Tampilkan postingan dengan label Helen Mirren. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Helen Mirren. Tampilkan semua postingan

REVIEW - F9

Kita sudah terlatih untuk berharap bahwa di tiap sekuelnya, seri Fast & Furious akan tampil lebih bombastis, lebih gila, lebih tidak masuk akal. Di The Fate of the Furious (2017), F. Gary Gray melawan kemustahilan, dengan membawa Dominic Toretto (Vin Diesel) dan tim menghadapi pasukan "zombie mobil", kemudian kapal selam. Penggemar pun berandai-andai, kapan bakal diajak pergi ke luar angkasa. Karena di titik ini, rasanya cuma itu cara meningkatkan skala. Memasuki film kesembilan, harapan tersebut dipenuhi. 

Gagasan membawa Fast & Furious ke luar angkasa sudah didengungkan selepas Furious 7 enam tahun lalu. Dan tanpanya, baik film kedelapan maupun Hobbs & Shaw selaku spin-off, masih sanggup membelalakkan mata. Artinya, terpenting bukan cuma "seberapa mustahil", namun bagaimana kemustahilan itu dikemas. 

Apa yang muncul di F9 sejatinya cukup gila. Film mana lagi berani menampilkan Pontiac Fiero melayang di angkasa? Tapi sekali lagi, kita sudah terlatih untuk mengharapkan kegilaan di titik tertinggi. Sewaktu adegan luar angkasa tadi tampil bak selipan humor belaka, yang lebih mirip parodi dalam sebuah iklan atau sketsa (walau tetap ada ledakan dan semacam aksi kebut-kebutan), yang muncul adalah kekecewaan. Fast & Furious seperti telah kehabisan ide, lalu membuat film terbaru berdasarkan tebakan mengenai apa saja yang penggemar harapkan. 

Apa lagi yang penggemar harapkan selain luar angkasa? Tentu saja kebangkitan Han (Sung Kang) dari kubur. Kampanye "Justice for Han" dijadikan salah satu energi penggerak marketing filmnya. Han memang kembali, dan Sung Kang masih sekeren dulu, tapi bila menginginkan keadilan baginya, bersiaplah kecewa. Penjelasan bagaimana ia bertahan hidup menunjukkan kemalasan naskah buatan Daniel Casey dan Justin Lin (Chris Morgan absen sebagai penulis untuk pertama kali sejak 2 Fast 2 Furious, demi mengerjakan Hobbs & Shaw), untuk memberi alasan layak tanpa perlu terdengar masuk akal. Han pun tak diberi waktu bersinar dalam deretan aksi, dan jika menanti keadilan terkait kematiannya di tangan Deckard Shaw (Jason Statham), silahkan bersabar sampai film kesepuluh (credits scene-nya menjanjikan itu).

Tapi bukan Han saja yang kembali. Sekali lagi, pembuatnya menduga penonton menyukai reuni, saat wajah-wajah lama muncul lagi, meski cuma sebatas glorified cameo. Alhasil F9 tampil bak sekumpulan reuni, yang diperpanjang jadi bermenit-menit adegan, kemudian disatukan sebagai film berdurasi 145 menit. Bagaimana bisa demikian? Mari bahas dulu alurnya. 

Adegan pembuka menampilkan flashback kala Dom muda (Vinnie Bennett) melihat kematian sang ayah di lintasan balap. Justin Lin, yang duduk di kursi sutradara seri ini untuk kali kelima (terakhir di Fast & Furious 6), mampu membuat sekuen intens nan bombastis, namun lebih "membumi" guna menguatkan nuansa tragis momen itu. Memori kala Fast & Furious masih murni soal balapan muncul lagi. Begitu pun di flashback lain, sewaktu Dom muda menantang sang adik, Jakob (Finn Cole), beradu dalam balapan liar. 

Ya, Dom ternyata memiliki adik. Setelah terpisah bertahun-tahun, Jakob (versi dewasa diperankan John Cena) muncul lagi di hadapan Dom, kali ini sebagai lawan. Seperti biasa, rencana si antagonis masih melibatkan peralatan canggih sebagai MacGuffin, yang mampu meretas apa pun. Ares namanya. Jakob berusaha mengumpulkan dua keping Ares, dan somehow Cipher (Charlize Theron) turut terlibat. Meski awalnya ragu karena telah memilih kehidupan damai, Dom akhirnya bersedia mengumpulkan timnya lagi, mengunjungi berbagai negara di dunia, untuk.....untuk apa?

London, Edinburgh, Köln, hingga Tokyo disambangi, sebab guna menghentikan Jakob, beberapa hal diperlukan, dan hal-hal tersebut cuma bisa didapat dengan mendatangi beberapa kenalan Dom yang tersebar di kota-kota tadi. Mayoritas adalah wajah lama yang muncul sebagai cameo atas nama nostalgia, termasuk Queenie, yang memberi Helen Mirren kesempatan unjuk gigi di tengah kebut-kebutan. Tapi secara keseluruhan, di luar dugaan, perjalanan keliling dunia ini minim aksi.

Setiap kota memiliki pertemuan, setiap pertemuan diperpanjang lewat obrolan-obrolan membosankan, sebelum penonton dibawa beralih ke kota berikutnya, guna menyaksikan obrolan lain, yang terkadang diselipi humor tidak lucu. Duet Roman (Tyrese Gibson) dan Tej (Ludacris) masih menggelitik, namun praktis cuma mereka berdua saja yang mampu mengubah humor kering naskahnya jadi tontonan renyah. 

Setiap aksi yang ditunggu akhirnya datang, Lin dan tim kentara sudah sekuat tenaga memeras otak, memikirkan kegilaan baru apa yang mesti ditampilkan. Tapi tanpa Chris Morgan, eksplorasinya terkesan stagnan. Beberapa masih memukau, sebutlah saat mobil Dom dan Letty (Michelle Rodriguez) berayun bak Spider-Man, ketika akhirnya Ramsey (Nathalie Emmanuel) akhirnya duduk di balik kemudi, mengendarai truk baja berisi alat elektromagnet yang sanggup menarik paksa sebuah mobil, atau momen singkat sewaktu Dom menggunakan cara ekstrim guna menangkap Jakob yang melayang di udara. 

Sisanya? Medioker. Merupakan pencapaian luar bisa bila dimunculkan di film lain, namun kembali lagi, kita sudah terlatih mengharapkan kegilaan di titik tertinggi dalam seri Fast & Furious. Meski rasanya mayoritas akan sepakat, bahwa potensi John Cena gagal dimanfaatkan. Jika dibandingkan Dwayne Johnson, debut Cena di franchise ini bak kekurangan suntikan testosteron. Bahkan sosoknya kalah badass dibanding debutan lain, yakni Elle (Anna Sawai), yang mencuri perhatian baik dalam hand-to-hand combat, maupun kala berdiri di belakang senapan mesin.

F9 merupakan film terlemah sejak.....entahlah, mungkin Fast & Furious (2009). Sulit mengingatnya, karena sejak Fast Five membawa seri ini ke arah baru satu dekade lalu, tiap installment selalu sukses menyajikan hiburan mengesankan. Setidaknya kali ini Dom tidak berkata "one last ride", dan menyadari bahwa sampai kapan pun ia takkan bisa meninggalkan kehidupan berbahaya ini. Well, minimal sampai film kesebelas selaku penutupnya dirilis (film kesepuluh masih dijadwalkan rilis tahun depan, namun jangan kecewa kalau akhirnya mundur).

THE GOOD LIAR (2019)

Helen Mirren (74 tahun) dan Ian McKellen (80 tahun) sama-sama legenda yang telah berkarir di industri perfilman selama lebih dari setengah abad. Beragam jenis film dengan kualitas bervariasi pernah dicicipi, tapi baru sekarang mereka berkolaborasi. Andai saja peristiwa monumental itu tidak terjadi dalam The Good Liar. Sebab kini sejarah akan mencatat bahwa dua pelakon legendaris asal Inggris ini pertama kali berjumpa di layar lewat thriller yang tak punya cukup daya memancing ketegangan dan terasa jauh lebih tak bertenaga, lebih tua ketimbang keduanya.

Mengadaptasi novel berjudul sama karya Nicholas Searle, filmnya bersentral pada aksi Roy Courtnay (Ian McKellen), yang bersama partnernya, Vincent (Jim Carter), kerap melakukan penipuan berkedok investasi. Selain itu, Roy juga kerap menipu wanita-wanita yang ia temui melalui aplikasi kencan online. Target terbarunya adalah Betty McLeish (Helen Mirren), yang setahun lalu ditinggal mati sang suami.

Tapi sedari adegan pembuka pun kita tahu Betty tidak jujur. Dia berbohong soal kebiasaan minum alkohol, juga namanya, sebagaimana Roy yang awalnya memakai nama palsu juga menyembunyikan kegemarannya merokok. Toh The Good Liar terus berusaha meyakinkan penonton, betapa pensiunan dosen Oxford ini merupakan wanita polos nan baik hati yang bersedia mengajak pria yang baru ia kenal tinggal bersama, meski Steven (Russell Tovey), cucunya, bersikeras menentang.

Melibatkan penulis naskah Jeffrey Hatcher yang sebelumnya menulis Stage Beauty (2004), The Duchess (2008), dan Mr. Holmes (2015), tak mengherankan saat filmnya menyisakan aroma period drama dengan nuansa berkelas, sophisticated, yang langsung nampak sejak obrolan di tatap muka perdana Roy dan Betty. Apalagi ditambah pengadeganan dari sutradara Bill Condon (Dreamgirls, The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 1 & 2, Beauty and the Beast) yang membuat filmnya bak seorang aristokrat penuh tata krama.

Gaya di atas bisa jadi keunikan tersendiri. Alfred Hitchcock gemar membangun kesan serupa, sebelum pelan-pelan menyiratkan bahwa di balik kesopanan “sang aristokrat”, ada bayangan kelam senantiasa mengintai. The Good Liar tidak punya bayangan itu. Alurnya menampilkan praktek tipu-menipu familiar yang dijabarkan begitu saja, tanpa ada tanda tanya besar menghantui benak penonton, kecuali sesosok pria pengendara mobil abu-abu yang sesekali menyatroni rumah Betty. Tapi elemen tersebut hanya pemanis sekilas, yang tak mampu memancing antusiasme maupun intensitas.

Serupa scoring gubahan komposer langganan Coen Brothers, Carter Burwell, The Good Liar bergerak bagai gelaran waltz. Sebuah waltz yang berkat pengalaman Condon bercerita, tampil elegan dan rapi, namun monoton, minim hentakan, walau di penghujung durasi sempat melemparkan twist. Bukan suatu twist yang menyoroti “apa” (poin ini sudah bisa ditebak sejak dini), namun soal “mengapa” dan “bagaimana”.

Sayangnya, kejutan itu dibangun dengan cara mencurangi penonton, melalui lemparan fakta yang muncul tiba-tiba (beberapa petunjuk yang ditebarkan terlalu samar), pun semakin semakin dipaparkan, twist tersebut semakin menegaskan jika film ini tidak sepintar dan seelegan itu. Kebodohan The Good Liar sesungguhnya sudah nampak sejak kita diperlihatkan modus operandi investasi palsu Roy yang terlalu banyak menyimpan kecacatan dan risiko yang semestinya tak dilakukan oleh seseorang dengan pengalaman puluhan tahun sepertinya.

The Good Liar ingin menggiring penonton berpikir kalau seiring waktu, Roy mulai bersimpati, atau malah jatuh cinta pada Betty. Tapi alurnya kurang fokus, terlalu sering keluar jalur untuk memaparkan subplot terkait aksi penipuan lain Roy, sehingga tidak cukup punya waktu menggambarkan dilema batin karakternya. Padahal lewat elemen itu, The Good Liar berpotensi menawarkan lebih dari sekadar thriller, pula drama humanis solid yang disokong performa apik dua penampil seniornya.

McKellen memerankan dua sisi Roy: pria tua menawan yang ringkih dengan lutut bermasalah dan seorang penipu licik penuh semangat.  Sisi kedua Roy lah yang memancing kekaguman saya. Di usia menginjak delapan dekade, McKellen masih begitu bertenaga, bagai 20 tahun lebih muda. Sementara Mirren tidak kalah playful, sebagai wanita lanjut usia pencari hubungan platonik, yang dari luar nampak lemah dan naif, namun sesungguhnya  menyembunyikan kekuatan untuk meruntuhkan misogini.....sayangnya tidak dalam film yang tepat.

ANNA (2019)

Banyak pihak menyebut Luc Besson sudah habis, di mana mayoritas mengkritisi judul-judul terbarunya seperti Lucy dan Valerian and the City of a Thousand Planets sebagai tontonan popcorn bodoh. Mungkin benar, tapi sejak kapan karya Besson jadi destinasi pencari film berintelegensi tinggi? Mengkreasi hiburan ringan bertabur gimmick merupakan keahliannya, tidak terkecuali Anna yang kembali menampilkan protagonis femme fatale kesukaan sang sutradara.

Gimmick utama Anna adalah cara bertutur maju-mundur yang Besson terapkan guna membangun alur penuh tikungan, seolah mencerminkan dunia spionase yang sarat rahasia, pengkhianatan, dan kejutan. Kita mengenal Anna (Sasha Luss) sebagai penjual boneka Matryoshka di Moskow, sampai seorang pencari bakat merekrutnya untuk menjadi model di Paris. Beberapa bulan berselang, karir Anna melesat pesat.

Terlihat seperti cerita indah dari negeri dongeng, tapi fakta tidak selalu sama dengan apa yang terlihat. Begitulah prinsip film ini. Kita pun mengikuti perjalanan Anna dari pasar tradisional di Moskow, menggeluti dunia model di Paris, terlibat praktek spionase bersama KGB di bawah pengawasan Olga (Helen Mirren) dan Alex (Luke Evans), hingga berhadapan dengan tim operasi CIA yang dipimpin Leonard (Cillian Murphy).

Anna menggiring penonton dalam petualangan berisi kejutan-kejutan yang memiliki bentuk serta timing tidak terduga. Kecuali di klimaks, sulit menerka kapan Luc Besson sedang mempermainkan ekspektasi kita dan dalam bentuk apa. Sebab kisahnya sendiri tidak berputar di sekitar satu skema besar, entah soal menyelamatkan dunia, usaha pembunuhan, atau misi-misi lain, yang mana lebih gampang ditebak polanya.

Cerita milik Anna sejatinya sederhana, yakni mengenai perjuangan sesosok wanita mengejar kebebasan sembari merangkak keluar dari lubang kehidupan yang hina. Pasca tuduhan pelecehan seksual yang menimpanya (walau pengadilan tak menemukan cukup bukti), sentuhan feminisme khas Besson mungkin terasa hambar, namun sulit disangkal, ia cukup ahli menyampaikan tema itu, termasuk di Anna, yang mempunyai konklusi memuaskan tatkala karakter wanitanya berhasil mempermainkan para lelaki yang gemar mempermainkan janji.

Besson menuliskan kisah character-based yang tak mengedepankan pernak-pernik plot, membuat filmnya mengalir bak buku harian seorang mata-mata. Anna bertemu satu demi satu figur yang awalnya dingin nan misterius, lalu mulai mengenal lebih jauh bahkan mengunjungi ruang personal masing-masing, sehingga di mata penonton pelan-pelan sisi kemanusiaan mereka mulai nampak.

Andai saja Anna dirilis dua dekade lalu, niscaya film ini bakal menandai lahirnya calon megabintang bernama Sasha Luss. Mengawai debut layar lebarnya di Valerian and the City of a Thousand Planets, Luss adalah perwujudan sempurna dari femme fatale seksi yang sekilas berdarah dingin, tapi sebenarnya berperasaan. Hanya saja, ia memilih menyembunyikan perasaan itu akibat sudah terlalu sering hatinya teriris-iris.  

Luss pun meyakinkan kala dituntut melakoni adegan aksi. Pesonanya memancar kuat di tengah gelaran baku hantam beradrenalin tinggi dengan balutan koreografi kelas satu, yang kembali menegaskan bahwa perihal kemampuan menggarap hiburan, Luc Besson belum habis. Studi karakter yang ia lakukan mungkin tak seutuhnya berhasil, sebab ketika deretan gimmick absen dari layar, kisahnya sedikit menjemukan. Tapi sewaktu publik memuja-muji seri John Wick berkat aksi bertenaga miliknya, Anna menunjukkan jika Luc Besson pantas diberi kredit lebih.

THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS (2018)

Andai The Nutcracker and the Four Realms bersedia memberi lebih banyak balet serupa sumbernya—pertunjukan balet dua babak The Nutcracker karya Marius Petipa yang mengadaptasi cerita The Nutcracker and the Mouse King buatan E. T. A. Hoffmann—atau setidaknya menyelipkan nomor musikal, film ini bakal jadi salah satu favorit saya tahun ini. Saya bukan tengah mengkritisi film karena tidak menjadi hal yang saya harapkan dan bukan tujuannya, tapi sulit disangkal bahwa sekuen balet di tengah (plus satu di kredit) juga kemeriahan visual warna-warni miliknya mampu menutupi kelemahan narasinya.

Formula klasik Disney mengenalkan kita pada tokoh utamanya. Clara Stahlbaum (Mackenzie Foy) sedang berduka, menolak menikmati malam Natal, selepas kematian ibunya, Marie (Anna Madeley). Hubungan dengan sang ayah (Matthew Macfadyen) pun merenggang, sebab Clara merasa, Mr. Stahlbaum hanya peduli soal reputasi alih-alih perasaan sang puteri. Awalnya ia menolak ajakan pesta malam Natal, tapi demi bertemu ayah baptisnya, Drosselmeyer (Morgan Freeman), yang diyakini menyimpan kunci untuk membuka hadiah dari mendiang ibunya (sebuah telur misterius), Clara pun datang.

Syukurlah dia bersedia, karena begitu tiba di lokasi pesta, kita langsung disambut oleh tari ballroom memesona, diisi orang-orang dengan gaun glamor, ruangan mewah, serta orkestra megah. Sebuah keindahan audiovisual yang bagi saya dapat sekuat elemen naratif perihal mengolah emosi. Tapi daya pikat artistiknya belum berhenti. Ketimbang langsung memberikan kuncinya, Drosselmeyer membagikan hadiah pada para hadirin dengan meminta mereka menyusuri tali masing-masing. Tali Clara menuntunnya ke Four Realm, dunia fantasi di mana sang ibu dahulu menjadi Ratu.

Bersama Kapten Phillip Hoffman (Jayden Fowora-Knight), si prajurit nutcracker penjaga jembatan, Clara dibawa menuju kerajaan tempat Marie dahulu memerintah guna menemui tiga dari empat penguasa alam: Sugar Plum (Keira Knightley) dari Land of Sweets, Hawthorne (Eugenio Derbez) dari Land of Flowers, dan Shiver (Richard E. Grant) dari Land of Snowflakes. Kembali kita disuguhi setting serta kostum fantasi pemikat mata. Meski suara bernada tinggi kepunyaan Keira Knightley mungkin kerap terdengar mengganggu, rambut arum manisnya adalah sentuhan apik yang membuat sosoknya penuh daya tarik.

Satu penguasa lain adalah Mother Ginger (Helen Mirren) dari Land of Amusement yang konon jadi penyebab pecahnya perang antara keempat alam akibat usahanya menghancurkan semua yang Marie bangun. Land of Amusement sendiri, seperti ketiga alam lain, diisi makhluk-makhluk berpenampilan unik, walau Mouse King dan lima “Badut Matryoshka” mungkin akan jadi mimpi buruk bagi beberapa orang.

Daripada menerapkan flashback, naskah buatan Ashleigh Powell menuturkan backstory lewat balet. Diawali tribute bagi Fantasia (1940), pertunjukkan yang memasang pebalet Misty Copeland selaku figur sentral ini tak pernah berhenti memukau. Tata setting properti yang mengusung kejayaan dan kemeriahan teater musikal hingga yang sempurna ditangkap oleh kamera Linus Sandgren (La La Land, First Man) versi anyar untuk musik ikonik buatan Pyotr Ilyich Tchaikovsky yang digubah oleh James Newton Howard (King Kong, Batman Begins, The Hunger Games), jadi penyusun capaian artistik fantasi yang amat membuai, dan saya berharap sekuen ini takkan usai.

Balet tersebut saya yakin digarap oleh Lasse Hallström (What’s Eating Gilbert Grape, Hachi: A Dog’s Tale, Dear John), yang berbagi kredit penyutradaraan dengan Joe Johnston (Jumanji, Jurassic Park III, Captain America: The First Avenger), yang mengambil alih proses pengambilan gambar ulang selama sebulan. Kemungkinan besar Johnston diberi tanggung jawab merangkai sekuen aksi, yang sayangnya kurang memikat. Masih dibungkus visual cantik, namun pertarungan antara Mouse King melawan ratusan prajurit mainan timah, atau aksi Helen Mirren melempar pecut, semestinya tersaji seru, bukan aneh dan canggung.

Mackenzie Foy adalah aktris muda berbakat yang sanggup menjadikan Clara sesosok jagoan lovable yang perjalanannya menyenangkan disimak, sehingga mudah menggaet dukungan penonton dalam upayanya menggapai tujuan.....andai saja tujuan yang film ini berikan padanya jelas. Naskahnya kebingungan menentukan garis akhir serta bagaimana cara mencapainya, yang berakibat hambarnnya dampak emosi.

Konflik awal Clara adalah duka ditambah pemikiran bahwa sang ayah tidak mempedulikannya. Masalah dengan ayah tuntas di paruh awal saat Clara belajar melihat dari perspektif berbeda. Sementara dukanya berubah jadi ketidakpercayaan diri. Clara merasa tak sehebat sang ibu. The Nutcracker and the Four Realms kelabakan menyatukan beragam persoalan itu, lalu bersembunyi di balik pesan dari Marie, jika SEMUA yang Clara butuhkan ada dalam telur pemberiannya. Alhasil, SEMUA problematika pun tuntas begitu Clara memahami makna hadiah tersebut. Di tengah kerancuan narasinya, sulit menampik harapan kalau film ini menyelipkan lebih banyak elemen terkuatnya.