SENIOR (2019)
Rasyidharry
November 26, 2019
Aida Nurmala
,
Bagus Bramanti
,
Indonesian Film
,
Indra Gunawan
,
Jerome Kurnia
,
Karina Suwandi
,
Kurang
,
Rebecca Klopper
,
REVIEW
,
Romance
Tidak ada komentar
Satu lagi romansa SMA adaptasi
Wattpad, dan sekali lagi saya merasa semakin beranjak tua, tidak lagi “sedrama”
tokoh-tokohnya, yang memandang pengunduran diri ketua MOS saat acara itu hamper
berakhir sebagai peristiwa dramatis yang patut ditangisi. Tapi memang begini
skena kisah remaja kita. Senior, yang
mengadaptasi kisah berjudul sama karya Kata Kokoh, berpeluang memvariasikan
problematikanya, hanya untuk kembali lagi bermain aman sesuai “tradisi”.
Aluna (Rebecca Klopper), bersama
sahabat-sahabatnya yang menamakan diri geng Barudak Swag, baru saja memulai
kehidupan mereka di SMA. Adegan pembukanya memperkenalkan satu per satu anggota
geng beserta ciri masing-masing, seolah bakal memberi tiap karakteristik itu
proporsi signifikan, hanya untuk kemudian meninggalkannya di luar gerbang
sekolah. Siapa menjadi siapa dan seperti apa, sulit mengingatnya, bahkan
sebelum film usai.
Selama MOS, sudah tentu Aluna mesti
berurusan dengan para senior, khususnya Nakula (Jerome Kurnia) ketua panitia
yang dikenal tegas, walau ia sendiri mengusulkan program orientasi yang tak
menerapkan kekerasan fisik. Serupa urusan karakterisasi di atas, naskah garapan
Bagus Bramanti (Kartini, Dear Nathan,
Yowis Ben) berpotensi membahas isi penting terkait kekerasan dalam ospek,
tapi memilih menjadikannya pernak-pernik sambil lalu belaka.
Aluna kerap jadi bulan-bulanan
Nakula, membuatnya kesal pada si senior. Sial bagi Aluna, ia mesti tinggal
seatap bersama Nakula selama beberapa hari. Alasannya, ibu Nakula (Karina
Suwandi) harus terbang ke Sevilla bersama ibu Aluna (Aida Nurmala), yang
rupanya adalah pengacaranya, guna menyelesaikan urusan darurat yang
dirahasiakan. Bisa ditebak, berikutnya adalah proses benci jadi cinta, sewaktu
Aluna menyadari bahwa Nakula tak seburuk perkiraannya.
Masalahnya, Barudak Swag membenci
Nakula. Apalagi para cowok, yang mengancam cewek-cewek, termasuk Aluna, untuk
mengeluarkan dari geng siapa saja yang menyukai Nakula. Konflik berlebihan
begini wajar terjadi di individu usia remaja awal. Tapi seiring berjalannya
durasi, sikap mereka makin keterlaluan, hingga menyentuh ranah toxic friendship. Barudak Swag membenci
Nakula yang dianggap semena-mena, namun mereka berlaku serupa.
Ketika romansa SMA lain cenderung
mengagungkan persahabatan, Senior bisa
saja mengajak penonton menatap realita, bahwa terkadang, orang-orang
mengatasnamakan pertemanan sebagai kedok egoisme. Walau sempat menyenggolnya
lewat keluhan Nakula pada Aluna, naskahnya tidak cukup berani menyampaikan itu
secara lantang, lalu memilih jalur aman di konklusi. Tapi bukankah itu memang
bagian novel? Kalau ada pernyataan demikian, mari kita kembali pada teks yang
ditampilkan sebelum film mulai, bahwa “Pasti ada perbedaan dari novel. Karena
itu film adaptasi dibuat. Kalau sama, untuk apa diadaptasi?”. Jadi untuk apa
adaptasi ini dibuat?
Di luar itu, sejatinya Senior bergulir cukup mulus. Indra
Gunawan (dwilogi Dear Nathan)
merupakan sutradara yang sekilas tidak menonjol karena urung menerapkan
gaya-gaya unik, tapi mampu bercerita dengan rapi, pun jeli membungkus momen
dramatis supaya tampil natural. Penampilan dua pemain utama turut menyokong
penuturan romansanya. Jerome dan Rebecca adalah kombinasi yang pas. Ketika
Jerome tampil kalem, melakoni peran remaja gentle
tanpa harus terlihat kaku, Rebecca sebaliknya, bertenaga, cerah, ceria, pun
sesekali berjasa memancing tawa geli.
Kelancaran bertutur itu sayangnya
gagal dipertahankan sampai babak ketiga, ketika semua bergerak terburu-buru,
seolah naskahnya kerepotan merangkum isi novel yang masih banyak tersisa dengan
sisa durasi tak seberapa. Mendadak Nakula menyatakan cinta, mendadak konflik
Barudak Swag mencapai puncak akibat suatu kebetulan, mendadak tercipta
perdamaian setelah Nakula, di tengah kecemasannya mencari telepon genggam yang
hilang, masih sempat membaca surat yang tersimpan di jaketnya, sebelum kisahnya
ditutup lewat keputusan ekstrim salah satu protagonist, yang tiba-tiba berubah
sikap.
Mungkin tetap bakal keluar
pernyataan, “Tapi ini kan romansa SMA, wajar punya kekurangan-kekurangan di
atas”. Tidak sepenuhnya keliru. Masalahnya, kita sudah mendengar pemakluman itu selama
bertahun-tahun. Mau sampai kapan terus begini? Mau sampai kapan remaja kita
terus dibiarkan terbuai oleh janji manis palsu sebuah toxic friendship?
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar