ASHFALL (2019)

2 komentar
Ashfall adalah tontonan yang berbagai kekurangannya bisa dimaafkan, khususnya oleh penggemar sinema atau budaya populer Korea Selatan lain, berkat keberadaan ensemble cast. Fakta bahwa nama-nama seperti Lee Byung-hun, Ha Jung-woo, Ma Dong-seok, Bae Suzy, sampai Jeon Hye-jin tampil di satu film—meski tak sekalipun kelimanya mengisi layar secara bersamaan—sudah merupakan event tersendiri. Hanya ada satu harapan tak terpenuhi: Andai saja Lee Hae-jun (Like a Virgin, My Dictator) dan Kim Byung-seo (Cold Eyes) yang berduet menulis naskah sekaligus menyutradarai tidak terlena oleh ambisi.

Alurnya dibuka layaknya film bertema bencana alam kebanyakan. Bencana yang membelah jalanan kota dan meruntuhkan gedung-gedung pencakar langit? Ada. Protagonis yang dinaungi keberuntungan luar biasa hingga bisa melewati rintangan berbahaya berkat deretan kebetulan? Ada. Sosok tercinta protagonis (bisa orang tua, pasangan, anak, atau semuanya) yang di tempat berbeda turut berusaha menyelamatkan diri? Ada. Ilmuwan jenius yang disebut gila karena berteori soal potensi bencana dahsyat? Ada. Semua elemen formulaik itu bertebaran, namun memasuki pertengahan film, mungkin anda bakal berharap Ashfall tetap bermain aman saja.

Ketika gunung berapi Baekdu meletus lalu menyebabkan gempa berkekuatan 7,8 skala richter, pihak pemerintah Korea Selatan melalui Jeon Yoo-kyung (Jeon Hye-jin), meminta bantuan Profesor Kang Bong-rae (Ma Dong-seok) guna mencari jalan keluar. Berdasarkan data, tiga gempa susulan tinggal menunggu waktu, di mana yang terakhir diprediksi menyentuh angka 8 skala richter. Misi penyelamatan berisiko tinggi pun dijalankan di Korea Utara di bawah komando Kapten Jo In-chang (Ha Jung-woo), memaksanya meninggalkan sang istri, Choi Ji-young (Bae Suzy) yang sedang mengandung.

Dari situlah Ashfall mulai berkembang ke arah berbeda di babak kedua menjadi suguhan aksi militer berbumbu politik. Jelang tercapainya kesepakatan denuklirisasi dengan Korea Utara, Bong-rae justru menyarankan agar Korea Selatan menciptakan ledakan nuklir guna membatalkan erupsi Gunung Baekdu. Alhasil pihak Amerika Serikat pun menginterupsi, menggiring filmnya untuk menyinggung konflik terkait benturan usaha menyelamatkan nyawa manusia dengan kepentingan-kepentingan bersifat politis dalam hubungan internasional.

Jangan harapkan eksplorasi cerita kompleks, sebab masalah ekstra itu hanya bertujuan memperbanyak pecahnya baku tembak, dalam misi Jo In-chang menghubungi Lee Joon-pyeong (Lee Byung-hun), anggota tentara rakyat Korea Utara yang mengetahui tempat penyimpanan hulu ledak. Inilah perwujudan ambisi Lee Hae-jun dan Kim Byung-seo menjauhkan Ashfall dari keklisean film bencana, yakni dengan mengandalkan keklisean aksi bertabur desing-desing peluru, yang sejatinya berpotensi besar memproduksi keseruan film popcorn, andai kemunculannya tidak terlampau “dihemat”, khususnya di pertengahan.

Karakternya berlari, berkendara, berdebat, sambil sesekali saling melempar timah panas dalam sekuen yang dieksekusi secara tidak spesial oleh Hae-jun dan Byung-seo. Ironis memang, saat niatan menambah warna justru jadi alasan ketidakmaksimalan. Beruntung film ini punya ansambel luar biasa. Suzy membuktikan perlahan tapi pasti aktingnya mulai berkembang, dan  cukup menyenangkan pula melihat Ma Dong-seok memerankan sesosok ilmuwan canggung biarpun berbeda dari biasanya ia tidak diminta melempar bogem mentah (It’ll be too easy since he could destroys Baekdu Mountain with his bare hands). Tapi pesona utamanya jelas kombinasi Lee Byung-hun dan Ha Jung-woo.

Sebagaimana Leonardo DiCaprio-Brad Pitt di Once Upon a Time in Hollywood, menyaksikan dua megabintang berbagi layar sudah melahirkan kepuasan tersendiri. Apalagi kala Byung-hun dan Jung-woo sama-sama piawai di tiap lini. Di tangan mereka, adegan aksi jadi bertabur kharisma, komedi semakin ampuh memancing tawa, dan peristiwa dramatik—yang selalu memperkuat judul-judul asal Korea Selatan apa saja genrenya—dapat mengaduk-aduk rasa, meski sesungguhnya, paparan soal “pengorbanan demi orang-orang tercinta” cuma diolah seadanya oleh departemen naskah.

Daya hibur Ashfall selalu memuncak sewaktu bencana terjadi, tidak peduli walau berbagai kebetulan bodoh kerap menyelamatkan protagonisnya di momen-momen genting. Perihal elemen ini kedua sutradaranya berhasil. Dibantu CGI mumpuni, tiap gempa dan luapan air berdaya hancur tinggi mampu menciptakan pemandangan mencekam. Bujetnya cuma sekitar $17 juta, yang mana menjelaskan pilihan menghemat aksi, namun di sisi lain menegaskan kepiawaian sineas Korea Selatan menangani film bencana di tengah keterbatasan.

2 komentar :

Comment Page:
febrianation mengatakan...

Sama, saya juga kasih 3 bintang di letterbox saya, sampe ketiduran pas nonton, untuk efek sih oke, tapi
- ketiadaan teori atau thesis dari Don Lee soal peledakan terowongan (harusnya sih ada semacam flashback atau apapun itu untuk menjelaskan lebih rinci teori dan asal muasal gempa serta cara penanggulangannya secara lebih detail dan ilmiah) lebih cuma teori tempelan yg dibumbui pake kata2 ilmiah
- komedi yg seringnya ga diperlukan di suatu scene/misplaced
- sama kayak kata mas rasyid, adegan kebetulan yg bikin saya gregetan (suzy waktu jembatan runtuh, dia ada di dalem mobil, trus ga ada adegan meloloskan diri yg saya rasa sih diperlukan ya)

Lebih milih Pandora (2016) atau the tower (2012) sih kalo untuk disaster movie

Abdus mengatakan...

Ditunggu segera mas review nkcthi nya