MISSION MANGAL (2019)
Rasyidharry
Agustus 20, 2019
Akshay Kumar
,
Biography
,
Hindi Movie
,
Jagan Shakti
,
Lumayan
,
R. Balki
,
REVIEW
,
Vidya Balan
4 komentar
Mengadaptasi lepas dari pelaksanaan
Mars Orbiter Mission (MOM) pada 2013
yang menjadikan India sebagai negara Asia pertama yang berhasil mencapai orbit
Mars, sekaligus negara pertama di dunia yang sanggup melakukannya pada
percobaan perdana, Mission Mangal yang
perilisannya bertepatan dengan hari kemerdekaan India sekaligus perayaan 50
tahun berdirinya Indian Space Research
Organization (ISRO) yang sama-sama jatuh pada 15 Agustus, membawa penonton
mengamati proses di balik layar dari eksekusi misi bersejarah tersebut.
Sudah tentu kontennya kental
bernuansa sains, namun Mission Mangal enggan
mengalienasi penonton awam lewat teknik pendekatan bak soal cerita, di mana
pemahaman didapat dari mengaitkan teori dengan aspek kehidupan sehari-hari.
Karena tergolong awam, saya tak
bisa mengonfirmasi akurasi filmnya, namun begitu kisah berakhir, kemungkinan
besar anda dapat menjelaskan “5W1H” terkait proses peluncuran roket PSLV-XL
C25. Contohnya, dibebani keterbatasan bahan bakar, bagaimana cara menerbangkan
roket yang aslinya dibuat untuk ekspedisi ke bulan agar mencapai orbit Mars?
Guru yang buruk bakal memaksa
muridnya memahami teori akademis atau rumus fisika tanpa memperhatikan
kemampuan atau modal ilmu dasar mereka, yang niscaya cuma menghasilkan sakit
kepala. Tapi Mission Mangal adalah
guru yang baik. Naskah garapan empat penulis termasuk R. Balki yang tahun lalu
menyutradarai Pad Man, mengaitkan
problematika itu dengan logika soal penghematan gas dalam memasak roti.
Singkat, mudah dipahami, dan penonton tak perlu tersesat dalam upaya memahami
formula sains.
Cerita dibuka dengan menunjukkan
kekacauan rutinitas pagi hari Tara Shinde (Vidya Balan). Dia mesti menyiapkan
sarapan, menghadapi puterinya yang meributkan habisnya pasta gigi, sang suami
yang selalu mengeluh, dan putera yang sibuk di depan layar komputer membuat
musik. Tapi dia bukan ibu rumah tangga. Tara adalah anggota ISRO. Dua aktivitas
yang sekilas bertolak belakang, namun sejatinya saling mengisi. Nantinya, Tara—dan
para ilmuwan lain—membuktikan itu saat mencetuskan ide-ide brilian yang
terinspirasi dari elemen keseharian, membuat filmnya menarik sekaligus gampang
dimengerti.
Tara merupakan anggota tim yang
dipimpin Rakesh Dhawan (Akhsay Kumar). Tim ini baru saja mengalami kegagalan
akibat kekeliruan analisis Tara, menyebabkan Rakesh “diasingkan” ke program
Mars yang kurang mendapat perhatian dari ilmuwan lain. Mengapa? Karena program
ini dianggap mustahil.
Merasa bersalah, Tara menawarkan
bantuan kepada Rakesh, meyakinkannya bahwa meluncurkan roket ke Mars bukan
kemustahilan walau membutuhkan kerja keras dan kesabaran. Benar saja, masalah
tak henti menghadang. Selepas diberi lampu hijau, keterbatasan terus saja jadi
lawan. Pemerintah menolak menyuntikkan dana bagi program dengan persentase
keberhasilan kecil, pun Rakesh dan Tara cuma disediakan anggota yang terdiri
dari muda-mudi kurang pengalaman, atau malah karyawan lansia.
Tapi tentu, mengikuti pola from zero to hero, kelak tim itu bakal
membuktikan kapasitasnya. Mereka hanya berlian yang belum terasah. Naskahnya
pun mampu menangani jajaran ensemble dengan
membagi sama rata kesempatan bersinar, kala satu per satu berkesempatan
memamerkan keahlian lewat metode-metode kreatif dalam menyelesaikan masalah.
Pujian serupa sayangnya tak bisa
diberikan kepada penanganan terhadap deretan subplot dan subteks. Sewaktu pesan
“Kejar mimpimu. Mimpi bukan sesuatu yang kamu lihat saat tidur. Mimpi adalah
sesuatu yang membuatmu tidak bisa tidur” mampu menambah bobot emosi serta
kehangatan—seperti dalam sebuah flashback
ketika anggota tim mengingat kali pertama mereka bermimpi menjadi ilmuwan—ada
juga kisah setengah matang dalam wujud konflik keluarga Tara, yang awalnya
berjalan apik serta kompleks, hanya untuk diakhiri dengan terlampau mudah.
Dan ketika elemen soal perpaduan
religi dengan sains berupa proses saling melengkapi atara kekuatan doa dan ilmu
pengetahuan jadi suatu selipan segar, Mission
Mangal membuang kesempatan mempresentasikan tuturan kuat tentang women’s empowerment. Tidak seutuhnya
dikesampingkan, hanya masih “malu-malu”. Fakta bahwa tim mayoritas diisi wanita
mengingatkan saya akan Hidden Figures, sayangnya
elemen ini kurang diberi sorotan. Silahkan baca kisah sesungguhnya dan anda
bakal menemukan perjuangan para wanita yang lebih luar biasa.
Meninjau segi teknis, pencapaian Mission Mangal jelas tidak bisa dipandang
remeh, termasuk CGI solid dalam membungkus peluncuran roket. Biarpun klimaksnya
agak goyah dan terasa kosong dibanding babak-babak sebelumnya akibat Jagan
Shakti selaku sutradara cenderung menitikberatkan pada pemanangan digital
(layar komputer, satelit yang mengorbit) ketimbang aspek humanis, keeluruhan, Mission Mangal tetap suguhan dengan
hati. Tidak banyak tontonan dengan kadar sains kental mampu menampilkan proses
di balik layar dengan lumayan komplet sembari menjadi hiburan yang gampang
diakses segala kalangan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Mas Rasyid, nobton film yg ini di manakah..?
Trims. 🙏
Di bioskop, tapi emang seperti biasa, tayang terbatas
Wah iya.. tadi sempat buka page XXI Jakarta rupanya tayang di 2 sinema.
Surabaya gak berani tayang ini.. sayang, sy penggemar sci-fi.
Mungkin karena pangsa market film Hindi kecil di sini.
Iya sayang banget. Selalu terbatas kecuali film-film SRK atau mega blockbuster. Padahal banyak yang bagus
Posting Komentar