PRETTY BOYS (2019)
Rasyidharry
September 20, 2019
Comedy
,
Cukup
,
Danilla Riyadi
,
Deddy Mahendra Desta
,
Imam Darto
,
Indonesian Film
,
Onadio Leonardo
,
REVIEW
,
Roy Marten
,
Tompi
,
Vincent Rompies
,
Wirawan Sanjaya
15 komentar
Mengangkat seluk-beluk di balik
layar dunia pertelevisian, dibintangi duet maut Deddy Mahendra Desta dan
Vincent Rompies serta ditulis naskahnya oleh Imam Darto (sebelumnya pernah
menulis judul rilisan tahun 2008, Coblos
Cinta), yang mana seluruhnya merupakan pelaku industri tersebut, Pretty Boys semestinya bisa lebih dari “sekadar”
menghibur, andai dibarengi eksplorasi mendalam sekaligus konsistensi dalam
mengutarakan pesan.
Tapi jika anda datang karena ingin
tertawa menyaksikan kekonyolan khas Vincent-Desta, maka debut penyutradaraan
Tompi ini bakal memuaskan. Memerankan Anugerah dan Rahmat, sepasang sahabat
yang sejak kecil bermimpi menjadi pembaca acara televisi, keduanya langsung
melontarkan banyolan berbentuk tebak-tebakan receh, atau berbagai pelesetan
ringan lain yang selama ini terbukti sukses membuat publik menyukai kemunculan
mereka di layar kaca.
Berangkat dari desa menuju Jakarta
berbekal impian (dan kenekatan) tinggi, karir Anugerah dan Rahmat justru mentok
sebagai karyawan restoran. Tapi mereka enggan menyerah. Didukung pula oleh Asty
(Danilla Riyadi), rekan kerja sekaligus gadis yang disukai Anugerah namun tak
kunjung ia tembak, semua jalan dicoba. Hingga tawaran menjadi penonton bayaran untuk
acara bincang-bincang yang dikoordinir oleh Roni (Onadio Leonardo), secara tak
terduga membuka lapang jalan menggapai cita-cita.
Dari judulnya tentu anda bisa
menebak bahwa Pretty Boys hendak
menyentil isu kegemaran stasiun televisi memakai lawakan “banci-bancian”.
Seolah ada aturan tak tertulis bila seseorang ingin terkenal, jadilah komedian
dengan karakter banci. Perihal mengungkap dunia gelap di balik gemerlapnya
industri televisi, kejujuran filmnya pantas dipuji. Walau digawangi para
penggiatnya, Pretty Boys tak berusaha
mempermanis realita.
Hanya saja, sebagai karya “orang
dalam”, naskahnya minim fakta baru. Perihal eksploitasi tokoh transgender,
kongkalikong manajer dan pihak acara, sampai pembayaran honor yang mencapai
berbulan-bulan, sudah jadi rahasia umum (mungkin khusus soal honor saja yang
belum). Pun terkait gimmick transgender,
paparan isunya problematik. Kalau Pretty
Boys ingin mengkritisi poin itu, filmnya sendiri membangun humor
berlandaskan hal serupa. Jangan salah, ini bukan urusan ofensif atau tidak,
melainkan konsistensi narasi. Lain cerita jika soal “kepalsuan demi popularitas”
yang coba disampaikan. Masalahnya, naskah Imam Darto kurang kuat menggiring sindirannya
ke ranah itu.
Biarpun menampilkan dua protagonis,
sosok Anugerah jelas lebih menonjol dengan kehadiran elemen drama dalam story arc-nya. Dia terlibat konflik
dengan sang ayah (Roy Marten), mengalami pergolakan jati diri, juga kesulitan
mengutarakan cinta kepada Asty. Benang merahnya adalah keraguan Anugerah
mengambil kesempatan. Di sini inkonsistensi timbul lagi. Di satu sisi, Pretty Boys berkata “jangan membuang
kesempatan”, padahal kritik utamanya ditujukan bagi para pelaku industri yang
mengambil kesempatan.
Kelemahan narasi setidaknya
berhasil ditambal komedi yang paling tidak bisa memancing senyum. Dalam debut
penyutradaraannya, Tompi juga melahirkan barang langka berupa komedi lokal yang
menolak memakai kemasan artistik seadanya. Sebagai seorang musisi sekaligus
fotografer, tidak heran Tompi melahirkan film bervisual cantik, pula diisi
deretan lagu pembuai telinga, termasuk Kembali
Putih Lagi milik Danilla. Disokong sinematografi Wirawan Sanjaya, visual Pretty Boys begitu memperhatikan
permainan cahaya serta kombinasi warna, alias bukan asal terang.
Di jajaran pemain, Vincent dan
Desta senantiasa bisa diandalkan urusan chemistry
kala mengocok perut. Teruntuk Vincent, kapasitas aktingnya diuji kala harus
menghidupkan pergulatan batin Anugerah. Tidak spesial, namun tidak pula
mengecewakan. Tidak kalah menghibur adalah gaya feminnin Onadio, sedangkan
Danilla tampil solid dalam kapasitas love
interest, meski sayangnya, subplot romansa yang melibatkannya terkesan inkonklusif.
Atau jangan-jangan Anugerah.....
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
15 komentar :
Comment Page:Wahh udah lma gk k blog mas rasyid.
Kalau gak salah vincent-desta d setiap promo slalu blang klau fokusny bkan k msalah pertelevisianny, cma buat kendaraan aja utk k fokus utamnya, yaitu "perjuangan meraih mimpi & ketika mimpiny udah berhasil d gapai tp tdak sesuai dengan hati nuraninya". Haha itu sih yg d dpat. Makanya fakta fakta baru kaya yg d tulis mas bro td gak d singgung d film. Mungkin sih :-D. Tp klau menurut gua tetap rekomen buat d tonton sih, visualny emg jarang d dpat d film lain sih ini. Chemistry vincent desta gak usah d ragukan lg sih.
Ditunggu segera mas review ad astra nya
Problematik??
memang begitulah realita
Tidak ada hitam atau putih
Tidak ada benar atau salah
Hanya menampilkan kenyataan yg ada
Lha kok jadi ngomongin realita & hitam/putih mas e? Yang diomongin kan inkonsistensi penyampaian pesan
Poin utamanya bukan soal nggak ada fakta baru sih. Itu wasting potential tapi bukan hal fatal. Paling fatal ya inkonsistensi soal humor transgender.
Bang, review lama dong, judul film nya 'My own private idaho'
@Fajar: yeah, i got it, maksudnya film ini tidak ingin menyampaikan pesan (mana benar, mana salah), film ini cuma menampilkan realita, yg memang sering problematik.
Gak review Hayya?
vincent lucu juga dulu di film preman in love nya rako prijanto
Sayang banget, Beberapa Reviewer yg menulis kejebak diurusan bahwa film ini mau angkat isu seputar Transgender padahal jelas-jelas narasi filmnya berisi sindiran satir terhadap media Broadcasting yg ngejar rating dgn segala cara termasuk banci-bancian diTV, Yg selalu dibahas tentang rating.. “KITA YANG MENODAI TV ATAU TV YANG MENODAI KITA?” mereka uda jelas-jelas nulis Taglinenya bgtu..Gue rasa sih uda tersampaikan point of view filmnya tentang Ambisi, Asmara, Harta Dunia..
Soal Gimmick isi filmnya Banci, itu emang gambaran bahwa ada realita itu didunia broadcast TV tapi jangan diliat dr sisi Seksualitasnya.. Dan aktor Tora yg jadi tokoh penyadar karakter anugrah cuma cameo aja yg perannya jadi titik Hook cara penyadaran berfikir Karakter.. Bukan jadi isu yg mau ditonjolin...
Ngeriviewnya mispersepsi dari narasi keseluruhan film, karena nontonya kejebak didalam pemikiran dari kemasan seksualitas aja, jadinya ga bisa ketawa haha
Coba dibaca lagi, reviewnya yang mispersepsi atau baca reviewnya yang mispersepsi :)
Blog ini ngedukung LGBT ? Kok ratingnya bisa 3 ? ��
Lucu bgt mas cuma krn ngasih rating 3 dianggap dukung LGBT. Ini review film, bukan blog dakwah.
Menunggu ulasan Ad Astra
����
kayaknya emang fix nugi gay deh
karena aku gag ngeliat sedikitpun ketertarikan dia ke asty
dan ngamuknya dia ke matthew jadi lebih make sense
plus dia mau diajak ama Tora Sudiro for God's sake meskipun akhirnya gag ngapa ngapain
Posting Komentar