ZETA: WHEN THE DEAD AWAKEN (2019)
Rasyidharry
Agustus 04, 2019
Amanda Iswan
,
Cut Mini
,
Dimas Aditya
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jeff Smith
,
Kurang
,
REVIEW
,
Willem Bevers
3 komentar
Zeta: When the Dead Awaken (berikutnya disebut “Zeta”) membuktikan jika tim sineas kita
sudah mampu memproduksi zombie flicks secara
layak, selama skalanya minimalis. Filmnya solid perihal memamerkan serangan
zombie, bahkan sesekali memancing ketegangan, namun ketika jangkauan kisahnya
diperluas hingga mencakup kepentingan nasional dengan melibatkan pemerintah,
ilmuwan, dan militer, Zeta tak
ubahnya role play anak-anak.
Saya terpikat oleh momen
pembukanya, yang begitu rapi mempresentasikan kondisi Jakrta yang tinggal
menyisakan puing-puing tanpa penduduk. Berbekal pemakaian CGI efektif ditambah
kelihaian menangkap pemandangan langka berupa kesenyapan ibukota, nuansa kiamat
yang menghantui mampu ditampilkan.
Kesolidan itu terus berlanjut saat
para zombie (di sini dipanggil “Zeta”)
melancarkan serangan di sekolah Deon (Jeff Smith), sebelum kisahnya mengajak
kita menyaksikan usaha sang remaja bermasalah menyelamatkan sang ibu, Isma (Cut
Mini), yang menderita alzheimer dan tinggal di apartemen sendirian. Isma
menetap seorang diri selepas dua tahun lalu Deon meninggalkannya, ketika sang
suami, Richard (Willem Bevers) menangkap basah perselingkuhannya.
Richard sendiri bekerja di Amerika
sebagai ilmuwan sekaligus pakar terkait wabah yang sedang terjadi. Richard
menyebut bahwa wabah itu dipicu evolusi amoeba parasit yang masuk ke tubuh
manusia lewat air, kemudian menguasai otak korbannya, mengubah mereka menjadi
zombie.
Penyutradaraan Amanda Iswan—yang
turut merangkap penulis naskah, produser, dan produser eksekutif—sanggup
menciptakan keseruan berbasis serbuan zombie yang bergerak cepat. Berlatar
apartemen kecil yang dipenuhi lorong sempit serta tangga darurat gelap, Amanda
mengkombinasikan modal lokasi tersebut dengan pergerakan kamera dinamis tanpa
harus membuat penonton sakit kepala lewat gaya shaky cam, juga ketepatan timing
dalam serangan zombie, guna menyusun intensitas.
Bahkan terkadang, para monster
pemangsa otak ini tampak menyeramkan berkat tata rias apik, pula efek suara
geraman sang zombie. Contohnya ketika Deon mesti mendobrak kamar lain demi
mencari makanan, hanya untuk dihadang sesosok zombie bertubuh tambun.
Satu-satunya gaya tidak perlu yang sang sutradara terapkan adalah sudut pandang
orang pertama layaknya gim video. Penempatannya terlalu acak juga begitu
singkat hingga kurang berhasil meninggalkan dampak.
Pada titik ini, sejatinya naskah Zeta sudah menyiratkan tanda-tanda
kebodohan, sebutlah saat Deon meminta salah satu anggota Blue River (kelompok
militan pembasmi zombie) agar bersedia menunggu di luar selama ia menolong
Isma. Tapi apa yang Deon lakukan begitu berhasil bertemu sang ibu? Secara
sepihak ia memilih menetap di kamar, lalu tertidur. Memang remaja sekarang
perlu diajari sopan santun.
Tapi kebodohan di atas sekadar
lubang kecil dibanding apa yang Zeta tampilkan
begitu mulai memperbesar cakupan cerita. Dari film zombie berlatar tunggal yang
menghibur, film ini bertransformasi menjadi kekonyolan canggung sewaktu
mengajak penonton melihat pertemuan antara ilmuwan, militer, dan Blue River.
Dekorasi setnya murahan penuh properti ala kadarnya, tiada usaha membangun
atmosfer sebuah markas rahasia secara meyakinkan akibat minimnya permainan tata
cahaya, penulisan kalimatnya buruk, belum lagi akting yang remuk.
Sang ilmuwan terlihat bak orang
bodoh yang berusaha keras terdengar pintar tanpa memahami apa yang ia
bicarakan, sementara para tentara bergaya sok gahar. Daripad akting mumpuni,
kita malah dipertunjukkan aksi main-main. Main tentara-tentaraan,
dokter-dokteran, jagoan-jagoanan.
Hampir seluruh cast-nya mengecewakan, termasuk para pemeran rakyat sipil—kecuali Dimas
Aditya yang tak terlihat mengganggu sebagai seorang penyintas tangguh. Jeff
Smith tak diberahi aura sebagai protagonis yang dapat diandalkan, tidak pula
secara layak menghidupkan sosok remaja bermasalah. Sementara Cut Mini melakoni
aspek cluelessness pengidap alzheimer
layaknya karikatur stereotipikal. Menyakitkan melihat penampilannya di sini
(terburuk sepanjang karir) pasca menakjubkannya Dua Garis Biru.
Karena tidak dibarengi materi
cerita mencukupi, Zeta sudah
kehabisan bahan bakar di pertegahan, mulai terasa draggy kala berlama-lama dalam situasi dengan pacing menyiksa selaku usaha mengulur waktu. Membosankan, padahal
setumpuk aspek berpotensi dieksplorasi. Contohnya, bila ingin melebarkan
cakupan, mengapa tidak berhenti sok keren ketimbang berusaha menggali perihak
isu sosial politik ketika satu kalimat mengenai “militer yang kehabisan
helikopter akibat dipakai mengangkut orang-orang penting” sudah menyiratkan
perihal permasalahan tersebut?
Saya suka penerapan konsep dua tipe
zeta, juga bagaimana mereka melihat
otak dan jantung manusia (kita sempat dibawa melihat apa yang mereka lihat).
Paparannya kreatif sampai Amanda Iswan kelelahan
(atau malas?), lalu meninggalkan penonton pada ketidakpastian soal cara kerja antidote, dan lain-lain. “Dan lain-lain”
inilah yang semestinya mendapat perhatian lebih.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Bang once upon a time in holywood kok lama betul ya?
Cuma beda sebulan sama di US kok. Beneran harus cari slot yang lowong. Karena sejauh ini Tarantino selalu sepi di sini.
gue liat rating "kurang", tapi pas baca review awal-awal penuh pujian, bingung gue ini pujian beneran atau sarkasme wkwkwkwk
Posting Komentar