ZETA: WHEN THE DEAD AWAKEN (2019)

3 komentar
Zeta: When the Dead Awaken (berikutnya disebut “Zeta”) membuktikan jika tim sineas kita sudah mampu memproduksi zombie flicks secara layak, selama skalanya minimalis. Filmnya solid perihal memamerkan serangan zombie, bahkan sesekali memancing ketegangan, namun ketika jangkauan kisahnya diperluas hingga mencakup kepentingan nasional dengan melibatkan pemerintah, ilmuwan, dan militer, Zeta tak ubahnya role play anak-anak.

Saya terpikat oleh momen pembukanya, yang begitu rapi mempresentasikan kondisi Jakrta yang tinggal menyisakan puing-puing tanpa penduduk. Berbekal pemakaian CGI efektif ditambah kelihaian menangkap pemandangan langka berupa kesenyapan ibukota, nuansa kiamat yang menghantui mampu ditampilkan.

Kesolidan itu terus berlanjut saat para zombie (di sini dipanggil “Zeta”) melancarkan serangan di sekolah Deon (Jeff Smith), sebelum kisahnya mengajak kita menyaksikan usaha sang remaja bermasalah menyelamatkan sang ibu, Isma (Cut Mini), yang menderita alzheimer dan tinggal di apartemen sendirian. Isma menetap seorang diri selepas dua tahun lalu Deon meninggalkannya, ketika sang suami, Richard (Willem Bevers) menangkap basah perselingkuhannya.

Richard sendiri bekerja di Amerika sebagai ilmuwan sekaligus pakar terkait wabah yang sedang terjadi. Richard menyebut bahwa wabah itu dipicu evolusi amoeba parasit yang masuk ke tubuh manusia lewat air, kemudian menguasai otak korbannya, mengubah mereka menjadi zombie.

Penyutradaraan Amanda Iswan—yang turut merangkap penulis naskah, produser, dan produser eksekutif—sanggup menciptakan keseruan berbasis serbuan zombie yang bergerak cepat. Berlatar apartemen kecil yang dipenuhi lorong sempit serta tangga darurat gelap, Amanda mengkombinasikan modal lokasi tersebut dengan pergerakan kamera dinamis tanpa harus membuat penonton sakit kepala lewat gaya shaky cam, juga ketepatan timing dalam serangan zombie, guna menyusun intensitas.

Bahkan terkadang, para monster pemangsa otak ini tampak menyeramkan berkat tata rias apik, pula efek suara geraman sang zombie. Contohnya ketika Deon mesti mendobrak kamar lain demi mencari makanan, hanya untuk dihadang sesosok zombie bertubuh tambun. Satu-satunya gaya tidak perlu yang sang sutradara terapkan adalah sudut pandang orang pertama layaknya gim video. Penempatannya terlalu acak juga begitu singkat hingga kurang berhasil meninggalkan dampak.

Pada titik ini, sejatinya naskah Zeta sudah menyiratkan tanda-tanda kebodohan, sebutlah saat Deon meminta salah satu anggota Blue River (kelompok militan pembasmi zombie) agar bersedia menunggu di luar selama ia menolong Isma. Tapi apa yang Deon lakukan begitu berhasil bertemu sang ibu? Secara sepihak ia memilih menetap di kamar, lalu tertidur. Memang remaja sekarang perlu diajari sopan santun.

Tapi kebodohan di atas sekadar lubang kecil dibanding apa yang Zeta tampilkan begitu mulai memperbesar cakupan cerita. Dari film zombie berlatar tunggal yang menghibur, film ini bertransformasi menjadi kekonyolan canggung sewaktu mengajak penonton melihat pertemuan antara ilmuwan, militer, dan Blue River. Dekorasi setnya murahan penuh properti ala kadarnya, tiada usaha membangun atmosfer sebuah markas rahasia secara meyakinkan akibat minimnya permainan tata cahaya, penulisan kalimatnya buruk, belum lagi akting yang remuk.

Sang ilmuwan terlihat bak orang bodoh yang berusaha keras terdengar pintar tanpa memahami apa yang ia bicarakan, sementara para tentara bergaya sok gahar. Daripad akting mumpuni, kita malah dipertunjukkan aksi main-main. Main tentara-tentaraan, dokter-dokteran, jagoan-jagoanan.

Hampir seluruh cast-nya mengecewakan, termasuk para pemeran rakyat sipil—kecuali Dimas Aditya yang tak terlihat mengganggu sebagai seorang penyintas tangguh. Jeff Smith tak diberahi aura sebagai protagonis yang dapat diandalkan, tidak pula secara layak menghidupkan sosok remaja bermasalah. Sementara Cut Mini melakoni aspek cluelessness pengidap alzheimer layaknya karikatur stereotipikal. Menyakitkan melihat penampilannya di sini (terburuk sepanjang karir) pasca menakjubkannya Dua Garis Biru.

Karena tidak dibarengi materi cerita mencukupi, Zeta sudah kehabisan bahan bakar di pertegahan, mulai terasa draggy kala berlama-lama dalam situasi dengan pacing menyiksa selaku usaha mengulur waktu. Membosankan, padahal setumpuk aspek berpotensi dieksplorasi. Contohnya, bila ingin melebarkan cakupan, mengapa tidak berhenti sok keren ketimbang berusaha menggali perihak isu sosial politik ketika satu kalimat mengenai “militer yang kehabisan helikopter akibat dipakai mengangkut orang-orang penting” sudah menyiratkan perihal permasalahan tersebut?

Saya suka penerapan konsep dua tipe zeta, juga bagaimana mereka melihat otak dan jantung manusia (kita sempat dibawa melihat apa yang mereka lihat). Paparannya kreatif sampai Amanda Iswan  kelelahan (atau malas?), lalu meninggalkan penonton pada ketidakpastian soal cara kerja antidote, dan lain-lain. “Dan lain-lain” inilah yang semestinya mendapat perhatian lebih.

3 komentar :

Comment Page:
Anjay mengatakan...

Bang once upon a time in holywood kok lama betul ya?

Rasyidharry mengatakan...

Cuma beda sebulan sama di US kok. Beneran harus cari slot yang lowong. Karena sejauh ini Tarantino selalu sepi di sini.

Anonim mengatakan...

gue liat rating "kurang", tapi pas baca review awal-awal penuh pujian, bingung gue ini pujian beneran atau sarkasme wkwkwkwk