Tampilkan postingan dengan label Dimas Aditya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dimas Aditya. Tampilkan semua postingan

REVIEW - YUNI

Protagonis film ini terobsesi pada warna ungu. Pakaian dalamnya ungu, alat tulis miliknya ungu, motornya ungu, dan tentu, minuman favoritnya adalah es anggur. Sangat terobsesi, ia kerap mencuri barang berwarna ungu milik temannya. "Penyakit ungu", begitu sebut gurunya. 

Ungu sering diartikan sebagai "warna janda", di mana janda, dalam kultur patriarki termasuk di Indonesia, sering dianggap rendah. Sudah tidak perawan. Barang bekas. Murahan. Tapi bila mengacu pada psikologi warna, ungu justru menyimbolkan keberanian, kekuatan, kebijaksanaan, pula identik dengan derajat tinggi. 

Begitulah identitas Yuni, selaku film Indonesia pertama yang menang di Toronto International Film Festival untuk kategori Platform Prize (kedua kalinya Kamila Andini masuk kategori itu setelah Sekala Niskala empat tahun lalu, menjadikannya sutradara pertama dengan pencapaian tersebut). Sebuah perlawanan terhadap stigma. 

Berlatar Banten (dialognya memakai Bahasa Jawa-Serang), kisahnya mengetengahkan kehidupan Yuni (Arawinda Kirana), siswi di SMA yang kental mengusung nilai Islam. Saking kentalnya sampai rohis memegang kendali penuh atas berbagai kegiatan. Musik diharamkan karena alasan "suara itu aurat", pun ada rencana memberlakukan tes keperawanan bagi murid perempuan. 

Yuni termasuk siswi berprestasi. Semua nilainya bagus, kecuali di mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang diajar oleh Pak Damar (Dimas Aditya), guru sekaligus penulis puisi yang dikagumi Yuni. Bermodalkan prestasi itu, tentu ia ingin lanjut berkuliah. Apalagi setelah Bu Lies (Marissa Anita dengan kefasihan berbahasa kembali membuktikan bahwa ia seperti bunglon) membagi informasi perihal beasiswa. Tapi ada satu syarat yang mengganggu pikirannya. Penerima beasiswa harus belum menikah.

She's single, but the odds are against her. Pernikahan dini marak terjadi di tempat tinggalnya. Menengok teman yang baru melahirkan sudah bukan hal baru. Apalagi ditambah perspektif orang tua, yang menganggap anak perempuan sebaiknya cepat menikah ketimbang meneruskan pendidikan. 

Total tiga orang melamar Yuni. Salah satunya Iman (Muhammad Khan), yang datang bersama keluarga kala Yuni tengah bersekolah. Ketika si gadis pulang, mereka pun pamit, seolah suara Yuni tidaklah penting untuk dipertimbangkan. Di sisi lain ada Yoga (Kevin Ardilova), murid kelas satu yang menyukai si kakak kelas, tapi terlalu malu untuk mengutarakannya. Yoga cenderung pemalu, juga polos. Ketika Yuni meminta ditemani ke kelab malam, ia meminta Yoga mengenakan baju yang "terlihat dewasa". Malamnya, Yoga datang memakai batik bak hendak datang kondangan.

Naskahnya, yang ditangani oleh Kamila Andini dan Prima Rusdi (Ada Apa Dengan Cinta?, Banyu Biru, Garasi), tampil sederhana memotret realita. Tapi kesederhanaan itu begitu kaya, berisikan ragam permasalahan sosial yang menimpa perempuan, dengan penuturan luar biasa rapi. Masing-masing isu tersaji natural, mencuat sebagai bagian kehidupan, tanpa ada kesan memaksa mencekoki cerita dengan pesan sebanyak mungkin. 

Salah satu pokok bahasannya adalah tentang ketiadaan ruang aman bagi perempuan. Selain dilamar, beberapa teman Yuni pun terpaksa menikah karena hal lain, seperti hamil akibat diperkosa, atau menghindari fitnah pasca dipergoki warga berpacaran di hutan meski tak sedang berhubungan seks. Begitu menikah pun, perempuan dituntut memberi sang suami buah hati. Apabila gagal, walau disebabkan kemandulan suami atau keguguran karena usia yang terlalu muda, merekalah yang disalahkan. 

Ke mana pun Yuni pergi, kebebasannya dikebiri. Suatu ketika Yuni datang ke kolam renang bersama teman-temannya. Mereka cuma berenang, pun tidak membuka baju ketika membilas tubuh karena ruangannya terbuka. Beberapa waktu berselang, si pemilik kolam renang, seorang pria tua beristri, mendatangi rumah Yuni untuk melamarnya. Tidak ada ruang bagi perempuan untuk merasa aman dari tatapan laki-laki.

Yuni tidak ketinggalan mengeksplorasi perihal seksualitas, sebutlah rasa enggan perempuan untuk mengakui dirinya tidak orgasme demi menjaga harga diri pasangan, hingga pandangan bahwa perempuan bermasturbasi merupakan hal aneh. Kita bisa lihat perbedaan antara sutradara laki-laki dan perempuan (terutama di Indonesia), ketika mengolah tema tersebut. Kamila menekankan simpati yang didasari keresahan. Bahkan sewaktu menampilkan adegan seks, tidak ada "intensi nakal". Sebab seks adalah bagian proses karakternya, bukan pemenuhan nafsu pribadi si pembuat film. 

Naskahnya terinspirasi dari puisi Hujan Bulan Juni karya mendiang Sapardi Djoko Darmono. "Terinspirasi" lebih pas daripada "adaptasi", mengingat Kamila dan Prima bukan memvisualisasikan puisi (kecuali dalam momen penutupnya yang indah dan powerful), melainkan menyerap esensinya, guna menuturkan kisah mengenai kekuatan dalam ketabahan karakternya.

Biarpun terinspirasi puisi, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut tokohnya jauh dari kesan puitis. Sebaliknya, amat membumi, khas obrolan sehari-hari, pula kerap menggelitik dan memorable. Begitu filmnya dirilis luas nanti, saya yakin celotehan "Ora usah pacar-pacaran, mending mangan cilok" bakal ramai dibicarakan, atau malah menjadi meme.

Begitu juga seruan, "Freedom abisss!!!" yang dilontarkan Suci (Asmara Abigail), si pemilik salon yang sempat membukakan pintu eksplorasi hidup bagi Yuni. Walau dari luar tampak seperti individu "happy-go-lucky", Suci menyimpan trauma, yang juga hadir dari penindasan pada perempuan. Asmara tampil berenergi, hampir selalu tersenyum, tapi kita tahu, senyum itu dipakainya guna mengubur luka.

Penampilan terbaik tentu dipamerkan Arawinda. Sosok Yuni dibuatnya bagai hujan, yang tabah merahasiakan kerinduan terhadap bunga-bunga bernama "mimpi" dan "kebebasan". Setiap kata mempunyai rasa, setiap tatapan menyimpan makna, setiap geraknya bernyawa. 


(Vancouver International Film Festival 2021)

ZETA: WHEN THE DEAD AWAKEN (2019)

Zeta: When the Dead Awaken (berikutnya disebut “Zeta”) membuktikan jika tim sineas kita sudah mampu memproduksi zombie flicks secara layak, selama skalanya minimalis. Filmnya solid perihal memamerkan serangan zombie, bahkan sesekali memancing ketegangan, namun ketika jangkauan kisahnya diperluas hingga mencakup kepentingan nasional dengan melibatkan pemerintah, ilmuwan, dan militer, Zeta tak ubahnya role play anak-anak.

Saya terpikat oleh momen pembukanya, yang begitu rapi mempresentasikan kondisi Jakrta yang tinggal menyisakan puing-puing tanpa penduduk. Berbekal pemakaian CGI efektif ditambah kelihaian menangkap pemandangan langka berupa kesenyapan ibukota, nuansa kiamat yang menghantui mampu ditampilkan.

Kesolidan itu terus berlanjut saat para zombie (di sini dipanggil “Zeta”) melancarkan serangan di sekolah Deon (Jeff Smith), sebelum kisahnya mengajak kita menyaksikan usaha sang remaja bermasalah menyelamatkan sang ibu, Isma (Cut Mini), yang menderita alzheimer dan tinggal di apartemen sendirian. Isma menetap seorang diri selepas dua tahun lalu Deon meninggalkannya, ketika sang suami, Richard (Willem Bevers) menangkap basah perselingkuhannya.

Richard sendiri bekerja di Amerika sebagai ilmuwan sekaligus pakar terkait wabah yang sedang terjadi. Richard menyebut bahwa wabah itu dipicu evolusi amoeba parasit yang masuk ke tubuh manusia lewat air, kemudian menguasai otak korbannya, mengubah mereka menjadi zombie.

Penyutradaraan Amanda Iswan—yang turut merangkap penulis naskah, produser, dan produser eksekutif—sanggup menciptakan keseruan berbasis serbuan zombie yang bergerak cepat. Berlatar apartemen kecil yang dipenuhi lorong sempit serta tangga darurat gelap, Amanda mengkombinasikan modal lokasi tersebut dengan pergerakan kamera dinamis tanpa harus membuat penonton sakit kepala lewat gaya shaky cam, juga ketepatan timing dalam serangan zombie, guna menyusun intensitas.

Bahkan terkadang, para monster pemangsa otak ini tampak menyeramkan berkat tata rias apik, pula efek suara geraman sang zombie. Contohnya ketika Deon mesti mendobrak kamar lain demi mencari makanan, hanya untuk dihadang sesosok zombie bertubuh tambun. Satu-satunya gaya tidak perlu yang sang sutradara terapkan adalah sudut pandang orang pertama layaknya gim video. Penempatannya terlalu acak juga begitu singkat hingga kurang berhasil meninggalkan dampak.

Pada titik ini, sejatinya naskah Zeta sudah menyiratkan tanda-tanda kebodohan, sebutlah saat Deon meminta salah satu anggota Blue River (kelompok militan pembasmi zombie) agar bersedia menunggu di luar selama ia menolong Isma. Tapi apa yang Deon lakukan begitu berhasil bertemu sang ibu? Secara sepihak ia memilih menetap di kamar, lalu tertidur. Memang remaja sekarang perlu diajari sopan santun.

Tapi kebodohan di atas sekadar lubang kecil dibanding apa yang Zeta tampilkan begitu mulai memperbesar cakupan cerita. Dari film zombie berlatar tunggal yang menghibur, film ini bertransformasi menjadi kekonyolan canggung sewaktu mengajak penonton melihat pertemuan antara ilmuwan, militer, dan Blue River. Dekorasi setnya murahan penuh properti ala kadarnya, tiada usaha membangun atmosfer sebuah markas rahasia secara meyakinkan akibat minimnya permainan tata cahaya, penulisan kalimatnya buruk, belum lagi akting yang remuk.

Sang ilmuwan terlihat bak orang bodoh yang berusaha keras terdengar pintar tanpa memahami apa yang ia bicarakan, sementara para tentara bergaya sok gahar. Daripad akting mumpuni, kita malah dipertunjukkan aksi main-main. Main tentara-tentaraan, dokter-dokteran, jagoan-jagoanan.

Hampir seluruh cast-nya mengecewakan, termasuk para pemeran rakyat sipil—kecuali Dimas Aditya yang tak terlihat mengganggu sebagai seorang penyintas tangguh. Jeff Smith tak diberahi aura sebagai protagonis yang dapat diandalkan, tidak pula secara layak menghidupkan sosok remaja bermasalah. Sementara Cut Mini melakoni aspek cluelessness pengidap alzheimer layaknya karikatur stereotipikal. Menyakitkan melihat penampilannya di sini (terburuk sepanjang karir) pasca menakjubkannya Dua Garis Biru.

Karena tidak dibarengi materi cerita mencukupi, Zeta sudah kehabisan bahan bakar di pertegahan, mulai terasa draggy kala berlama-lama dalam situasi dengan pacing menyiksa selaku usaha mengulur waktu. Membosankan, padahal setumpuk aspek berpotensi dieksplorasi. Contohnya, bila ingin melebarkan cakupan, mengapa tidak berhenti sok keren ketimbang berusaha menggali perihak isu sosial politik ketika satu kalimat mengenai “militer yang kehabisan helikopter akibat dipakai mengangkut orang-orang penting” sudah menyiratkan perihal permasalahan tersebut?

Saya suka penerapan konsep dua tipe zeta, juga bagaimana mereka melihat otak dan jantung manusia (kita sempat dibawa melihat apa yang mereka lihat). Paparannya kreatif sampai Amanda Iswan  kelelahan (atau malas?), lalu meninggalkan penonton pada ketidakpastian soal cara kerja antidote, dan lain-lain. “Dan lain-lain” inilah yang semestinya mendapat perhatian lebih.

KUAMBIL LAGI HATIKU (2019)

Produksi pertama PFN (Produksi Film Negara) selama 27 tahun setelah kali terakhir menelurkan Pelangi di Nusa Laut karya MT Risyaf pada 1992 ini sebenarnya berpeluang menghembuskan angin segar bagi film lokal bertema keluarga, khususnya berkat suntikkan unsur asimilasi budaya antara India dengan Jawa. Apalagi melihat jajaran pemain papan atas miliknya. Sayang, kekacauan naskahnya dalam menyatukan berbagai cabang cerita berujung melahirkan sebuah film yang kebingungan menentukan arah.

Sinta (Lala Karmela), puteri pasangan pria India dan wanita Indonesia, menjalani hidup bahagia di Agra bersama sang ibu, Widhi (Cut Mini). Karirnya melesat, dan ia pun sedang mempersiapkan pernikahan dengan Vikash (Sahil Shah) yang tinggal menghitung hari. Tapi mendekati Hari-H, Widhi mendadak pulang ke kampung halamannya di Desa Borobudur, Magelang, setelah mendengar kabar bahwa ayahnya telah wafat sejak tiga bulan lalu.

Masalahnya, Widhi selama ini mengaku sudah tak lagi memiliki kerabat di Indonesia. Sinta yang kebingungan akhirnya nekat menyusul ibunya ke Magelang, hanya untuk menyaksikan ketidakharmonisan sebuah keluarga. Widhi bersetigang dengan kakaknya, Dewi (Ria Irawan), sementara Dimas (Dian Sidik) terlilit hutang yang mengancam keberlangsungan penginapan yang ia kelola.

Kuambil Lagi Hatiku diawali secara menjanjikan. Meski terkadang usaha Lala berbicara Bahasa Indonesia memakai logat India terdengar mengganggu, cukup jarang kita melihat karakter dalam film lokal yang bukan sekadar tinggal sementara atau jalan-jalan di luar negeri, namun menetap, bahkan mengimplementasikan kultur setempat dalam keseharian. Setibanya Sinta di Borobudur, ia sempat membantu peneliti muda (atau mahasiswa?) bernama Panji (Dimas Aditya), menjelaskan makna relief Candi Borobudur kepada wisatawan asal India, sebagai simbol penyatuan dua budaya. Tapi asimilasinya berhenti di situ. Setelahnya, tak ada lagi eksplorasi lanjutan yang dapat memperkaya filmnya.

Akhirnya Sinta bertemu Widhi. Dia menuntut jawaban, tetapi sang ibu malah bersikap tak acuh. Dari sinilah naskah karya Arief Ash Shiddiq dan Rino Sarjono (Negeri 5 Menara, Pintu Harmonika) mulai menumpuk kelemahan, yang kebanyakan melibatkan turnover dadakan dan ketidakjelasan motivasi karakter. Cut Mini kembali menghantarkan performa sarat emosi yang dengan gampangnya menjadi aspek terbaik film ini, tapi itu pun tak kuasa menjustifikasi respon dingin Widhi kepada puterinya. Bahkan pasca kebenaran terungkap saya tetap bertanya, “Kenapa?”.

Kata “Kenapa” memang terus mencuat sepanjang durasi, karena tiap karakternya membuat keputusan besar, termasuk titik balik di mana terjadi perubahan sikap, sulit memahami alasan di balik tindakan mereka. Selalu timbul kesan dadakan dan dipaksakan. Serupa Cut Mini, Ria Irawan pun tampil baik, memberi dimensi lebih pada sosok Dewi yang dari luar tampak kejam namun sejatinya berhati lapang. Perselisihan Dewi dengan Widhi menghasilkan problematika keluarga kompleks, sampai filmnya menyelesaikan konflik tersebut melalui sebuah simplifikasi yang akan sulit diterima nalar maupun hati.

Salah satu benda yang memegang peranan penting dalam cerita adalah foto masa kecil yang disimpan Widhi. Di foto itu, ia, Dewi, dan Dimas duduk di Candi Borobudur. Kelak terungkap, itu merupakan foto favorit mendiang ayah mereka, karena di sanalah ketiganya berkumpul sambil tersenyum bersama sebagai satu keluarga bahagia. Andai Kuambil Lagi Hatiku mau berfokus pada unsur satu ini, potensi menjadi drama keluarga yang menyentuh hati sangatlah tinggi. Tapi tidak. Naskahnya selalu hadir dengan konflik baru yang mayoritas tak perlu, yang ironisnya, muncul untuk menyelesaikan konflik lain.

Etos kerja “gali lubang tutup lubang” ini melahirkan problematika yang tidak logis (masalah Sinta di kantor), kekurangan pondasi (kisah cinta Sinta), out-of-place (subplot kasus pencurian dan penculikan), maupun yang cuma numpang lewat tanpa dampak (Widhi melarang Sinta menari). Bicara soal menari, melihat nomor tarian yang kasar dan canggung, rasanya sutradara Azhar ‘Kinoi’ Lubis (Surat Cinta Untuk Kartini, Kafir: Bersekutu Dengan Setan) kekurangan referensi film Bollywood atau belum memahami inti kekuatan estetikanya.