ASHFALL (2019)
Rasyidharry
Januari 01, 2020
Action
,
Bae Suzy
,
Cukup
,
Don Lee
,
Ha Jung-woo
,
Jeon Hye-jin
,
Kim Byung-seo
,
Korean Movie
,
Lee Byeong-heon
,
Lee Hae-jun
,
Ma Dong-seok
,
REVIEW
2 komentar
Ashfall adalah tontonan yang berbagai kekurangannya bisa dimaafkan,
khususnya oleh penggemar sinema atau budaya populer Korea Selatan lain, berkat
keberadaan ensemble cast. Fakta bahwa
nama-nama seperti Lee Byung-hun, Ha Jung-woo, Ma Dong-seok, Bae Suzy, sampai
Jeon Hye-jin tampil di satu film—meski tak sekalipun kelimanya mengisi layar
secara bersamaan—sudah merupakan event tersendiri.
Hanya ada satu harapan tak terpenuhi: Andai saja Lee Hae-jun (Like a Virgin, My Dictator) dan Kim
Byung-seo (Cold Eyes) yang berduet
menulis naskah sekaligus menyutradarai tidak terlena oleh ambisi.
Alurnya dibuka layaknya film
bertema bencana alam kebanyakan. Bencana yang membelah jalanan kota dan
meruntuhkan gedung-gedung pencakar langit? Ada. Protagonis yang dinaungi
keberuntungan luar biasa hingga bisa melewati rintangan berbahaya berkat
deretan kebetulan? Ada. Sosok tercinta protagonis (bisa orang tua, pasangan,
anak, atau semuanya) yang di tempat berbeda turut berusaha menyelamatkan diri?
Ada. Ilmuwan jenius yang disebut gila karena berteori soal potensi bencana
dahsyat? Ada. Semua elemen formulaik itu bertebaran, namun memasuki pertengahan
film, mungkin anda bakal berharap Ashfall
tetap bermain aman saja.
Ketika gunung berapi Baekdu meletus
lalu menyebabkan gempa berkekuatan 7,8 skala richter, pihak pemerintah Korea
Selatan melalui Jeon Yoo-kyung (Jeon Hye-jin), meminta bantuan Profesor Kang
Bong-rae (Ma Dong-seok) guna mencari jalan keluar. Berdasarkan data, tiga gempa
susulan tinggal menunggu waktu, di mana yang terakhir diprediksi menyentuh
angka 8 skala richter. Misi penyelamatan berisiko tinggi pun dijalankan di
Korea Utara di bawah komando Kapten Jo In-chang (Ha Jung-woo), memaksanya
meninggalkan sang istri, Choi Ji-young (Bae Suzy) yang sedang mengandung.
Dari situlah Ashfall mulai berkembang ke arah berbeda di babak kedua menjadi
suguhan aksi militer berbumbu politik. Jelang tercapainya kesepakatan
denuklirisasi dengan Korea Utara, Bong-rae justru menyarankan agar Korea
Selatan menciptakan ledakan nuklir guna membatalkan erupsi Gunung Baekdu.
Alhasil pihak Amerika Serikat pun menginterupsi, menggiring filmnya untuk
menyinggung konflik terkait benturan usaha menyelamatkan nyawa manusia dengan
kepentingan-kepentingan bersifat politis dalam hubungan internasional.
Jangan harapkan eksplorasi cerita
kompleks, sebab masalah ekstra itu hanya bertujuan memperbanyak pecahnya baku
tembak, dalam misi Jo In-chang menghubungi Lee Joon-pyeong (Lee Byung-hun),
anggota tentara rakyat Korea Utara yang mengetahui tempat penyimpanan hulu
ledak. Inilah perwujudan ambisi Lee Hae-jun dan Kim Byung-seo menjauhkan Ashfall dari keklisean film bencana,
yakni dengan mengandalkan keklisean aksi bertabur desing-desing peluru, yang
sejatinya berpotensi besar memproduksi keseruan film popcorn, andai
kemunculannya tidak terlampau “dihemat”, khususnya di pertengahan.
Karakternya berlari, berkendara,
berdebat, sambil sesekali saling melempar timah panas dalam sekuen yang
dieksekusi secara tidak spesial oleh Hae-jun dan Byung-seo. Ironis memang, saat
niatan menambah warna justru jadi alasan ketidakmaksimalan. Beruntung film ini
punya ansambel luar biasa. Suzy membuktikan perlahan tapi pasti aktingnya mulai
berkembang, dan cukup menyenangkan pula
melihat Ma Dong-seok memerankan sesosok ilmuwan canggung biarpun berbeda dari
biasanya ia tidak diminta melempar bogem mentah (It’ll be too easy since he could destroys Baekdu Mountain with his bare
hands). Tapi pesona utamanya jelas kombinasi Lee Byung-hun dan Ha Jung-woo.
Sebagaimana Leonardo DiCaprio-Brad
Pitt di Once Upon a Time in Hollywood, menyaksikan
dua megabintang berbagi layar sudah melahirkan kepuasan tersendiri. Apalagi
kala Byung-hun dan Jung-woo sama-sama piawai di tiap lini. Di tangan mereka,
adegan aksi jadi bertabur kharisma, komedi semakin ampuh memancing tawa, dan peristiwa
dramatik—yang selalu memperkuat judul-judul asal Korea Selatan apa saja genrenya—dapat
mengaduk-aduk rasa, meski sesungguhnya, paparan soal “pengorbanan demi
orang-orang tercinta” cuma diolah seadanya oleh departemen naskah.
Daya hibur Ashfall selalu memuncak sewaktu bencana terjadi, tidak peduli walau
berbagai kebetulan bodoh kerap menyelamatkan protagonisnya di momen-momen
genting. Perihal elemen ini kedua sutradaranya berhasil. Dibantu CGI mumpuni,
tiap gempa dan luapan air berdaya hancur tinggi mampu menciptakan pemandangan
mencekam. Bujetnya cuma sekitar $17 juta, yang mana menjelaskan pilihan menghemat
aksi, namun di sisi lain menegaskan kepiawaian sineas Korea Selatan menangani film
bencana di tengah keterbatasan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Sama, saya juga kasih 3 bintang di letterbox saya, sampe ketiduran pas nonton, untuk efek sih oke, tapi
- ketiadaan teori atau thesis dari Don Lee soal peledakan terowongan (harusnya sih ada semacam flashback atau apapun itu untuk menjelaskan lebih rinci teori dan asal muasal gempa serta cara penanggulangannya secara lebih detail dan ilmiah) lebih cuma teori tempelan yg dibumbui pake kata2 ilmiah
- komedi yg seringnya ga diperlukan di suatu scene/misplaced
- sama kayak kata mas rasyid, adegan kebetulan yg bikin saya gregetan (suzy waktu jembatan runtuh, dia ada di dalem mobil, trus ga ada adegan meloloskan diri yg saya rasa sih diperlukan ya)
Lebih milih Pandora (2016) atau the tower (2012) sih kalo untuk disaster movie
Ditunggu segera mas review nkcthi nya
Posting Komentar