AD ASTRA (2019)
Rasyidharry
September 23, 2019
Bagus
,
Brad Pitt
,
Ethan Gross
,
Hoyte van Hoytema
,
James Gray
,
Kevin Thompson
,
Liv Tyler
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Tommy Lee Jones
12 komentar
Ad Astra bukan soal perjalanan mencari kehidupan baru di luar
Bumi (walau salah satu karakternya menjalani misi tersebut), melainkan
kehidupan dalam diri manusia. Bakal memancing komparasi dengan judul-judul
macam 2001: A Space Odyssey (1968)
dan Solaris (1972) terkait penggunaan
elemen fiksi-ilmiah guna membungkus drama humanis bertempo lambat, serta
karya-karya Terrence Malick karena penggunaan monolog internal bernada
kontemplatif, film teranyar sutradara James Gray (The Immigrant, The Lost City of Z) ini jelas menuntut kesabaran
yang bakal terbayar lunas di akhir.
Perkenalkan Mayor Roy McBride (Brad
Pitt), putera astronot legendaris H. Clifford McBride (Tommy Lee Jones) yang
hilang 16 tahun lalu saat mengorbit di Neputunus kala menjalankan “Lima Project”, sebuah misi dengan tujuan
mencari makhluk ekstraterestrial. Serupa ayahnya,talenta Roy dikagumi.
Kemampuannya menjaga ketenangan (detak jantungnya tak pernah di bawah 80 bpm)
dianggap bukti kapabilitas oleh pihak SpaceCom. Mungkin benar, namun Gray yang
menulis naskahnya bersama Ethan Gross (Klepto)
menawarkan perspektif lain.
Tentu anda sering mendengar
anggapan bahwa orang kuat tidak kenal takut dan/atau tidak pernah menangis. Ad Astra menyanggah asosiasi tersebut. Ketenangan
Roy justru menjauhkannya dari humanisme. Salah satu monolog Roy di awal
menyebut bahwa segala senyum atau ekspresi rasa darinya sebatas “performance”. Sebuah kepura-puraan,
wujud kekosongan layaknya ruang hampa di luar angkasa yang amat dia akrabi.
Apabila eksplorasi angkasa luar
menjadikan lubang hitam sebagai momok, Roy pun terjebak di lubang hitam bernama
kesendirian dan kesepian. Karena itulah sang istri, Eve (Liv Tyler)
meninggalkannya. Roy terlihat tenang di luar, tapi sejatinya, ia mempertanyakan
segalanya. Sehingga saat SpaceCom menginformasikan jika kemungkinan sang ayah
masih hidup bahkan jadi penyebab lonjakan listrik yang mengancam tata surya
akibat eksperimennya, Roy bersedia menjalankan misi menemui Clifford guna
membujuknya menghentikan itu.
Apa yang menyusul berikutnya adalah
observasi tentang manusia melalui pergulatan batin Roy, yang digambarkan
bermental baja kala menatap maut, tidak ragu menantang bahaya dan mengambil
risiko, tetapi seketika runtuh sewaktu dihadapkan pada rasa. Berbeda dibanding
barisan pusi Malick, monolog internal Ad
Astra, biarpun terdengar puitis, amat memudahkan sebagai alat bantu
memahami poin-poin yang ingin Gray sampaikan.
Lambatnya permainan tempo Gray
mungkin menyulitkan bagi banyak penonton, namun berjasa menjembatani penyaluran
rasa sang protagonis kepada penonton. Pun Ad
Astra masih “berbaik hati” menyelipkan beberapa set-piece aksi yang menyiratkan potensi Gray menangani spectacle besar. Bukan suguhan
bombastis, luasnya jangkauan pengadeganan sang sutradara nampak betul. Momen sewaktu
Roy jatuh dari ketinggian menampilkan kemegahan, baku tembak di bulan
menyelipkan teror, pula pertarungan melawan babun yang mengandung kebrutalan
layaknya seri Alien. Bukan cuma Gray,
desain produksi meyakinkan garapan Kevin Thompson (Birdman, Okja, Michael Clayton) juga cerminan keagugan semesta
lewat sinematografi Hoyte van Hoytema (Her,
Interstellar, Dunkirk) yang mengambil gambar menggunakan format 35mm, masing-masing
layak diacungi dua jempol.
Di titik ini, tentu anda telah
banyak mendengar banjir pujian terhadap performa Brad Pitt. Seringkali
mengandalkan kharisma, melalui Ad Astra,
Gray memanfaatkan wibaya sang aktor sebagai media komparasi perbedaan ekstrim sisi
eksternal dan internal individu. Menengok tampilan luar, Roy bak karang kokoh
yang takkan terkikis, sedangkan kondisi dalam hati Roy jadi panggung Pitt menampilkan
ekspresi kerapuhan subtil, yang memuncak selepas third act yang membahas “putusnya sebuah ikatan”. Di situ untuk
kali pertama kita menyaksikan senyum si tokoh utama, yang kali ini bukan
sekadar formalitas, melainkan
wujud kebahagiaan hakiki.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
12 komentar :
Comment Page:visual effects-nya lebih bagus daripada buatan NASA
Mas, review Hayya dong..
Diajakin temen, tpi ga dibayari..
Takut filmnya jelek trus rugi duit. 😭
Apakah space odyssey rasa interstellar.. masi bisa dinikmati??
Dgn tempo lambat ada gak yg masi bisa mengikat atensi utk bertahan selain kata2 "harus sabar nanti ada payoff diakhir"??
Jujur aja gw masi "dendam" sm space odyssey haha
Wah nggak akan terjadi 😁
Yaa kalau yang bisa menikmati tempo lambat ala Gray sih bakal terikat sama observasi kemanusiaannya.
Worth it nonton di imax ga mas? Apa cukup yang biasa aja?
Kalau ada imax, sikat imax
Menurut bang, kalo mau nonton star wars yg episode vii,viii, dan ix apa harus nonton dari episode i dulu baru ngerti ceritanya?
Nungguin The Irishman nggak bang? Kira2 bakal rilis apa nggak ya di indo? Menurut abang film scorsese yg paling bagus apa bang?
Bang tertarik nonton little women nggak? Alasannya apa kalo boleh tau. Hehehe... salam kenal bang dari sesama pecinta film
Ada anonim yang sampe 3 Komen gitu. Celah waktunya juga cuman bbro menit :v kenapa gak nanya kr sosmednya pemilik blog aja -_-
gak suka film model gini..membosankan..mau ketemu bapaknya aja lama bener..nyesel nontonya
Posting Komentar