PERBURUAN (2019)
Rasyidharry
Agustus 16, 2019
Adipati Dolken
,
Ayushita
,
Drama
,
Egy Fedli
,
Husein M. Atmodjo
,
Indonesian Film
,
Kevin Andrean
,
Kurang
,
Otig Pakis
,
Purwacaraka
,
REVIEW
,
Richard Oh
,
Yoyok Budi Santoso
8 komentar
Menyutradarai sekaligus menulis
naskahnya bersama Husein M. Atmodjo (Midnight
Show, 22 Menit, Sekte), Richard Oh (Melancholy
is a Movement, Terpana, Love is a Bird) mendesain Perburuan, selaku adaptasi novel berjudul sama karya Pramoedya
Ananta Toer, sebagai sebuah perenungan. Perenungan atas ideologi, perenungan
atas secercah cahaya harapan di tengah kegelapan. Perenungan yang sayangnya
belum mampu menyeret penonton agar ikut merenungi, apalagi merasakan gejolak karakternya.
Hardo (Adipati Dolken) adalah
prajurit PETA yang terlibat pemberontakan 14 Februari 1945 di bawah pimpinan
Soeprijadi (Kevin Andrean). Bersama rekan-rekannya, perlawanan Hardo
dimentahkan prajurit Nippon, memaksa mereka kabur, mengasingkan diri, hidup
layaknya pengemis menghindari perburuan para penjajah. Semasa pengasingan,
Hardo meninggalkan orang-orang terdekatnya, dari sang ayah (Otig Pakis) yang
dipocot dari jabatan sebagai Wedana hingga tunangannya, Ningsih (Ayushita
Nugraha).
Hardo hanya bersedia pulang jika “Nippon
sudah kalah”, suatu kondisi yang dianggap mustahil oleh banyak orang, termasuk
Lurah Kaliwangan (Egy Fedli) yang juga ayah Ningsih. Hardo kukuh bertahan
menanti kemerdekaan, meski tak terburu-buru pula mengejarnya, sebagaimana
nasihat Ningsih—yang mengajar di suatu sekolah—kepada muridnya untuk “Tidak
usah lari-lari, perlahan juga sampai di tujuan”.
Dan Perburuan memang enggan terburu-buru bergerak, ketika Richard Oh
mengemas filmnya dalam tempo cenderung lambat, mengisinya dengan kontemplasi
Hardo soal impian kemerdekaan, kerinduan, juga rasa bersalah pada orang-orang
tercinta yang ditinggalkan, meski perjalanannya sendiri tak pernah sunyi,
ketika musik buatan Purwacaraka (Joshua
Oh Joshua, Si Doel the Movie) setia memperdengarkan orkestrasi yang acap
kali terlampau “besar” guna menemani tuturan Richard yang mengejar keintiman.
Sengaja atau tidak, melalui Perburuan, Pramoedya jelas sedang
mengobservasi psikis manusia—yang besar kemungkinan mencerminkan isi hatinya
mengingat novelnya ditulis semasa menjalani masa penjara—di mana terjadi
benturan antara ideologi berbangsa dengan kebutuhan personal. Itulah penyebab
Hardo tampak linglung, bertingkah bak orang kehilangan kewarasan. Batinnya
berkecamuk luar biasa.
Konflik ini yang filmnya gagal sampaikan.
Saya tidak menemukan proses mental. Hanya potongan-potongan situasi, yang
menyuapi penonton dengan pemahaman kognisi ketimbang rasa. Kita bisa mengerti otak
Hardo, namun tidak merasakan isi hatinya. Dalam perjalanannya, Perburuan urung membekali Hardo dengan
pondasi dan gradasi emosi. Hanya berbekal prolog seadanya, kita langsung dibawa
menyambangi Hardo di persembunyian, dalam kondisi yang sepanjang cerita, tanpa
dibarengi naik-turun kondisi.
Alhasil, beberapa momen gagal
memberi penebusan emosi sesuai harapan. Misalnya sewaktu Hardo dan ayahnya terlibat
obrolan di sebuah gubuk. Semestinya, seperti Hardo, perasaan kita ikut
tertusuk. Masalahnya, fakta yang diungkapkan sang ayah terkesan “datang entah
dari mana”. Padahal satu momen ini memperlihatkan pencapaian tertinggi sepanjang
karir Richard sebagai sutradara ketika atmosfer ia bangun dengan penuh
sensitivitas, dibantu suasana temaram garapan sinematografi Yoyok Budi Santoso (Haji Backpacker, Negeri Van Oranje, Guru
Ngaji) yang mekin menguatkan keintiman serta duka.
Paling fatal tentu bab konklusi.
Saya takkan membocorkan peristiwanya, namun kealpaan membangun hubungan
Hardo-Ningsih berujung melucuti emosi. Jarak bukan alasan ketiadaan ikatan di
antara mereka (yang turut berkontribusi menyia-nyiakan talenta Ayushita).
Konklusinya, yang berlatar momen proklamasi, semakin kehilangan dampak akibat
deretan sekuen pengejaran canggung tatkala banyak pasukan tampak menahan tawa,
juga perayaan kemerdekaan masyarakat yang dibungkus dalam euforia setingkat parade
karnaval 17-an.
Adipati tidak kalah canggung.
Usahanya menangkap degradasi mental Hardo, khususnya pada adegan “menyalakan
korek” yang telah muncul di trailer,
hanya berhenti pada perwujudan permukaan (contoh: mata melotot saat marah, mata
sayu saat sedih, dan sebagainya), ketimbang sebuah pendalaman menyeluruh. Hampa.
Sayangnya, keseluruhan Perburuan terjangkit
kehampaan serupa meski digarap sungguh-sungguh sembari menghormati materi
adaptasinya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:apakah bisa disebut konsep cerita seperti film silence milik martin scorsese? problema terhadap ideologi?
Dari trailer'nya aja gw nggk tertarik nonton film ini mas, apalagi maen bebarengan sama Makmum dan Bumi Manusia..
Liat Adipati di trailer Warkop juga hmmm ....
Ah sudahlah, nunggu review Mas Rasyid dulu, wkwkwkwk..
dari trailernya justru Perburuan tampak lebih meyakinkan, setidaknya ada di level yg sama dengan Bumi Manusia, tapi ternyata surprisingly Bumi Manusia menang telak
Mas Rasyid,
Bagaimana pendapat Mas Rasyid mengenai perolehan jumlah penonton yang sangat timpang antara kedua film yang sama² diambil dari buku Pramoedya?
Kaya'nya dari PH yang sama juga kan?
Apakah sesuai prediksi?
Jelas sesuai prediksi. Satu bagus satu jelek. Satu dikemas ringan satu berat. Makanya keputusan Falcon rilis bareng itu pinter. Mereka tahu Perburuan bakal susah laku. Dengan begini mereka cuma keluar biaya promo 1 film. Kalau Perburuan laku ya bagus, kalau nggak ya sesuai perkiraan.
Predksi awal gue jelas Bumi Manusia bakal lebih laku karena dari segi premis lebih menjual dan dari segi source material pun lebih populer, tapi dari segi kualitas gue pikir Perburuan bakal lebih bagus karena gue kira ini film akan mengambil jalur arthouse yg gue expect bisa senafas dengan film-film macam Soegija atau Istirahatlah Kata-Kata. Apalagi melihat sutradaranya yg pernah bikin Melancholy is a Movement. Tapi ternyata meleset haha...
Richard sendiri bilang ini usaha dia untuk melangkah lebih mainstream. Tapi kenyataannya, di hasil akhir masih kelihatan bingung mau audience friendly atau arthouse
maaf, g pernah baca bukuny..tp dari film, masih belum paham masa pengasingan diri hardo itu berapa lama sampai tumbuh brewok, jauh apa g dari tmpt tinggalny kok bs ktemu ayahnya, ningsih apa g pernah nyoba nyari hardo..scene endingny jg kurang terasa greget emosi
Posting Komentar