakter-karakternya. Mereka merangkak di rubanah gelap nan
kotor, becek, dan saya yakin beraroma busuk. Tubuh mereka basah, berantakan,
juga bersimbah darah akibat luka-luka, yang seiring waktu berlalu, makin fatal.
Dan sudah bisa diduga, Aja kembali piawai memuaskan hasrat penonton pencari
sadisme.
Mendapat siksaan sedemikian rupa
(karakternya), totalitas Kaya Scodelario pun pantas dapat perhatian. Benar
bahwa ia tak memiliki kesubtilan atau kemampuan olah emosi tingkat tinggi, yang
menyebabkan tuturan dramanya makin tak karuan, tetapi ia adalah scream queen bertalenta dengan teriakan
yang mampu memantik adrenalin, sekaligus protagonis menghibur. Sewaktu sesekali
para penulisnya bosan memainkan keseriusan lalu usil melontarkan humor, Kaya
berhasil menanganinya.
Memasuki babak ketiga, makin banyak
aligator terlibat, sementara cuaca enggan berhenti menggila, yang sejatinya
memberi panggung sempurna bagi klimaksnya. Sayang, sekali lagi Crawl tertahan oleh pagar yang dipasang
sendiri. Pagar berbentuk penolakan tampil campy.
Alhasil, tercipta batasan tentang apa saja yang bisa ditampilkan. Alih-alih
berpikir kreatif demi memecahkan keterbatasan itu, para penulis memilih
menyeleaikan filmnya, tatkala masih banyak hal yang bisa ditawarkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:Bagusan mana dgn Lake Placid yg pertama?
Ditunggu mas reviewnya dua garis biru
Sama dgn diatas. Review kan 2 Garis Biru Dong Oom. ane sendiri ga kan nonton ,,cuma kebetulan baru bgt lewat Bioskop 21 , antrinya dari loket tiket sampe ujung ruangan loby 21 nya. yg antri 90% Abg. Dan bbrapa bawa selebaran/poster film 2GB itu. Entah memang se menarik itu film nya ,, jadi penasaran.
Karna tema yang di angkat itu berani bgt dan masih dianggap tabu bagi masyarakat indonesia
Mungkin mereka sedang mencari petunjuk untuk solusi masalah yg sedang mereka hadapi.
itu serius sutradaranya ga punya nama belakang? Namanya jadi Alexandre aja?
Ada sedikit spoiler gpp yak, dikiiiiit aja kok, klo yg nggk mau spoiler jangan baca..
Mas Rasyid,
Nih baru kelar midnight Crawl..
Baru kali ini popcorn masih ada sisa sampai akhir film..
Minum abis gegara kaget² muluk jadi harus minum, ahahhaha..
Spoiler alert:
Nggk masuk akal sih yak, seorang ayah yang sekarat bisa selamat, padahal seorang safeguard -harusnya lebih terlatih- yang sehat, KO dalam hitungan menit..
Gimana tuh menurut Mas Rasyid?
Anyway, menghibur sih, nggk ngantuk walaupun nuntun pas midnight..
Ya kalau saya sih soal masuk akal/nggak macam itu sudah dilupakan sedari awal mutusin nonton felem model beginian :)
Posting Komentar