DETECTIVE CONAN: THE FIST OF BLUE SAPPHIRE (2019)
Rasyidharry
Juli 24, 2019
Animated
,
Japanese Movie
,
Kappei Yamaguchi
,
Katsuo Ono
,
Kurang
,
Minami Takayama
,
Nobuyuki Hiyama
,
REVIEW
,
Rikiya Koyama
,
Takahiro Okura
,
Tomoka Nagaoka
,
Wakana Yamazaki
16 komentar
Saya meninggalkan anime Detective Conan selepas tidak lagi
menonton televisi, berhenti membaca komiknya karena tak kunjung usai, dan
meninggalkan film layar lebarnya yang lebih mementingkan aksi bombastis (adaptasi
anime populer selalu demikian) ketimbang
misteri, yang mana memancing ketertarikan saya akan seri ciptaan Gosho Aoyama
ini dahulu. Pilihan itu sejatinya bisa dipahami, karena filmnya harus tampil
sinematik, berbeda dibanding versi lain, sehinngga penonton punya alasan untuk
mengeluarkan uang lebih.
Detective Conan: The Fist of Blue Sapphire merupakan installment terlaris kedua dalam franchise-nya, berhasil mengangkangi Avengers: Endgame di peringkat box office, serta merupakan film Detective Conan pertama yang mengambil
latar internasioal (Singapura). Saya pun merasa ini waktunya kembali menjajal
aksi Conan Edogawa memecahkan misteri. Dan jika kebetulan anda juga penggemar lama
yang coba kembali, The Fist of Blue
Sapphire adalah pilihan tepat. Anda takkan tersesat, karena di luar para
tokoh utama, hanya ada nama-nama lama seperti Kaito Kid (Kappei Yamaguchi) dan
Makoto Kyogoku (Nobuyuki Hiyama).
Kisahnya bermula saat seorang
wanita terbunuh di Singapura. Tidak lama setelah ia meregang nyawa, terjadi
ledakan yang menimbulkan kekacauan, sebelum tiba-tiba cairan merah seperti
darah muncrat dari Merlion. Peristiwa terakhir tampak mengerikan, mencengangkan,
dan misterius, meski sayang, jawaban yang filmnya siapkan atas anomali tersebut
amat mengecewakan.
Kemudian bertemulah kita dengan Ran
(Wakana Yamazaki), Sonoko (Naoko Matsui), dan Kogoro (Rikiya Koyama) yang
mengunjungi Singapura guna menonton kompetisi karate di mana Makoto turut
serta. Conan (Minami Takayama) yang awalnya kecewa tidak bisa ikut akibat
masalah paspor, kaget ketika ia mendadak terbangun di Singapura. Kekagetannya
bertambah saat mendapati ada Shinichi lain tengah bersama Ran. Tentu kita itu
adalah samaran Kaito Kid.
Kali ini Kid berusaha mencuri batu
safir legendaris yang ditatahkan di sabuk juara kompetisi karate yang Makoto
ikuti. Tapi bukan hanya itu intensinya. Kembali ke pembunuhan di awal film, polisi
menemukan kartu Kid yang berlumuran darah, otomatis menjadikannya tersangka. Di
situlah ia memerlukan bantuan Conan guna membersihkan nama baiknya, dengan cara
mencari sang pembunuh sebenarnya.
Naskah buatan Takahiro Ohkura (Detective Conan: Crimson Love Letter)
tidak menampilkan misteri, atau setidaknya bukan misteri yang cukup kuat untuk
mencengkeram atensi. Sejak awal kita sudah mengetahui siapa pelakunya. Bahkan
filmnya pun tak berusaha menutupi itu. Pertanyaan yang tersisa bukan “siapa”,
melainkan “bagaimana”. Bagaimana trik pembunuhan tersebut? Sebuah pertanyaan
yang dikesampingkan oleh Takahiro atas nama gelaran aksi.
Sebagai film yang memiliki
protagonis detektif, The Fist of Blue
Sapphire begitu minim momen investigasi. Tanpa proses penyelidikan
bertahap, kita langsung dihadapkan pada fase deduksi di paruh akhir, yang turut
menyelipkan twist berlapis. Alih-alih
mengejutkan, twist-nya semakin
membuat penceritannya terlihat bak benang kusut. Sebuah twist yang datang entah dari mana, tanpa pondasi memadai, dan
terasa mencurangi penonton.
Dan sebagai film yang memiliki
protagonis detektif jenius, The Fist of
Blue Sapphire terlalu gemar menampilkan kebodohan. Kebimbangan hati akibat
intimidasi tak masuk akal salah satu karakter memperlihatkan kebodohan Makoto,
keputusan mengejar mobil polisi di tengah sebuah kekacauan yang berujung
membahayakan keselamatannya membuktikan kebodohan Sonoko, pun rencana besar
sang antagonis tidak kalah bodoh.
Menariknya, sekuen aksi justru
muncul sebagai penyelamat. Walau pengarahan sutradara debutan Tomoka Nagaoka
(plus penyuntingan buruk) acap kali kacau akibat ketidaktepatan memilih fokus
dalam frame yang berakhir menciptakan
disorientasi membingungkan, secara keseluruhan ia cukup piawai membagun
intensitas. Dibantu animasi solid, laga puncak di klimaksnya memang seru. Dari
Conan, Kid, Makoto, sampai duet Kogoro-Ran, semua memamerkan kebolehan
masing-masing.
Tomoka pun mampu melahirkan sekuen
dramatis yang sedikit menyentuh definisi “indah” dalam mengemas peristiwa
sebelum klimaks, ketika ia mematikan semua suara kecuali musik berbasis
dentingan piano gubahan Katsuo Ono. Pun lagu tema buatan legendaris buatan sang
komposer masih ampuh membuat tubuh “mantan penggemar” seperti saya bergetar.
Sayang, keseluruhan filmnya tak mampu menumbuhkan keinginan untuk mengikuti
lagi serinya (dalam media apa pun).
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
16 komentar :
Comment Page:Entah, conan dibanding sama kindaichi ibarat kata bagai bumi dan langit hehe
Yup yg bikin malas conan di tv yah gitu udah kyk nnton actionnya dwayne johnson
Kalo baca komiknya dlu.. kalo bukan misteri pembunuhan pasti gw skip
Kindaichi yang dulu ya, pas masih sinting 😁
Yep, kurang lebih sama. Tapi kalau ada Kid/mitologi jubah hitam, bukan pembunuhan pun masih mau baca sih
Sepakat bang, ane cuma ngikutin kalo ceritanya tentang Conan lawan si Jubah Hitam.
Padahal movie jadulnya bagus bagus, kok makin kesini jadi tambah gini ya wkwk
Masih setia ngikutin komiknya (tidak film-nya) karena identitas Pemimpin Jubah Hitam terkuak sedikit demi sedikit
Bentar. Sejak chapter berapa identitas pemimpin jubah hitam mulai terkuak?
Kalau tease awalnya sih dulu banget, pas siluet Renya Karasuma
Udah lama brenti baca, selain alasan yg sama kek bang rasyid, saya juga bosen krn endingnya ketebak terus. Pelakunya biasanya yg terlihat paling lemah kalo gak yg paling baik... Ya gitu deh.
Udh lama engga ngikutin ini komik, apa kabar kawanan jubah hitam??
Sabar nunggu yang tahun depan aja lah, ada suara nya Akai dan aromanya bakal tentang Organisasi Hitam wkwkwkw..
Klo anime nya sndri saya udh g ngikutin kcuali ada case tentang kid atau jubah hitam
Film ini emang Kaito Kid sentris yang terfokus pada hubungan simbiosis mutualisme-nya dengan Conan semenjak kejadian di Jet Black Mystery Train (Anime episode 701-704), serta romansa Makoto dan Sonoko. Mungkin ini yang ingin dijejelin ke penonton. Lupakan sejenak Detective Boys, Black Organization, atau romansa Shinichi dan Ran. Film ini bukan tentang mereka :)
Makin banyak karakter baru yang berkaitan dengan mereka. Terutama tentang misteri siapa itu Rum, orang kedua yang berkuasa setelah Anokata di Black Organization
Kalo mau nonton the first of blue sapphire emangnya dimana
Terus terang saya lebih suka filmnya yang tahun 2018. Itu misterinya lebih dapet. Brgitu pun dengan emosinya. Kalo yang ini lebih ke hebohnya doank, sama ostnya yg ngisi artis kesayangan saya. Hehe...
Posting Komentar