THE TWO POPES (2019)
Rasyidharry
Desember 24, 2019
Anthony Hopkins
,
Anthony McCarten
,
Bagus
,
César Charlone
,
Comedy
,
Drama
,
Fernando Meirelles
,
Jonathan Pryce
,
REVIEW
14 komentar
The Two Popes, selaku adaptasi pertunjukan panggung The Pope ciptaan Anthony McCarten (The Theory of Everything, Darkest Hour,
Bohemian Rhapsody) yang turut menulis naskah filmnya, mungkin banyak
mengandung kerancuan fakta. Tapi ketimbang biografi berakurasi tinggi, kisah
soal pertemuan Paus Benediktus XVI alias Joseph Ratzinger (Anthony Hopkins) dan
Kardinal Jorge Mario Bergoglio (Jonathan Pryce) yang kelak akan terpilih
sebagai Paus dengan nama Paus Fransiskus ini memang lebih tepat disebut
harapan, atau imajinasi atas kondisi ideal dalam dunia religius, yang
memunculkan kehangatan di tengah meningkatnya apatisme terhadap relevansi agama
dewasa ini.
Sepeninggal Paus Yohanes Paulus II,
Gereja mengadakan pemilihan untuk Paus baru. Joseph Ratzinger dari pihak
konservatif jadi kandidat terkuat, dan akhirnya ia memang terpilih, namun Jorge
Mario Bergoglio di luar dugaan mampu memberi perlawanan. Bergoglio sendiri tak
tertarik memimpin, tapi sosoknya diharapkan bisa mendatangkan perubahan.
Berpikiran terbuka, punya pendekatan humanis, menggemari sepak bola juga
lagu-lagu ABBA, Uskup Agung asal Argentina ini diyakini sanggup membawa Gereja
mengikuti perkembangan zaman. Apalagi setelah skandal Vatikan mencuat, ditambah
banyaknya kasus pedofilia di kalangan Pendeta.
Merasa tak lagi sejalan, Bergoglio
berniat mengajukan pengunduran diri, tapi sebelum itu terjadi, Benediktus XVI
mengundangnya ke Roma. Keduanya pun terlibat banyak pembicaraan, dari
perdebatan soal sudut pandang berlawanan terkait beberapa hukum agama, hingga
obrolan intim hati ke hati ketika Benediktus XVI mengakui krisis iman di hati
sedangkan Bergoglio mengungkap masa lalu kelamnya kala Perang Kotor pecah dan
kediktatoren militer berkuasa di Argentina selama 1978-1983.
Sebagaimana pertunjukan teater,
filmnya didominasi tuturan verbal lewat perbincangan kedua figur Katolik yang
dibungkus sinematografi garapan César Charlone (City of God, American Made) yang kadang tampak megah meski sesekali
juga menampilkan kekosongan serupa keadaan hati dua protagonisnya. Lalu sempat
juga kita dibawa memasuki flashback mengenai
masa lalu Bergoglio. Dikemas menggunakan visual hitam putih, fase ini justru
jadi titik lemah The Two Popes.
Eksekusinya tidak buruk, di mana tragedi demi tragedi tetap berhasil
menyesakkan hati sebagaimana itu mengguncang batin Bergoglio, tapi cukup
mengganggu aliran nyaman yang sudah dibangun sutradara Fernando Meirelles (City of God, The Constant Gardener)
bersama kedua aktor utamanya.
Kekuatan terbesar The Two Popes memang terletak pada
dialog yang dilontarkan oleh dua penampil seniornya lewat kejelian luar biasa
perihal memainkan dinamika tutur dan rasa. McCarten cerdik mengambil beberapa
ucapan karakternya di dunia nyata untuk ditempatkan secara sesuai sehingga
melahirkan momen kuat. “Forgiveness is
not enough. Sin is more than a stain. Sin is a wound. It needs to be treated,
healed” dan “When no one is to blame,
everyone is to blame” merupakan beberapa di antaranya.
Membahas sederet isu penting bahkan
sensitif tak seketika menjadikan The Two
Popes terasa serius atau berat, sebab McCarten menyelipkan peristiwa maupun
ucapan menggelitik (khususnya dari mulut Bergoglio), yang membawa filmnya ke
ranah buddy comedy. Tujuannya bukan
semata meringankan penceritaan, pula memanusiakan kedua karakternya. Mungkin
pada kenyataannya, mungkin Paus Benediktus XVI dan Bergoglio tak terlibat
percakapan secair itu, dan memang keduanya baru bertatap muka setelah Bergoglio
disahkan sebagai Paus Fransiskus (pun saya yakin tidak sambil menonton final
Piala Dunia 2014).
Tapi dengan begini, alih-alih dua figur
besar agama yang terasa jauh dari jangkauan, penonton dibuat menyaksikan dua manusia
lanjut usia biasa, yang seiring waktu, berusaha berdamai dengan dosa pribadi,
juga dengan satu sama lain, guna mengesampingkan perbedaan atas nama agama
sekaligus keberlangsungan umat. Hopkins, di usia 81 tahun, terbukti masih
memiliki sensitivitas rasa dalam menghidupkan kekacauan hati Paus Benediktus
XVI, sedangkan Pryce punya kapasitas untuk membuat penonton mudah menyukainya—sebagaimana
Paus Fransiskus di dunia nyata—bahkan setelah membuka rahasia masa lalunya.
Andai lebih banyak pemuka agama apa pun bersikap layaknya Bergoglio di film ini…..
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
14 komentar :
Comment Page:Bang sorry nih, mau nanya. Bang rasyid udah nonton the lighthouse belum?
Belum, dan kalau udah juga nggak akan di-review selama belum rilis/ditontin di platform legal
wadidaw udh mulai review netflix originals nih bang
Bang, ini film religi buat agama tertentu apa juga bisa dinikmati oleh penganut kepercayaan lain?
Universal kok filmnya. Enteng banget
Saya m-slim, kalo nonton ini murtad atau nggak?
Nonton ini takut murtad, takut dosa. Eh kalo Miyabi malah didownload, ditonton 3 x seminggu tanpa ragu.
Kan cuma nonton mas, kita ambil yg perlu, kita pelajari, kita singkirkan yg ndak perlu
hahahahahahaha.....
Hahahah.. wajar namanya juga munafik mas. Pemikiran yg sangat dangkal.
Wah auto murtad. Neraka tingkat 666 paling dasar
Orang Kristen denger adzan aja ga auto mualaf. Lemah iman mah terima aja ga usah salahin film
Mas,sudah mengintip film 'The Farewell' belum?
Film yg dibintangi Awkwafina itu?
Udah, keren banget itu
Posting Komentar