REVIEW - BABY BLUES
Baby Blues punya salah satu naskah dengan perspektif paling memuakkan yang pernah saya tonton. Penyutradaraan memadai, departemen akting memuaskan, tapi naskah buatan Imam Darto (Pretty Boys, Selesai) bagai pembelaan tidak tahu malu dari laki-laki, saat disebut "kurang memahami kesulitan wanita pasca melahirkan". Ini bukan ketidakpekaan yang polos, melainkan seperti acungan jari tengah pada isu peran gender.
Dinda (Aurelie Moeremans) dan Dika (Vino G. Bastian) baru menyambut kelahiran bayi mereka. Dinda berhenti bekerja, guna mencurahkan seluruh waktunya untuk si buah hati. Tentu prakteknya tidak mudah. Apalagi ia mesti menghadapi kecerewetan ibu mertua (Ratna Riantiarno). Minimal ayah mertuanya (Mathias Muchus) selalu bersikap bijak, dan beberapa kali mengingatkan agar jangan mencampuri urusan keluarga anak mereka.
Sedangkan Dika, yang bekerja sebagai pelayan kafe, tak meringankan beban istri. Dia enggan bangun tengah malam tiap anaknya menangis, pula lebih memilih bermain PlayStation bersama teman-teman daripada membantu Dinda.
Lewat sekitar 30 menit, barulah elemen body-swap yang jadi jualan utama diperkenalkan. Tubuh Dinda dan Dika tertukar, selepas keduanya terlibat pertengkaran hebat. Pertengkaran yang cukup mengguncang berkat akting Vino dan Aurelie, yang sama-sama piawai meluapkan emosi. Pasca body-swap pun akting mereka masih jadi elemen terbaik Baby Blues. Aurelie lebih serampangan, sementara Vino berlaku feminin secara menggelitik tanpa harus menjadi karikatur murahan.
Film body-swap biasanya menukar tubuh dua tokoh agar mereka saling memahami perspektif masing-masing. Tapi naskah Baby Blues bukan berusaha menyamakan frekuensi karakternya, namun wujud pembelaan seperti telah disebut sebelumnya.
Dika bukan suami yang terhimpit keadaan. Menyadari kebutuhan finansial keluarganya meningkat sedangkan pemasukan menurun, bukannya lebih keras membanting tulang, ia cuma pasrah bekerja di cafe sepi konsumen. Dika jarang pulang bukan karena lembur, tapi untuk bermain PlayStation bersama temannya. Alias, Dika memiliki eskapisme. Dinda tidak. Seharian ia merawat anak, mendengarkan ocehan mertua, tanpa berkesempatan membahagiakan diri walau hanya sejenak.
Bagaimana mungkin, dengan kondisi di atas, naskahnya berani berkata, "Tolong pahami juga situasi suami"? Apa yang perlu Dinda pahami saat Dika enggan melakukan pengorbanan setara? Pernah mendengar laki-laki tidak mau kalah dengan membandingkan menstruasi dengan sunat? Kira-kira demikian film ini.
Pertukaran tubuhnya lebih ke arah ucapan, "Lihat? Berat kan kerja kayak suami?" ketimbang menghadirkan proses seimbang. Sebelum melahirkan, Dinda pernah bekerja. Tapi saat berada di tubuh Dika, ia digambarkan bak sama sekali buta soal mencari nafkah. Sebaliknya, Dika menjalani hari dengan lancar sebagai ibu, cepat belajar, tanpa melewati tekanan-tekanan layaknya sang istri. Di sini laki-laki digambarkan superior. Sangat superior, sampai bisa menjadi "ibu yang lebih baik" daripada wanita.
Bahkan tanpa menyinggung soal seksisme pun, naskahnya tetap kacau. Apa perlunya menambahkan konflik tentang mama Dinda (Aida Nurmala)? Saya rasa itu sebatas kebingungan penulis mencari cara guna mengakhiri kisah, hingga merasa butuh menyelipkan masalah baru sebagai jembatan penghubung.
Untunglah humornya cukup efektif memancing tawa. Selaku sutradara, Andibachtiar Yusuf punya sense serta energi yang menguatkan presentasi komedi yang membawa semangat over-the-top. Momen "kunjungan ke orang pintar" jadi contoh terbaik. Kemunculan karakter pria misterius memang inkonsisten, di mana kedatangannya tanpa pola sehingga kurang pas jika disebut "narator", tapi seperti biasa, Erick Estrada piawai melakoni keabsurdan semacam ini. Kejanggalan diubahnya jadi kelucuan.
Sampai lagi-lagi tabiat buruk Imam Darto kumat. Salah satu komedinya yang mengeksploitasi tubuh wanita bak berasal dari zaman kegelapan. Entah bagaimana adegan tersebut dituliskan, tapi kali ini Andibachtiar turut bertanggung jawab, saat menaruh fokus kamera ke tubuh wanita memakai male gaze murahan. Studio tempat saya menonton diisi cukup banyak orang, dan tak satu pun tertawa. Perasaan tidak nyaman kentara menyelimuti ruangan.
Di jalan pulang, saya melewati tempat sampah yang terisi penuh, dan anehnya hidung saya tak terganggu. Mungkin karena baru saja mencium aroma yang jauh lebih menjijikkan. Aroma insekuritas laki-laki.
REVIEW - SELESAI
Selesai, selaku kolaborasi kedua Tompi (sutradara) dan Imam Darto (penulis naskah) setelah Pretty Boys (2019), berupaya memberi warna baru di tema lama (kalau tidak mau disebut "usang") soal perselingkuhan. Baik pengembangan alur maupun tata artistik, semua dipilih dengan tujuan tampil beda, setidaknya di skena film Indonesia modern.
Niat itu patut diapresiasi, namun di saat bersamaan, Selesai juga wujud salah kaprah pemahaman atas anggapan bahwa "beda" berarti "bagus". Bahwa film bagus harus unik, harus punya twist, harus berani memasang sensualitas (atau setidaknya, cukup guna memancing rasa penasaran kaum adam dengan birahi tak tersalurkan).
Alurnya mengisahkan pernikahan Broto (Gading Marten) dan Ayu (Ariel Tatum) yang telah mendekati "selesai". Cinta keduanya memudar, apalagi setelah Broto berkali-kali selingkuh dengan Anya (Anya Geraldine dalam porsi yang tak lebih dari glorified cameo). Sewaktu Ayu menemukan celana dalam yang ia yakini sebagai milik Anya, ia pun meminta cerai.
Di tengah pertengkaran, mendadak Sri (Marini Soerjosoemarno), ibunda Broto, datang karena ingin menghabiskan masa lockdown bersama si anak dan menantu. Alhasil keduanya terpaksa berpura-pura akur, sambil terus berupaya mengungkap keburukan masing-masing.
"Apa benar Broto selingkuh?". Itulah pertanyaan pertama yang naskahnya lempar, sekaligus awal timbulnya pertanyaan-pertanyaan lain. Melalui rangkaian pertanyaan tersebut, Imam Darto membawa Selesai, dari drama perselingkuhan biasa ke arah misteri, yang harus diakui cukup menarik. Bukankah di realita, mempertanyakan kesetiaan pasangan juga membuat kita merasa bak karakter dalam cerita misteri?
Sedangkan di kursi penyutradaraan, Tompi, yang notabene seorang musisi, jeli memilih iringan musik. Ditangani oleh Ricky Lionardi, musiknya menjauh dari orkestra mengharu-biru yang kerap jadi andalan suguhan drama kita, menggantinya dengan nuansa jazzy, yang seperti berkiblat pada film noir. Di sini, tujuan Selesai untuk tampil beda telah terpenuhi.
Lalu datanglah penyakit itu. Penyakit di mana penulis naskah merasa, agar cerita lebih menarik, penonton harus dibuat terkejut oleh twist, alih-alih memperdalam tema serta karakter. Mungkin Darto memegang prinsip "the more the better" di segala sisi penceritaan. Termasuk saat memasukkan subplot hubungan Yani (Tika Panggabean) selaku ART di rumah Broto dan Ayu, dengan Bambang (diperankan Darto sendiri). Subplot itu cuma berfungsi menambah jumlah perselingkuhan, di saat naskah semestinya berkonsentrasi memperkuat eksplorasi isu perselingkuhan tersebut.
Beberapa twist-nya cenderung dipaksakan, namun tak ada yang lebih menggelikan dibanding kejutan pamungkasnya. Kejutan berisi trik yang entah sudah berapa kali dipakai banyak film untuk menipu penonton. Saya sebut "menipu", karena kehadirannya begitu tiba-tiba. Something that came out of nowhere. Bukan cuma itu, akibat twist-nya, film ini terasa miskin empati, bagi para istri korban ketidakmampuan suami menahan kelaminnya berkeliaran.
Meski menganggapnya penting, saya bukan orang yang membabi buta menuntut representasi di segala hal tanpa mempertimbangkan aspek lain. Tapi saya cukup yakin, bila ditulis oleh seorang wanita, Selesai bakal mengambil jalan lain dalam merangkum kisahnya. Jalan yang tidak mengorbankan rasa berbasis empati, semata-mata demi shock value. Style over substance.
Begitu pula terkait sensualitas berkadar minimum yang tak berpengaruh apa pun bagi narasinya. Anya Geraldine dalam balutan handuk? Darto bermasturbasi sambil mengintip Ariel Tatum? Shot dari belakang saat Gading Marten telanjang bulat saat mandi? Semua dimunculkan, hanya agar penonton berujar, "WOW! Liar sekali!", sambil terkekeh nakal. Tompi berkata kalau ia ingin membuat film bernuansa sensual yang tak murahan, tapi sensualitas tanpa esensi, di film yang bahkan tidak sampai melangkah ke jalur erotika, justru terkesan murahan. Padahal Selesai tidak perlu semua itu. Pondasi misterinya sudah cukup mengundang rasa penasaran selama menonton. Sayang sekali.
Available on BIOSKOP ONLINE